Dari Abu Hurairah radhiallaahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam dimulai dalam kondisi asing, dan akan kembali sebagaimana ia dimulai sebagai sesuatu yang asing; maka berbahagialah bagi kaum ghuraba’ (orang-orang yang asing tersebut)”. [H.R.Muslim]
Hadits ini bermakna bahwa Islam dimulai dengan (terhimpunnya) orang per orang (yang masuk Islam), kemudian menyebar dan menampakkan diri, kemudian akan mengalami surut dan berbagai ketidakberesan hingga tidak tersisa lagi selain orang per orang (yang berpegang teguh kepadanya) sebagaimana kondisi ia dimulai.
Adapun mengenai makna kalimat “fa thuuba lil ghurabaa’ [maka berbahagialah bagi kaum ghuraba’ (orang-orang yang asing tersebut)]”, para ulama berbeda pendapat mengenai makna lafazh thuuba. Terdapat beberapa makna, diantaranya: fariha wa qurratu ‘ain (berbahagia dan terasa sejuklah dipandang mata); ni’ma maa lahum (alangkah baiknya apa yang mereka dapatkan); ghibthatan lahum (kesukariaanlah bagi mereka); khairun lahum wa karaamah (kebaikan serta kemuliaanlah bagi mereka); al-jannah (surga); syajaratun fil jannah (sebuah pohon di surga). Semua pendapat ini dimungkinkan maknanya dalam pengertian hadits ini.
Hadits ini menunjukkan betapa besar keutamaan para shahabat radhiallaahu ‘anhum yang telah masuk Islam pada permulaan diutusnya Nabi saw, karena karakteristik ghuraba’ tersebut sangat pas buat mereka. Keterasingan (ghurbah) yang mereka alami adalah bersifat maknawi dimana kondisi mereka menyelisihi kondisi yang sudah berlaku di tengah kaum mereka yang telah terwabahi oleh kesyirikan dan kesesatan.
Berpegang teguh kepada dienullah, beristiqamah dalam menjalankannya, serta mengambil suri teladan Nabi kita, Muhammad saw, merupakan sifat seorang mukmin yang sejati, yang mengharapkan pahala sebagaimana yang diraih oleh kaum ghuraba’ tersebut, meskipun (dalam menggapai hal tersebut) kebanyakan orang menentangnya. Yang menjadi tolok ukur adalah berpegang teguh kepada al-haq, bukan kondisi yang berlaku dan dilakukan oleh kebanyakan orang. Allah Ta’ala berfirman: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya.” (QS. 6:116).
Yang dimaksud dengan al-ghuraba’ adalah kaum yang ghuraba’ karena agamanya alias mereka menjadi asing lantaran berpegang teguh kepada al-haq dan beristiqamah terhadapnya. Dalam beberapa riwayat, dinyatakan bahwa makna al-ghuraba’ adalah orang yang baik atau lurus manakala kondisi manusia sudah rusak. Juga terdapat makna; mereka adalah orang yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia. Ini menunjukkan bahwa kelurusan jiwa semata tidak cukup akan tetapi harus ada upaya yang dilakukan secara bijak, lemah lembut dan penuh kasih sayang dalam memperbaiki kondisi manusia yang sudah rusak agar label ghuraba’ yang dipuji dalam hadits diatas dapat ditempelkan kepada seorang mukmin.
Ternyata kebahagiaan itu tergantung pada sikap teguh hati mempertahankan keimanan kepada Allah Sang Penguasa hati. Ternyata kebahagiaan itu tergantung pada ketenteraman hati dekat dengan hidayah Allah Yang Maha Benar. Ternyata kebahagiaan itu tergantung pada kesungguhan hati berpegang teguh pada petunjuk Allah dan menjalaninya dengan sepenuh hati meskipun orang-orang di sekitar melihat dengan pandangan aneh dan sinis. Ternyata kebahagiaan itu sangat tergantung pada keistiqamahan hati agar tetap husnuzhan pada semua kehendak dan takdir Allah SWT, dan tidak peduli pada bisikan-bisikan negatif hati dari sisi yang berbeda.
Allah takkan pernah menzalimi hamba-Nya. Apalagi jika hamba itu patuh dan sabar dalam menjalani titah-Nya. Kalau orangtua hanya menginginkan satu hal saja bagi anaknya, bahagia. Bagaimana dengan Allah?