Sungguh luar biasa orang-orang yang menjadikan keadilan sebagai timbangan aktivitas hidupnya. Sungguh terpuji orang-orang yang menjadikan keadilan sebagai misi perjuangannya. Sungguh simpatik orang-orang yang menjadikan keadilan sebagai ukuran utama pada setiap keputusannya. Sungguh terhormat para pemimpin yang menjadikan keadilan sebagai nafas perjalanan kekuasaannya. Berbahagialah siapapun yang menjadikan keadilan sebagai hiasan kebanggaan pada semua area hidup yang ditapakinya.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berabda, “Orang-orang yang berbuat adil di sisi Allah pada Hari Kiamat akan berada di atas mimbar cahaya di sebelah kanan Arsy, yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam menetapkan hukum, adil dalam keluarga, dan adil dalam kepemimpinannya”. (HR. Muslim). Begitu hebat jaminan Rasulullah saw. bagi umatnya yang senantiasa berjalan di atas prinsip keadilan, Ada mimbar cahaya di sebelah Arsy sudah menunggunya.
Allah subhanahu wata’ala mengutus para Rasul dan menurunkan kitabnya tidak lain tujuannya adalah untuk menegakkan keadilan “Sungguh, Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil”. ( QS.Al-Hadid 25 )
Bila keadilan menghiasi setiap sisi kehidupan, segalanya tentu akan menghasilkan kebaikan, kemanfaatan, kedamaian dan keharmonisan. Karena semua fihak mendapatkan haknya secara proporsional , terjaga dan terpeliharanya harga diri. Dengan keadilan mencegah terjadinya krisis bernuansa kezaliman dan keserakahan. Karena yang memiliki harta berlebih pasti membutuhkan orang-orang yang kekurangan. Yang miskin tidak merasa terhina dan direndahkan. Keadilan menciptakan kehidupan dalam suasana dan nuansa kedamaian dan harmonis.
Nuansa cinta menhiasi masyarakat yang menjunjung keadilan: ” Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al-Hujarat 9). Bisa dibayangkan bila keadilan menjadi sikap yang menonjol pada seluruh lapisan masyarakat? Semua kondisi, semua keadaan dan di segala tempat, semuanya menyejukkan mata, menyegarkan jiwa. Sebab pada semua keadaan, semua kondisi dan tempat ada anugerah cinta dari yang Maha Mencintai.
Getaran cinta yang ada di hati karena sikap adil itu tentunya akan terus memacu dan memicu pemiliknya suka berbuat kebaikan kepada saudaranya, meskipun ada hubungan yang tidak harmonis. Terutama semangat kebaikan dengan ketaatan kepada Yang Maha Adil dirasakan bukan sebagai beban tapi kebutuhan yang sangat menjanjikan banyak keberuntungan. Sikap adil benar-benar mempermudah untuk meraih ketakwaan: “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS.Al-Maidah 8)
Sangat istimewa sekali bila keadilan ini diperankan oleh seorang pemimpin. Karena dia akan menjadi orang pertama di padang Mahsyar kelak untuk mendapat kehormatan dari Allah berupa naungan-NYA pada saat tidak ada sama sekali naungan kecuali naungan-Nya. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw. Bersabda: Tujuh golongan manusia akan dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali hanya naungan-Nya, yaitu Imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, seorang yang hatinya selalu rindu ke masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah berkumpul dan berpisah karena-Nya, seorang laki-laki yang diajak zina oleh perempuan yang kaya dan cantik , tapi dia tidak mau dan berkata: Saya takut kepada Allah, seorang yang menyembunyikan sadaqahnya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakan oleh tangan kanannya dan seorang yang berzikir kepada Allah sendirian, lalu bercucuran air matanya (HR.Bukhari Muslim)
Coba hayati sebuah kejadian yang berhubungan dengan Ali bin Abi Thalib ra. yang saat itu menjadi khalifah. Beliau mempermasalahkan baju besinya yang ada di tangan seorang Yahudi. Si Yahudi dihadapkan kepada Syuraih sang hakim yang diangkatnya sendiri. Di depan meja sidang Ali duduk sejajar dengan siYahudi itu. Kata Ali: “Baju besi ini milik saya, tetapi ada di tangan dia”. Si Yahudi menjawab: “Baju besi ini milik saya, karena berada pada saya”. Lalu si Hakim Syuraih bertanya kepada Ali sang khalifah: “Apakah tuan punya bukti?” Jawab Ali : “Punya, yaitu Hasan anakku dan pembantuku”. “Persaksian anak kepada bapak tidak sah begitu juga persaksian pembantu kepada majikannya”, jawab Syuraih. Akhirnya karena saksi ini tidak kuat, maka Hakim Syuraih memutuskan bahwa baju besi itu milik si Yahudi dan Ali sang khalifah kalah dalam persidangan. Di luar sidang si Yahudi menemui Ali dan menyatakan kekagumannya terhadap keadilan hokum Islam dan berkata: “Aku bersaksi bahwa hukum ini adalah hukum para Nabi. Demi Allah, baju ini adalh milikmu”. Lalu si Yahudi masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat. (sj)