Beriman yang benar kepada Allah sebagai Rabbul ‘alamin, dan bertauhid secara murni. Ini merupakan puncak tertinggi dari seluruh bentuk cinta kebenaran dan kebaikan. Karena Allah adalah Sumber dan Asal setiap kebenaran dan kebaikan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” (QS. Al-Baqarah [2]: 147; dan lihat juga QS. Ali ‘Imran [3]: 60).
Beriman kepada para rasul Allah ‘alaihimus salaam dan risalah mereka. Karena beliau-beliau itu adalah para utusan dan penyampai risalah kebenaran dan kebaikan dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dia-lah Yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai” (QS. At-Taubah [9]: 33; dan QS. Ash-Shaff [61]: 9).
Beriman pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai rasul terakhir dan pada Islam yang beliau bawa sebagai risalah samawiyyah terakhir. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Ahzaab [33]: 40).
Bangga berada dalam kebenaran dan kebaikan. Ini dibuktikan terutama oleh rasa dan sikap bangga seorang muslim terhadap jati diri keislamannya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “…Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah bahwa, kami adalah orang-orang muslim (yang berserah diri kepada Allah)” (QS. Ali ‘Imraan [3]: 64).
Berpihak pada kebenaran dan orang-orang yang dalam kebenaran dan kebaikan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar” (QS. At-Taubah [9]: 119).
Mengakui dan menerima kebenaran dan kebaikan dari manapun datangnya. Misalnya ketika seseorang sedang berbantah-bantahan, berpolemik dan beradu argumentasi dengan orang lain, maka niatnya sejak awal adalah mencari kebenaran, dan bukan sekedar memenangkan pendapatnya. Dan ketika ternyata dan terbukti bahwa, kebenaran ada di pihak kawan polemiknya, maka ia siap mengakui dan menerimanya dengan legowo. Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku tidak berpolemik dengan seorangpun, melainkan aku berharap Allah menampakkan kebenaran melalui lesannya”.
Menjadikan kebenaran dan kebaikan sebagai standar dalam mengenal dan menilai siapa atau apa saja, dan bukan sebaliknya.
Tidak ta’ashub atau fanatik pada orang, keluarga, golongan, suku, bangsa, madzhab dan semacamnya, yang berakibat mengalahkan dan mengorbankan kebenaran dan kebaikan. Yang dimaksud ta’ashub dan fanatik yang tercela disini bukan setiap bentuk keberpihakan dan pengutamaan pada faktor-faktor tersebut dan semacamnya. Karena rasa dan sikap seperti itu sampai batas tertentu merupakan hal yang fitri, alami dan logis. Namun yang tertolak dan tidak ditolerir adalah jika rasa dan sikap tersebut sampai mengalahkan dan mengorbankan kebenaran serta kebaikan.
Berkomitmen pada kejujuran. Akhlaq jujur merupakan salah satu cabang dan implementasi utama dari cinta kebenaran. Lihat pembahasan tentang tema akhlaq Ash-Shidq (jujur).
Menjaga amanah. Ini juga salah satu cabang dan implementasi utama dari akhlaq cinta kebenaran dan kebaikan. Karena amanah adalah hak dan kebenaran yang harus dijaga dan kemudian ditunaikan kepada yang memberikan amanah.
Bersikap dan berlaku adil. Begitu pula sikap dan prilaku adil ini. Sama seperti jujur dan amanah, sikap adil juga merupakan wujud dan bukti istimewa dari akhlaq cinta kebenaran. Karena menegakkan keadilan berarti menegakkan kebenara. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Danh bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Maa-idah [5]: 8).
Sensitif dan peka terhadap kebenaran dan kebaikan. Ini muncul karena telah demikian melekat dan mendarah dan mendagingnya sifat cinta kebenaran itu dalam diri seseorang, sehingga kebenaran dan kebaikan itu telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari diri dan kepribadinya.
Memberikan hak kepada yang berhak sesuai dengan haknya secara proporsional. Seperti misalnya memberikan kebaikan, kasih sayang, penghormatan, ketaatan, bakti, bantuan, dan lain-lain, kepada yang berhak masing-masing. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “…maka berikanlah hak kepada setiap yang berhak (sesuai dengan haknya”
Menyampaikan kebenaran dan kebaikan dengan benar dan baik. Dan itu harus berdasarkan ilmu, keikhlasan, secara tepat dan proporsional, dengan metode dan cara yang benar dan baik, dan dari posisi kuat.
Memiliki peran dan kontribusi yang benar dan jelas dalam berkhidmah kepada kemajuan Islam. Oleh karena itu, jika masing-masing kita mencintai kebenaran Islam yang kita iamani ini, dan pasti begitu, maka ia harus memperjelas posisi, peran dan kontribusinya dalam memajukan Islam. Dan disini introsepeksi diri setiap saat sangatlah urgen dan mendesak. Yakni misalnya dengan senantiasa bertanya pada diri sendiri: apa peran dan kontribusi riil yang telah saya berikan selama ini untuk kemajuan Islam? (AMJ)