Shalat adalah ibadah yang sangat utama. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa yang pertama kali akan dihisab pada hari perhitungan kelak adalah shalat. Perintah shalat lima waktu diterima oleh Nabi secara langsung dari Allah tanpa perantaraan Jibril di tempat yang tertinggi, saat beliau melakukan mi’raj. Tidak hanya itu, shalat adalah satu-satunya ibadah yang harus dilaksanakan dalam segala keadaan. Berbeda dengan ibadah puasa yang bisa diganti jika seseorang sedang bepergian jauh, sakit, atau tidak kuat, shalat harus tetap dikerjakan meski seseorang sedang bepergian jauh, sakit, atau bahkan dalam keadaan perang dan bahaya. Ini semua menunjukkan betapa utamanya ibadah shalat.
Sesuatu yang utama pasti memiliki banyak keistimewaan. Salah satu keistimewaan shalat adalah banyaknya pelajaran yang bisa kita ambil dari ibadah ini. Saat kita melakukan sujud, kita akan melihat dan merasakan bagaimana kita meletakkan kepala kita pada posisi terendah. Kepala sering kita anggap sebagai organ tubuh kita yang paling berharga dan paling mulia. Banyak orang menjadi sombong karena merasa otak yang ada di kepalanya begitu cerdas. Banyak orang berbangga diri karena ketampanan atau kecantikan wajahnya. Saat shalat, kita tundukkan kepala kita serendah-rendahnya dihadapan Dzat Yang Maha Agung. Kita sentuhkan wajah kita dengan tanah. Ini semestinya memberikan kesadaran kepada kita bahwa kita adalah makhluk yang rendah di hadapan-Nya. Tidak layak kita berperilaku sombong di muka bumi-Nya.
Shalat juga sangat dianjurkan untuk dikerjakan secara berjamaah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Shalat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian.” Ini menunjukkan kepada kita akan pentingnya berjamaah dan bekerjasama. Jika kita bersatu dan bekerjasama, kita akan menjadi lebih kuat dan lebih sulit dihancurkan. Jika kita bisa bersatu saat shalat, mengapa kita seringkali masih sulit bersatu sebagai sebuah umat? Mengapa masih ada permusuhan dan gontok-gontokan diantara jamaah-jamaah dan organisasi-organisasi keislaman? Bahkan perang sesama negara muslim? Sudah sepatutnya kita mentransformasikan kesatuan kita dalam shalat jamaah kedalam skala yang lebih besar, skala keumatan. Kita harus sadar bahwa jika kita sulit untuk bersatu maka kita selamanya akan lemah dan tidak akan pernah maju.
Dalam shalat berjamaah, pasti ada satu orang yang bertindak sebagai imam. Pun demikian halnya dengan kita sebagai sebuah komunitas. Jika sebuah komunitas ingin tertata rapi, harus ada kepemimpinan disana. Corak kepemimpinan yang islami bisa kita lihat dari shalat. Dalam shalat, imam harus dipilih dari yang paling bagus bacaannya atau yang paling baik pemahaman agamanya. Seorang pemimpin harus dipilih atas dasar kompetensinya. Jangan pernah kita memilih pemimpin yang tidak kompeten dan tidak kapabel. Rasulullah bersabda,”Jika suatu urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.”
Disamping harus kompeten, seorang pemimpin juga harus mau dikritik dan diingatkan. Pada saat yang sama, orang-orang yang dipimpin juga harus mau mengingatkan pemimpinnya. Jika imam shalat salah dalam membaca ayat-ayat Al-Qur’an, makmum yang mengetahui kesalahannya tersebut diperintahkan untuk mengingatkan. Imam pun harus segera membetulkan bacaannya. Demikian pula jika imam salah jumlah rakaatnya, makmum diperintahkan untuk mengingatkan. Imam pun harus segera membetulkan jumlah rakaatnya.
Seorang imam shalat juga tidak boleh memanjangkan shalatnya diluar kemampuan para makmumnya. Jika diantara para jamaah shalat ada orang-orang yang sudah lanjut usia atau anak-anak, hendaknya imam memendekkan shalatnya. Demikianlah seorang pemimpin semestinya bisa berempati kepada orang-orang yang dipimpinnya. Tidak seenaknya sendiri, mumpung sedang jadi pemimpin.
Ini hanyalah sebagian dari sekian banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari shalat. Jika kita mau mengkaji lebih jauh, insyaallah akan ada lebih banyak lagi pelajaran yang bisa kita dapatkan.