Ahli Hikmah berkata:”Janganlah bergembira karena ketaatanmu muncul dari dirimu. Namun bergembiralah karena ketaatan itu muncul dari Allah Ta’ala sebagai anugerah kepadamu.”. Ketaatan atau kepatuhan kita kepada Allah merupakan salah satu intisari dari ubudiyah yang dicintai Allah, dan kegembiraan terhadap kepatuhan itu merupakan persoalan yang naluriah. Namun kenapa kita dilarang oleh Ibnu Athaillah untuk merasa bergembira atas ketaatan kita? Yang dilarang adalah manakala, bahwa kita bergembira karena kita merasa semuanya semata-mata dari diri kita sendiri yaitu merasa mampu, merasa bisa dan bahwa taat itu adalah prestasi dan usaha kita.
Kita boleh bergembira manakala kita merasakan bahwa taat kita adalah kehendak Ilahi demi anugerahNya yang turun pada diri kita. Artinya jika Allah memberikan pertolongan kepada kita, sang hamba dianugerahi kemampuan untuk taat kepadaNya. Sebaliknya bila Allah ingin merendah-hinakan hambaNya, maka si hamba dibukakan pintu hawanafsunya untuk maksiat kepadaNya. Syeikh Zaruq menegaskan: Hamba Allah itu bergembira atas ketaatannya, dalam tiga tahap.
Pertama, kegembiraan yang muncul disebabkan adanya pahala dibalik taat, atau terhindar dari siksa-Nya. Kedua, kegembiraan disebabkan taat itu yang bisa menjernihkan, membersihkan dan menyucikan dirinya, atas prestasi taatnya. Ketiga, gembira karena taatnya sang hamba merupakan bentuk taufiq Allah, sehingga ia mampu melaksanakan perintah dan menghindari laranganNya.
Tentunya yang ketiga nilainya lebih tinggi dibanding yang kedua, begitu juga yang kedua lebih tinggi dibanding yang pertama. Sebab yang ketiga, senantiasa didorong rasa syukur oleh si hamba, sedangkan yang kedua, si hamba malah bisa kagum pada prestasi amalnya, dan yang pertama, si hamba bergantung atau mengandalkan amalnya. Oleh sebab itu Allah Ta’ala berfirman: “Katakan, dengan karunia Allah dan Rahmat-Nya, maka dengan keduanya, hendaknya mereka bergembira. Itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS,Yunus:58)
Ini menunjukkan bahwa kegembiraan kita tidak boleh dilatari oleh amaliyah kita, tetapi dilatari oleh karunia dan rahmat-Nya, kita gembira. Karena karunia dan rahmat itulah yang membuat kita bisa taat. Mengenang dan mengingat anugerah Allah, karunia dan rahmat-Nya membuat kita terus bergembira dan terus menerus menambah syukur kita. “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku tambah nikmat-Ku kepadamu,” demikian Allah berfirman.
Maka, ketika ada kesempatan bangun malam, nikmati dan bergembiralah dengan shalat tahajjud, itu adalah karunia dan tanda kasih sayangnya. Ketika ada keinginan untuk ke masjid , jangan merasa berat tapi nikmatilah segera langkahkan kaki ke sana. Ketika ada keinginan untuk berinfak segera sisihkan sebagian harta, karena itu adalah karunia dan kasih sayang-Nya, tidak akan merugikan sedikitpun tapi sebaliknya sangat menguntungkan. Dan segala hal yang baik manakala menyapa hati, itulah karunia dan kasih sayang-Nya. Bersyukurlah ketika hal itu bisa diwujudkan dan bergembiralah dan bebahagialah karena Allah telah berkenan memberikan hadiah karunia dan rahmat-Nya.