Berlindung Dari Bisikan Syetan

  • Sumo

Allah Subhaanahu wata’ala berfirman: ”Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb manusia.  Raja manusia. Ilah manusia. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. Dari (golongan) jin dan manusia.” (Al Quran Surat An-Naas: 1-6). Surat An-Naas adalah surat terakhir sesuai urutan dalam Mushhaf Al Qur’an namun bukan terakhir menurut urutan turunnya wahyu karena surat ini termasuk kategori surat makkiyah, yakni yang turun pada periode Mekkah.

Surat An-Naas merupakan salah satu dari al-mu’awwidzaat (surat-surat perlindungan, yakni Al-Ikhlash, Al-Falaq dan An-Naas) dan juga al-mu’awwidzatain (dua surat perlindungan, yakni Al-Falaq dan An-Naas) dimana Allah SWT memberi arahan kepada orang-orang yang beriman agar senantiasa memohon penjagaan dan perlindungan kepada-Nya dari segala kejahatan, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, yang diketahui ataupun yang tidak diketahui, secara umum dan global ataupun secara khusus.

Adalah suatu hal yang istimewa ketika surat-surat tersebut secara khusus disebut sebagai surat-surat perlindungan, padahal semua surat atau ayat dalam Al-Qur’an tidak lain adalah perlindungan juga. Bahkan disebutkan dalam sebuah hadits bahwa setelah turunnya Al-Falaq dan An-Naas, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mencukupkan diri dengan keduanya saja dalam permohonan perlindungan dari keburukan dan kejahatan jin serta manusia (lihat hadits Abu Sa’id Al-Khudriy riwayat At-Tirmidzi, An-Nasaa-i dan Ibnu Majah).

Banyak sekali riwayat yang menegaskan tentang keutamaan surat-surat perlindungan ini. Diriwayatkan dari ‘Uqbah bin Amir bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Tidakkah engkau tahu bahwa pada malam ini telah diturunkan ayat-ayat yang tidak ada yang membandinginya (dalam keutamaannya), yakni Qul a’udzu birabbil falaq (QS Al-Falaq) dan Qul a’udzu birabbin naas (QS An-Naas)?” (HR Muslim).

Kita juga dianjurkan untuk senantiasa membaca surat-surat perlindungan ini setiap selesai shalat, ketika hendak tidur, ketika bangun tidur, pada waktu petang dan pada waktu pagi. Diriwayatkan dari ‘Uqbah bin Amir, beliau berkata,”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhku membaca surat-surat perlindungan (al-mu’awwidzaat : QS Al-Ikhlas, QS Al-Falaq, QS An-Naas) setiap selesai shalat”. (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasai). Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh ‘Uqbah bin Amir untuk membaca dua surat: QS Al-Falaq dan QS An-Naas setiap kali tidur dan setiap kali bangun (HR Ahmad dan An-Nasaa-i).

Dalam hadits riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha , disebutkan bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersiap untuk tidur setiap malam, maka beliau mempertemukan kedua telapak tangannya dan meniup pada keduanya seraya membaca QS-Ikhlash, QS Al-Falaq, dan QS An-Naas lalu mengusapkannya ke seluruh bagian badannya dimulai dari kepala, wajah, dan bagian depan badan beliau. Dan beliau mengulang yang demikian itu tiga kali (HR Al-Bukhari dan Ashabus Sunan). Dan dalam sebuah hadits yang lain, Rasulullah bersabda (yang artinya) : “Bacalah Qul a’udzu birabbilfalaq (yakni QS Al-Falaq) dan Qul a’udzu birabbinnaas (yakni QS An-Naas) pada waktu petang dan pagi sebanyak tiga kali, maka itu cukup untuk menjaga dirimu dari segala bentuk gangguan“ (HR. Abu Dawud. An Nasa’i dan At Tirmidzi).

Disamping itu, kita juga dianjurkan untuk banyak-banyak membaca surat-surat perlindungan tersebut dalam berbagai kesempatan secara umum, baik dalam shalat ataupun diluar shalat.

Dalam riwayat Al-Baihaqi, diceritakan bahwa surat Al-Falaq dan An-Naas diturunkan sebagai ruqyah bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat disihir oleh seorang Yahudi yang bernama Labid bin al-A’sham dengan sebelas buhul (simpul tali), dimana setiap kali dibacakan satu demi satu ayat-ayat dari kedua surat tersebut maka terlepaslah buhul-buhul itu satu persatu. Kisah tentang disihirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini sendiri terdapat dalam Shahih Al-Bukhari.

