Alkisah, pada suatu hari seorang imam besar penulis kitab monumental Fathul Bari syarah Shahih Al-Bukhari yang saat itu menjabat sebagai hakim agung di Mesir, yang tak lain adalah Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah, sedang melintas di sebuah pasar rakyat, dalam iring-iringan yang megah lengkap dengan kendaraan kereta cukup mewah yang ditarik oleh bagal (baghal), dikelilingi oleh kerumunan orang banyak. Tiba-tiba datanglah seorang lelaki yahudi penjual minyak panas dengan pakaian yang penuh minyak dan tampilan yang sangat lusuh serta kotor sekali. Si yahudi merangsek masuk ke tengah-tengah rombongan pengiring dan menembus kerumunan khalayak serta berusaha mendekati kereta bagal yang dinaiki oleh sang Imam.
Diapun memegang kekang bagal penarik kereta, seraya berkata kepada Imam Ibnu Hajar: Wahai Syaikhal Islam…bukankah nabi Anda mengatakan bahwa, “dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir” (HR. Muttafaq ‘alaih)? Lalu (coba lihat dan bandingkan sekarang) penjara apakah yang ada pada Anda dengan segala kemewahan dan kemegahan ini? Dan surga apakah yang ada padaku (sebagai orang kafir) dengan semua kemiskinan, kesulitan dan penderitaan hidup seperti yang kualami ini? Bagaimana dikatakan aku di surga dengan kondisiku yang memprihatinkan ini? Dan bagaimana bisa dibilang seperti Anda di neraka dengan segala kemegahan yang Anda miliki? Bukankah yang tepat justru sebaliknya bahwa, sebenarnya Andalah yang di surga, sedangkan aku di neraka? Dengan perbandingan tersebut, si yahudi sepertinya ingin mengatakan bahwa, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam telah berdusta atau salah dengan sabda beliau itu. Maka mari kita cermati makna dan maksud dari hadits shahih dimaksud pada kedalaman ilmu Imam Ibnu Hajar rahimahullah saat menjawab lelaki yahudi tersebut.
Ya. Dengan penuh ketenangan dan keyakinan, serta tanpa sedikitpun terpengaruh oleh sikap dan kalimat-kalimat kasar si yahudi, Imam Ibnu Hajar-pun menjawab sebagaimana layaknya jawaban seorang ulama yang sangat luas dan dalam ilmunya. Beliau berkata: Aku ibarat di penjara itu maksudnya bila dibandingkan dengan segala balasan dan kenikmatan tiada tara yang Allah sediakan bagi orang-orang mukmin di Surga. Karena kehidupan dunia ini pada hakekatnya tidaklah ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kehidupan akherat. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda misalnya (yang artinya): “Sungguh seukuran tempat satu cemeti saja di Surga, adalah lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya” (HR. Al-Bukhari). Sedangkan engkau wahai lelaki Yahudi ibarat di surga (meskipun dengan kondisi burukmu seperti sekarang ini) juga maknanya adalah bila dibandingkan dengan adzab pedih tak terkira yang disediakan untukmu nanti, jika engkau sampai mati tetap dalam kekufuran. Jadi, sekali lagi, aku dengan segala penghormatan dan para pembantu, seperti yang engkau lihat kini, sebenarnya itu semua tetaplah ibarat penjara bagiku bila dibandingkan dengan berbagai kenikmatan luar biasa yang tersedia bagi seorang mukmin di Surga nantinya. Adapun engkau, meskipun dengan segala kondisi kefakiran dan kehinaan seperti sekarang ini, sejatinya itu masih tetap seolah-olah di surga jika dibandingkan dengan kedahsyatan adzab yang akan didapati oleh seorang kafir di Neraka kelak!
Lelaki Yahudi itu benar-benar dibuat tercenung memikirkan kalimat-kalimat bernas Imam Ibnu Hajar tersebut. Dan sepertinya penjelasan sang Imam (tentang makna dan maksud hadits) telah membuat hatinya penuh dengan rasa ketakjuban. Sehingga iapun mengangankan agar dunia menjadi penjara saja baginya, dan akherat menjadi surga (daripada sebaliknya). Sehingga akhirnya iapun serta merta berikrar: Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah (shallallhu ‘alaihi wasallam)..!
Allahu Akbar walillahilhamd!
Mari tak henti bersyukur dengan kesyukuran yang sejujur-jujurnya atas kenikmatan teristimewa berupa hidayah iman yang dikaruniakan Allah Ta’ala hanya kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih saja. Semoga kita termasuk diantara mereka. Dan semoga pula Dia memberi taufiq kepada kita semua agar senantiasa mampu istiqamah dalam menjaga serta mempertahankan kenikmatan hakiki tertinggi ini sampai akhir hayat kita dengan keindahan husnul khatimah! Aamiin! (H. Ahmad Mudzoffar Jufri)