Dalam sebuah perjalanan ke suatu daerah, para sahabat diatur agar setiap dua orang yang mampu, membantu seorang yang tak mampu (tentang makan-minum). Kebetulan Salman Al Farisi diikutkan pada dua orang, tetapi ketika itu ia lupa tidak melayani keperluan keduanya. Ia disuruh minta lauk-pauk kepada Rasulullah saw. Dan setelah ia berangkat, keduanya berkata, “Seandainya ia pergi ke sumur, pasti surutlah sumurnya.” Sewaktu Salman menghadap, beliau bersabda, “Sampaikan kepada kedua temanmu bahwa kalian sudah makan lauk pauknya.” Setelah ia menyampaikan kepada mereka berdua, lalu keduanya menghadap kepada Nabi saw dan katanya, “Kami tidak makan lauk pauk dan seharian kami tidak makan daging.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Kalian telah mengatakan saudaramu (Salman) begini-begitu. Maukah kalian memakan daging orang mati?” Mereka menjawab, “Tidak!” “Jika kalian tidak mau makan daging orang mati, maka janganlah kalian ghibah mengatakan kejelekan orang lain, sebab yang demikian itu berarti memakan daging saudaranya sendiri.”
Menurut Ibnu Abbas, kisah tersebut yang melatarbelakangi diturunkannya surat Al Hujarat (49) ayat 12: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (buruk), karena setengahnya itu dosa, dan janganlah menyelidiki kesalahan orang lain, dan jangan pula setengah kamu menggunjing (ghibah) atas sebagian yang lainnya. Maukah seseorang di antara kamu makan daging saudaranya yang mati? Pasti kamu jijik (tidak mau). Bertaqwalah kepada Allah, bahwasannya Allah menerima taubat lagi Penyayang.”
Dari Ali ibn Ibrahim, dari ayahnya, dari An Nawfali, dari Al Sakkuni, dari Abu Abdillah ra berkata: Rasulullah saw bersabda: Kerusakan yang dilakukan oleh ghibah (mengumpat/memfitnah) pada iman seorang mukmin lebih cepat daripada kerusakan yang disebabkan oleh penyakit aklah (penyakit yang memakan daging di tubuh manusia) pada tubuhnya.
Diriwayatkan Abu Dzarr berkata: Ya Rasulullah, apakah ghibah itu? Rasul menjawab: Itu adalah menyebutkan tentang saudaramu akan sesuatu yang membuat dia merasa jijik. Aku berkata: Ya Rasulullah, bagaimana jika hal tersebut memang ada pada dirinya? Rasul menjawab: Ketahuilah, bahwa menyebut tentang sesuatu yang memang ada pada dirinya, berarti kamu telah mengumpatnya. Abu Dzarr berkata: Nabi saw bersabda: Ghibah merupakan suatu dosa yang lebih besar daripada berzina. Kataku: Bagaimana itu, ya Rasulullah? (Rasul menjawab): Itu karena orang yang berzina, jika dia bertobat kepada Allah, Allah menerima tobatnya. Namun ghibah tidak diampuni oleh Allah, hingga korban daripada ghibah mengampuninya.
Dari Nawfal Al Bakali, Ali (karamallahu wajhah) berkata: Janganlah berbuat ghibah, sebab itu adalah makanan anjing-anjing neraka. Ishaq bin ibn Ammr meriwayatkan dari Ja’far As Shadiq ra Rasulullah saw bersabda: Wahai yang telah memeluk Islam dengan lidah, namun iman belum masuk ke hatinya, janganlah menghina orang-orang muslim dan janganlah membuka cacat-cacat mereka. Sesungguhnya Allah akan membuka cacat-cacat mereka, dan barangsiapa yang dibukakan cacatnya oleh Allah, maka ia akan senantiasa terhina, walaupun di rumahnya sendiri.
Ngomongin orang memang enak, lain dengan sebaliknya yaitu diam, memang emas;. Tabiat manusia bila diomongin jadi sesak dada, apalagi dijelek-jelekkan orang lain, pasti emosi, marah-marah, atau setidaknya muncul rasa benci kepada yang menjelekkan. Perkecualian barangkali berlaku pada seorang ulama saleh yang arif bijaksana seperti Hasan Basri. Konon ia pernah diberitahu oleh seseorang bahwa dirinya dijelek-jelekkan (si Fulan), lalu ia melakukan pembalasan pula. Harap jangan salah praduga, sebab pembalasan Hasan Basri bukan dengan omelan, apalagi tindakan fisik.
Tak seorang pun tahu. Secara diam-diam dia menghadiahkan makanan lezat kesukaan si Fulan yang nakal tadi berupa kurma dengan kualitas paling istimewa (ruthab) seraya berkata, “Aku dengar Engkau telah memberikan amal baikmu kepadaku, lalu aku pun ingin membalas pemberianmu itu, sekalipun mungkin terlalu sedikit dan tidak sesuai dengan apa yang Engkau berikan,” ujarnya tulus. Akhlaq mulia Hasan Basri menjadi teladan bagi si Fulan. Ia lantas bertobat kepada Allah atas kekhilafannya tersebut.