Sebagai seorang muslim, sudah semestinya kita senantiasa memohon perlindungan (isti’adzah) kepada Allah, diantaranya dengan membaca surat-surat perlindungan diatas. Adapun alasan mengapa kita mesti banyak-banyak memohon perlindungan kepada Allah adalah sebagai berikut.

Pertama, karena Allah memang memerintahkan kita untuk banyak-banyak memohon perlindungan kepada-Nya. Bahkan, kalau kita perhatikan, betapa banyak Rasulullah telah mengajarkan kepada kita doa-doa perlindungan, untuk diucapkan dalam kesempatan-kesempatan khusus dan dalam berbagai kesempatan secara umum. Demikian pula surat-surat perlindungan diatas dan ayat-ayat Al-Qur’an pada umumnya juga merupakan perlindungan bagi kita.

Kedua, karena memohon perlindungan kepada Allah merupakan bagian dari doa, sementara doa adalah bentuk ibadah yang terbaik. Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa enggan meminta kepada Allah maka Dia akan marah kepadanya” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abu Hurairah). Ini berarti semakin banyak kita meminta kepada Allah, Dia akan semakin mencintai kita. Tentu ini berbeda dengan manusia yang jika sering dimintai justeru akan jengkel atau marah.

Ketiga, karena meneladani Rasulullah saw yang sangat banyak memohon perlindungan kepada Allah padahal beliau adalah ma’shum, dijamin terjaga dari segala bentuk kejahatan. Lalu bagaimana dengan kita? Sudah tentu kita lebih pantas untuk banyak-banyak memohon perlindungan kepada Allah.

Keempat, karena memohon perlindungan kepada Allah adalah suatu kebutuhan bagi kita. Hal ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, karena manusia adalah makhluq yang lemah. Dalam hal ini, Allah berfirman,”Manusia diciptakan dalam keadaan lemah” (QS.). Kedua, karena kejahatan sangatlah banyak bentuk dan jumlahnya, dan setiap saat bisa mengenai diri kita. Kejahatan bisa datang dari sesama manusia, binatang buas, binatang berbisa, alam dengan berbagai fenomenanya, Iblis, syetan, jin yang jahat dan sebagainya. Dan kepada Allah sajalah kita layak memohon perlindungan karena Dia-lah Dzat Yang Maha Kuat dan tidak memiliki kelemahan ataupun kekurangan sama sekali.

Kandungan Surat Ini

Dalam surat ini, demikian pula surat sebelumnya yaitu Al-Falaq, Allah memerintahkan kepada kita untuk ber-isti’adzah dengan firman-Nya Qul, yang bermakna : Katakanlah. Ini berarti bahwa pengucapan dengan lisan merupakan bentuk terbaik dari permohonan perlindungan kepada Allah, demikian pula doa pada umumnya.

Surat ini mengingatkan bahwa, manusia adalah makhluq lemah yang senantiasa membutuhkan penjagaan dan perlindungan. Dan mencari serta memohon perlindungan haruslah kepada Dzat Maha Pelindung. Dia-lah Allah, Rabb semua manusia, Raja semua manusia dan Ilah semua manusia. Disamping itu, isti’adzah (memohon perlindungan) adalah merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak boleh ditujukan melainkan hanya kepada Allah Ta’ala semata.

Bahaya dan ancaman  terbesar manusia mukmin dalam kehidupannya adalah yang membahayakan dan mengancam keselamatan hatinya, kesucian jiwanya dan kemurnian iman, tauhid dan ibadahnya. Maka manusia mukmin diarahkan agar mencari dan memohon perlindungan untuk semua itu.

Dan faktor pengancam paling vital bagi manusia mukmin tersebut adalah syetan yang memang adalah musuh bebuyutan terbesar dan paling nyata bagi orang-orang beriman (QS. Al Baqarah [2] : 168 & 208 ; Al An’am [6] : 142). Oleh karena itu kita harus menjadikannya sebagai musuh utama kita dan senantiasa menyatakan perang terhadapnya (lihat QS. Faathir [35] : 6). Barangkali karena inilah, perlindungan dari syetan dinyatakan secara khusus dalam satu surat ini, setelah kita memohon perlindungan dari berbagai bentuk kejahatan dalam surat Al-Falaq. Dalam surat ini kita juga diingatkan bahwa syetan itu tidak hanya dari keturunan Iblis dan golongan jin saja, namun juga dari golongan manusia (lihat QS. Al An’am [6] : 112).

