Afatul lisan adalah dua ungkapan kata yang memiliki arti bahaya lidah, hal ini bukan berarti lidah selalu membawa mudharat bagi manusia, karena lidah juga bermanfaat bagi manusia. Dengan lidah seseorang dapat berbicara dan menyampaikan maksud yang diinginkan. Namun harus disadari pula bahwa betapa banyak orang yang tergelincir karena lidahnya, akibat ketidakmampuan pemilik lidah menjaganya dari ucapan dan kata-kata yang keluar dari lidah tersebut. Karena itu sangatlah urgen dalam kehidupan seorang muslim memahami bahaya dari lisan sebagaimana juga memahami akan manfaat lisan tersebut.
Imam Sya’bi adalah salah seorang syekh di kota Basrah, pada suatu hari beliau berceramah di hadapan murid-muridnya. Tersebutlah seorang murid duduk disampingnya, yang mulai sejak awal Imam Sya’bi berbicara tidak pernah ia bertanya atau berkata-kata sepatah katapun, tidak seperti murid-muridnya yang lain. Maka bertanyalah Imam Sya’bi kepada muridnya yang satu ini ; “Mengapa engkau tidak berkata sepatah katapun?” Anak muda itu menjawab, dengan sebuah kalimat bijak,” Oo, Aku diam, maka aku selamat. Aku mendengarkan, maka aku tahu. Sesungguhnya manusia itu mempunyai bagian masing-masing, di telinganya, bagian itu untuknya, di lidahnya bagian itu untuk orang lain. Seseorang justru tertimpa celaka karena terpeleset lidahnya, dan tidaklah ia terkena bahaya lantaran terpeleset kakinya, apabila ia terpeleset kakinya ia akan sembuh kembali dalam waktu yang tidak lama, tetapi apabila ia terpeleset gara-gara perkataannya bisa saja ia kehilangan kepalanya.”
Di Basrah pernah kedatangan seorang pria yang disangka wali dan tampaknya sangat alim. Penduduk kota itu memuja-muja sang wali lantaran melihat pakaiannya yang serba taqwa, jubahnya tebal, sorbannya panjang, dan biji tasbihnya besar-besar. Ia begitu dihormati dan penduduk banyak memberikan sedekah kepadanya. Hingga dalam tempo singkat wali itu menjadi kaya raya, tetapi sebutirpun belum pernah wali itu memberikan ilmu kepada penduduk Basrah sampai saatnya ia akan meninggalkan kota itu. Sehingga Imam Hasan Al Bashri ingin tahu, siapa gerangan dia, dan sejauh mana ketaqwaan dan kealimannya. Maka didatanginya wali tersebut di penginapannya, kepada sang wali Imam Hasan Al Bashri bertanya ,” Dari mana Tuan memperoleh derajat kewalian?” Orang itu dengan congkak menjawab,” dari Allah “. Dengan ucapan seringkas itu tahulah Imam Hasan Al Bashri bahwa orang tersebut bukan wali, melainkan seorang penipu belaka. Seyogyanya ia berkata, “Maaf, saya bukan wali.” Sebab tidak ada seorangpun yang mengaku dirinya wali adalah benar-benar wali. Derajat kewalian tidak pernah disadari oleh yang bersangkutan, derajat kewalian hanya dirasakan oleh orang-orang yang memahami betapa beratnya menjadi orang saleh, yang memilih kebajikan bagi orang lain daripada keuntungan buat diri sendiri.