Tugas dan jabatan sebagai amil/amilah ZIS merupakan salah satu tugas dan jabatan termulia di dalam Islam, jika diemban dengan benar, jujur dan penuh rasa serta sikap tanggung jawab. Sampai-sampai Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mensetarakan derajat amil dengan seorang pejuang perang/mujahid fi sabilillah. Dalam sebuah hadits, Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Seorang amil ZIS yang benar (jujur) itu setara dengan seorang pejuang perang/mujahid di jalan Allah sampai kembali ke rumahnya” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim).
Dan mulianya sebuah tugas atau jabatan selalu berbanding lurus dengan beratnya amanat dan tanggung jawab yang ada padanya dan menyertainya. Demikian pula dengan tugas dan jabatan amil/amilah ZIS. Ia sangat mulia dan tinggi derajatnya, karena beban amanat dan tuntutan tanggung jawabnya memang amat besar dan berat sekali. Sehingga yang mengembannya haruslah orang-orang dengan sifat khusus atau muwashafat tertentu, dan bukan sembarang orang, apalagi orang-orang sembarangan!
Syaikhuna Prof. DR. Yusuf Al-Qardhawi hafidzahullah, misalnya, menyebutkan, minimal ada tiga syarat utama yang harus terpenuhi dalam diri seorang amil ZIS. Yaitu: sifat amanah dan kejujuran, sifat ‘iffah atau wara’,yakni terjaganya hati dari syahwat ambisi duniawi khususnya terhadap harta, dan ketiga ilmu yang memadai, minimal yang terkait dengan tugas dan jabatan keamilan serta pengetahuan ke-ZIS-an.
Oleh karena itulah, maka banyak diantara amil ZIS pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi salafus saleh dan khalafus saleh dahulu, adalah dari kalangan ulama dan tokoh dai. Misalnya, diantara para sahabat mulia yang dipilih dan diangkat sebagai amil ZIS oleh Baginda Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita dapati nama-nama agung seperti: Umar bin Al-Khatthab, Mu’adz bin Jabal, Abu Musa Al-Asy’ari, Abu Hurairah, Ubadah bin Asy-Shamit, radhiyallahu ‘anhum dan lain-lain. Bahkan sahabat Ubadah radhiyallahu ‘anhu sampai sempat mengundurkan diri dari jabatan amil, karena merasa saking beratnya beban amanah itu, sehingga beliau takut dan khawatir kalau-kalau tidak mampu mengemban dan memenuhinya! Lalu satu contoh lagi misalnya, pada periode lain, dimana salah seorang yang sempat menjadi amil ZIS pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah,
adalah seorang ulama besar perawi hadits dari generasi tabiin, yakni Imam Yahya bin Said Al-Anshari rahimahullah. Beliaulah yang
mengatakan: Umar bin Abdul Aziz mengutusku untuk mengambil ZIS (zakat, infak dan sedekah) di wilayah Afrika. Maka setelah dana terhimpun, akupun lalu mencari orang-orang fakir untuk kami berikan bagian dana ZIS kepada mereka, namun ternyata kami tidak menemukan seorang fakirpun. Ya, kami tidak mendapatkan lagi orang yang berhak/mau menerima harta ZIS yang terkumpul. Karena sungguh Umar bin Abdul Aziz telah membuat semua masyarakat/rakyat berkecukupan.
Adapun tentang mengapa banyak diantara amil ZIS pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan seterusnya – serta begitu idealnya di semua masa –, dari kalangan ulama dan dai, maka berikut ini disebutkan beberapa faktor yang menjelaskannya:
Pertama, tugas keamilan menuntut sifat amanah, kejujuran dan tingkat kehati-hatian yang tinggi. Dan para ulama dan dai tentu adalah yang paling diharap memenuhi semua sifat dan kriteria itu. Karena godaan dan fitnah harta, secara umum, memang sangat kuat sekali bagi siapapun. Dan kisah sahabat Ibnul-Lutbiyah radhiyallahu ‘anhu, bisa menjadi salah satu ibrah dan pelajaran paling berharga bagi kita semua dan bagi siapa saja. Dimana seseorang yang menyandang gelar mulia dan julukan istimewa sebagai sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja bisa salah dalam hal yang satu ini. Sehingga, karenanya, sampai-sampai Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan sabda yang sangat kuat sebagai peringatan keras bagi sang sahabat dan tentu juga bagi setiap amil ZIS sepanjang masa. Diriwayatkan bahwa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengangkat/mengutus seorang laki-laki dari suku Bani Asad sebagai amil sedekah (ZIS). Dan saat kembali, beliaupun berkata: Ini untuk kalian (sebagai ZIS), dan yang ini untukku, karena dihadiahkan kepadaku. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun lalu naik ke atas mimbar seraya bertahmid, memuji Allah dan bersabda: “Mengapa ada seorang amil yang kami utus (untuk menghimpun ZIS), lalu ia datang dan berkata: ini untukmu dan ini untukku. (Kalau begitu) mengapa ia tidak duduk saja di rumah bapak atau ibunya, lalu silakan melihat, akankah ia diberi hadiah (seperti itu) ataukah tidak? Demi Dzat dimana diriku ada di Tangan-Nya, tiada (seorang amil) yang mengambil sesuatu (dari dana ZIS yang dihimpun), kecuali ia akan memikulnya di lehernya kelak pada hari Kiamat. Baik itu berupa unta, atau sapi, atau kambing, dengan suara masing-masing..” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Kedua, tugas dan tanggung jawab keamilan, khususnya pada periode-periode awal sejarah Islam dulu, juga menuntut tingkat keilmuan syar’i yang memadai disamping kemampuan berdakwah yang mumpuni. Karena kewajiban yang diamanahkan kepada banyak amil waktu itu memang tidak terbatas pada sekadar pengambilan dana zakat dari tangan para muzakki saja. Melainkan justru meliputi kewajiban dan tanggung jawab berdakwah serta menyebarkan ajaran Islam dengan berbagai aspeknya kepada masyarakat di wilayah tugas masing-masing amil. Baik hal itu terkait ilmu dan fiqih zakat secara khusus, maupun juga tentang berbagai ilmu dan fiqih syariah atau ibadah yang lainnya secara umum, bahkan juga terutama tentang ilmu akidah, yang merupakan pondasi bagi semuanya. Dan salah satu contoh sangat jelas dan gamblang untuk hal ini, adalah saat sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu diutus sebagai dai sekaligus amil ke Yaman. Dimana sebelum menunaikan tugas keamilannya, Baginda Sayyidina Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam memerintahkan dan menasehati beliau agar terlebih dahulu menyampaikan dakwah akidah tentang dua kalimat syahadat, mengajarkan tentang ibadah shalat, baru kemudian tentang fiqih dan rambu-rambu pengambilan zakat dari para muzakki (HR. Muttafaq ‘alaih). Maka untuk masa kinipun, diharapkan para amil/amilah juga selalu berusaha bisa menyertakan amanat dan tanggung jawab dakwah dalam setiap tugas keamilan mereka. Semoga!
Ketiga, tingkat kesadaran, pemahaman dan pengetahuan umumnya masyarakat muslim saat ini, sangatlah rendah sekali. Baik itu terkait masalah ZIS secara khusus, maupun tentang beragam aspek ajaran Islam secara umum. Seperti yang dikemukakan dalam taujih zizwaf edisi 1 yang lalu misalnya, dimana karena adanya semacam sikap “diskriminatif” terhadap syareat zakat, maka ilmu pengetahuan banyak kaum muslimin terkait rukun Islam yang satu ini memang masih sangat lemah sekali. Sampai-sampai tidak sedikit dari mereka yang ketika mendengar istilah zakat disebut, maka yang mereka pahami darinya hanyalah zakat fitrah saja, tidak ada yang lain! Padahal yang pokok dan inti serta asasi dari rukun Islam ketiga ini adalah justru zakat maal (zakat harta) dengan beragam macam dan jenisnya. Sedangkan zakat fitrah mungkin bisa dikatakan hanyalah menempati bagian ruang terkecil dari keseluruhan bangunan syareat zakat! Sehingga, karenanya, yang dibutuhkan oleh umumnya ummat dalam konteks pelaksanaan rukun zakat, juga termasuk infak, sedekah dan wakaf, adalah meliputi minimal tiga aspek. Yakni: penyadaran semangat ber-ZISWAF, pengajaran ilmu atau fiqih ZISWAF, dan pemanduan cara penghitungan, pembayaran serta pengarahan sasaran pengalokasian. Dan tentu saja, agar mampu memenuhi semua tuntutan itu, para amil/amilah ZISWAF sekarang haruslah memiliki semangat dan komitmen dakwah yang baik di satu sisi, disamping wajib berbekal ilmu pengetahuan yang relatif cukup terkait fiqih ZISWAF di sisi yang lain! Semoga kita semua sebagai amil dan amilah mampu merealisirnya! Aamiin!
Akhirnya, selamat barakah kepada seluruh mujahid dan mujahidah ZISWAF kita, dimanapun berada! Wallahul Muwaffiq ila aqwamith thariq. Wa Huwal Hadi ila sawa-issabil! Wa akhiru da’waana anilhamdu lillahi Rabbil ‘alamin! Wa shallallahu wa sallama ‘ala Sayyidina Muhammadin, wa ‘ala aalihi wa ash-habihi ajma’in! (H. Ahmad Mudzoffar Jufri)