Namun perlu disadari bahwa, sebenarnya tipu daya syetan itu lemah (QS. An Nisa’ [4] : 76). Oleh karena itu pada hakekatnya ia tidak memiliki kekuasaan apa-apa atas orang-orang yang benar-benar beriman dan bertawakal pada Allah (QS. An Nahl [16] : 99). Dominasi kekuasaan dan pengaruhnya hanyalah terhadap orang-orang yang memang telah memberikan wala’ (loyalitas dan keberpihakan) padanya dan menyambut serta mengikuti ajakannya (QS. An Nahl [16] : 100 ; Al A’raf [14] ; 22).

Dalam surat ini disebut tiga sifat Allah, yaitu Rabb, Malik dan Ilah. Allah sebagai Rabb mengandung beberapa makna sebagai berikut. Pertama, Allah adalah pencipta (al-khaaliq). Lihat juga QS. Al An’am [6] : 102 ; Ar-Ra’ad [13] : 16 ; Az Zumar [39] : 62 ; Ghafir [40] : 62 ; Al-Hasyr [59] : 24. Kedua, Allah adalah pemilik (al-maalik). Lihat juga QS. Ali Imron [3] : 26-27 ; An-Nisa’ [4] : 131 & 170. Ketiga, Allah adalah pemberi rizki (ar-raaziq). Lihat juga QS. Fathir [35] : 3 ; Adz-Dzariyat [51] : 58 ; Ar-Rum [30] : 40 ; Ghafir [40] : 64. Dan keempat, Allah adalah pengatur segala urusan alam semesta (al-mudabbir). Lihat juga QS. Yunus [10] : 3 & 31 ; Ar-Ra’ad [13] : 2.

Adapun Allah sebagai Raja (Al-Malik) mengandung beberapa arti berikut. Pertama, Allah adalah penguasa sekaligus pembuat hukum dan tatanan kehidupan (al-haakim) : QS. At Tin [95]  :8 ; Al Maidah [5] : 50 ; Yunus [ 12] : 40. Kedua, Allah adalah Dzat satu-satunya yang berhak mendapat ketaatan mutlak (al-muthaa’) : QS. Ali Imron [3] : 32 & 132 ; An Nisa’ [4] : 59 ; Al Maidah [5] : 92 ; Al An fal [8] : 46. Ketiga, Allah juga adalah Dzat satu-satu-Nya yang berhak memperoleh loyalitas mutlak (al-waliy) : QS. Al Baqoroh [2] : 257 ; Al Maidah [5] : 55 ; Al Hajj [22] : 40-41.

Sementara Allah sebagai Ilah memiliki beberapa makna berikut. Pertama, Allah adalah Dzat satu-satu-Nya yang harus menjadi puncak pengharapan, tujuan dan cita-cita manusia dalam segenap urusannya (al-ghayah) : QS. Al An’am [6] : 163. Kedua, Allah adalah Dzat satu-satu-Nya yang berhak atas segala bentuk penghambaan dan peribadatan (al-ma’bud) : Qs. Al Fatihah [1] : 5 ; Al Baqoroh [2] : 21 ; Al An’am [6] : 102 ; Adz Dzariyat [51] : 56 ; An Nahl [16] : 36 ; Al Anbiya’ [21] : 25.

Memahami ketiga sifat Allah tersebut berikut rincian maknanya merupakan bagian dari ma’rifatullah (mengenal Allah). Namun perlu diingat, ma’rifatullah tidaklah hanya mengetahui dan mengakui wujud-Nya serta sekedar menghafal Asma dan Shifat-nya saja. Tapi yang lebih penting lagi adalah: mengenal fungsi-fungsi Asma dan Shifat-Nya tersebut berikut ’sentuhan-sentuhannya’ dalam kehidupan serta mengetahui konsekuensi-konsekuensinya terkait dengan keimanan dan ibadah kita. (AMJ)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.