Hati Yang Kaya

  • Sumo

Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad shahih sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,“Barangsiapa akhirat menjadi obsesinya, maka Allah menjadikan melancarkan semua urusannya, hatinya kaya, dan dunia datang kepadanya dalam keadaan tunduk. Dan, barangsiapa dunia menjadi obsesinya, maka Allah mengacaukan semua urusannya, menjadikannya miskin, dan dunia datang kepadanya sebatas yang ditakdirkan untuknya.” (Diriwayatkan Ibnu Majah).

Barangsiapa akhirat menjadi kesibukan utamanya dan obsesi abadinya, maka setiap hari ia ingat perjalanan hidupnya kelak. Apapun yang ia lihat di dunia pasti ia hubungkan dengan akhirat, dan akhirat akan selalu ia sebut di setiap pembahasannya. Ia tidak bahagia, kecuali karena kebahagiaan akhirat kelak. Tidak sedih, kecuali karena bayangan akhirat. Tidak ridha, kecuali karena alasan akhirat. Tidak marah, kecuali karena akhirat. Tidak bergerak, kecuali karena akhirat. Dan, tidak berusaha, kecuali karena untuk mempersiapkan kehidupan  akhirat.

Barangsiapa bisa seperti itu, ia akan diberi kenikmatan oleh Allah subhanahu wata’ala. Tapi, ketiga nikmat itu merupakan nikmat Allah swt yang Dia berikan kepada siapa saja di antara hamba-hamba-Nya Dia kehendaki. Yaitu orang-orang yang menyiapkan jiwa mereka hanya untuk Allah swt. Nikmat yang dianugrahkan Allah swt kepadanya dan merupakan nikmat paling agung ialah kaya hati, sebab Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda di hadits Shahih, yang artinya: “Kekayaan hakiki bukan berarti harta melimpa. Tapi, kekayaan ialah kekayaan hati.” (Diriwayatkan Muslim).

Imam Al-Manawi berkata, “Maksudnya, kekayaan terpuji itu bukan banyak harta dan perabotan. Sebab, banyak sekali orang dibuat kaya oleh Allah namun kekayaannya yang banyak itu tidak bermanfaat baginya dan ia berambisi menambah kekayaannya, tanpa peduli dari mana sumbernya. Ia seperti orang miskin karena begitu kuat ambisinya. Orang ambisius itu miskin selama-lamanya. Tapi, kekayaan terpuji dan ideal menurut orang-orang sempurna adalah kekayaan hati. Diriwayat lain, kekayaan jiwa. Maksudnya, orang yang punya kekayaan jiwa merasa tidak membutuhkan jatah rizkinya menerimanya dengan lapang dada, dan ridha dengannya tanpa memburu dan memintanya dengan menekan.

Barangsiapa dijaga jiwanya dari kerakusan, maka jiwanya tentram, agung, mendapatkan kebersihan, kemiliaan, dan pujian. Itu semua jauh lebih banyak ketimbang kekayaan yang diterima orang yang miskin hati. Kekayaan memebuat orang yang miskin hati terpuruk dalam hal-hal hina dan perbuatan-perbuatan murahan, karena kecilnya obsesi yang ia miliki. Akibatnya, ia menjadi orang kerdil dimata orang, hina dijiwa mereka, dan menjadi orang yang paling hina.”

Jika seseorang punya harta yang banyak, namun ia tidak qana’ah dengan rezeki yang diberikan Allah Ta’ala kepadanya, maka ia hidup terengah-engah. Sungguh, ia orang miskin sejati, karena orang miskin adalah orang yang merasa selalu tidak punya harta dan senantiasa merasa membutuhkannya. Dikisahkan, seseorang berkata kepada orang Zuhud, Ibrahim bin Adham, lalu berkata, “Saya ingin Anda menerima jubah ini dariku.” Ibrahim bin Adham berkata, “Kalau Anda kaya saya mau menerima hadiah ini. Jika Anda miskin saya tidak mau menerimanya.” Orang itu berkata, “Saya orang kaya.” Ibrahim bin Adham, “Anda punya jubah berapa?” Orang itu menjawab, “Dua ribu jubah.” Ibrahim bin Adham berkata, “Apakah Anda ingin punya empat ribu jubah?” Orang itu menjawab, “Ya.” Ibrahim bin Adham berkata, “Kalau begitu Anda miskin (karena masih butuh jubah lebih banyak lagi). Saya tidak mau menerima jubah ini darimu.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.