Allah SWT berfirman dalam Al Quran surat Al Ashr: ”1) Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. 2) Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. 3) Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Taubat” Surah pendek dengan hanya 3 ayat ini nilai dan fadhilahnya menyamai seperempat Al-Qur’an. Dan menurut sebagian riwayat, ia merupakan surah yang diturunkan terakhir kali, yakni pada pertengahan hari-hari tasyriq di Mina pada haji wada’.
Menurut sebagian riwayat surat ini sebagai pertanda telah sempurnanya ajaran Islam dan telah berakhirnya tugas suci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mengemban amanah besar dari Allah Ta’ala, untuk menyeru dan membimbing ummat manusia ke jalan lurus, jalan Allah satu-satunya yakni jalan tauhid, iman, ibadah dan penghambaan diri kepada Allah semata dalam bingkai dinul Islam yang murni. Oleh karena itu, turunnya surah ini dipahami sebagai tanda telah dekatnya ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bercerita bahwa, di hari-hari terakhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam banyak mengucapkan dzikir dan doa: “Subhanallah wabihamdih, astaghfirullah, wa atubu ilaih”, dan beliau bersabda (yang artinya): “Sungguh Rabb-ku (Tuhan-ku) telah memberitahuku bahwa aku akan mendapatkan suatu tanda pada ummatku, dan Dia memerintahkan jika telah mendapatkannya agar aku bertasbih memuji-Nya dan beristighfar kepada-Nya, karena sungguh Dia Maha Penerima taubat, dan aku telah mendapatkannya, …lalu beliaupun membaca surah An-Nashr” (HR. Ahmad dan Muslim).
Dan dalam hadits lain disebutkan bahwa, setelah surah An-Nashr turun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam ruku’ dan sujud beliau banyak membaca dzikir: Subhanaka Allahumma [Rabbana] wa bihamdika, Allahumma-ghfirli, dalam rangka melaksanakan perintah Allah dalam Al-Qur’an surah An-Nashr ayat 3 (lihat HR. Muttafaq ‘alaih dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan HR. Ahmad dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu).
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma – dikuatkan oleh Amirul mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu – memahami surah An-Nashr sebagai tanda dari Allah akan dekatnya ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (lihat HR. Al-Bukhari). Dan tafsir beliau ini – yang selaras dengan hadits Muslim di atas – menegaskan bahwa, satu-satunya misi suci, tugas mulia dan jalan lurus beliau dalam hidup ini hanyalah menyampaikan dakwah Islam (QS. Yusuf [12]: 108), dan tidak ada yang lain. Maka ketika dinul Islam telah sempurna (QS. Al-Maidah [5]: 3), pertolongan Allah telah datang dan kemenangan terbesar telah diraih, yang ditandai dengan penaklukan kota Mekkah dan masuknya ummat manusia secara berbondong-bondong ke dalam agama Islam, jika itu semua telah terjadi, berarti telah tibalah saat beliau kembali kepada Allah. Karena memang hanya untuk misi dan tujuan mulia itu sajalah beliau dicipta di dunia ini dan diutus di tengah-tengah ummat manusia.
Nah, di sinilah kita semua sebagai ummat pengikut dan pewaris Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, wajib merenung dan menanyakan pada diri masing-masing: sudahkah selama ini kita menjadikan dakwah membela dan memperjuangkan Islam sebagai tugas dan misi utama kita dalam hidup ini? Ataukah urusan dakwah baru kebagian yang serba sisa saja dari kepedulian kita, perhatian kita, waktu kita, tenaga kita, harta kita, dan semua yang kita miliki? Atau bahkan masih lebih buruk lagi dari itu?
Standar Kesuksesan dan Fiqih Kemenangan
Dan karena tugas dan misi utama itu adalah berdakwah memenangkan Islam di bumi Allah ini, maka standar kesuksesan dan parameter kemenangan dalam hidup setiap mukmin dan mukminah pewaris Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam haruslah diukur dengan kesuksesan dakwah dan kemenangan Islam, dan bukan kesuksesan-kesuksesan lain yang bersifat materi dan duniawi yang umumnya semu belaka.
Meskipun keberhasilan dan kesuksesan dakwah tidak selalu harus berwujud kemenangan Islam yang terlihat di alam kehidupan nyata. Namun tetap saja kita harus menjadikan pasal kemenangan ini sebagai tujuan utama dan cita-cita besar perjuangan dakwah kita. Dan untuk itu kita mesti memahami kaidah-kaidah fiqhun nashr (fikih kemenangan) yang merupakan bagian dari sunnatullah dalam kehidupan ini. Dan di antara kaidah-kaidah itu adalah sebagai berikut:
Pertama, kemenangan itu hanya dari Allah saja (QS. Ali ‘Imraan [3]: 126, dan Al-Anfaal [8]: 10). Oleh karenanya kemenangan yang diraih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam surah ini dinisbatkan langsung kepada Allah: nashrullah (pertolongan/kemenangan dari Allah).
Kedua, kemenangan hakiki dari Allah hanya diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang berhak, yakni yang benar-benar beriman (QS. Ar-Ruum [30]: 47; Ghaafir [40]: 51).
Ketiga, untuk berhak atas pertolongan dan kemenangan dari Allah, orang beriman wajib beramal, berusaha dan berjuang secara benar, optimal dan maksimal, yang karenanya membutuhkan waktu yang panjang dan melalui tahapan-tahapan tertentu (lihat QS. Al-Hajj [22]: 40; Al-‘Ankabut [29]: 69; Muhammad [47]: 7), jadi tidak serta merta begitu saja secara bim salabim, yang sering dipakai secara salah untuk menafsirkan kata-kata kun fayakun, dan juga tidak sekedar berpangku tangan saja. Maka kemenangan puncak dalam dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti disebutkan dalam surah An-Nashr-pun baru diperoleh setelah liku-liku dan tahapan-tahapan perjuangan yang panjang selama 21 tahun, padahal amat sangatlah mudah andai Allah ingin memberikan pertolongan dan kemenangan-Nya langsung pada hari pertama kenabian dan kerasulan kekasih-Nya itu. Tapi Allah tidak berkehendak demikian karena itu tidak sesuai dengan ketentuan sunnah-Nya Sendiri.
Keempat, Allah memberikan kemenangan kepada orang-orang beriman yang beramal dan teruji tegar dalam melewati berbagai cobaan dan ujian berat yang memang merupakan bagian dari sunnatullah yang baku di jalan dakwah dan jihad (QS. Al-Baqarah [2]: 214, dan Al-‘Ankabuut [29]: 2-3).
Menang = Syukur dan Istighfar
Islam adalah agama yang indah dalam berbagai aspeknya, karena memang berasal dari Allah Ta’ala Dzat Yang Maha Indah. Dan salah satu sisi serta bentuk keindahan itu terlihat pada arahan, petunjuk dan bahkan perintahnya pada momen kesuksesan sempurna dan kemenangan puncak.Dimana dalam situasi dan kondisi seperti itu biasanya orang akan berbangga diri, sombong karena merasa paling hebat, bersuka ria melampiaskan kegembiraan dengan penuh kelalaian dan sikap lupa diri, dan semacamnya.
Namun Islam justru memerintahkan kebalikan dari itu semua. Ya, melalui firman-Nya dalam surah An-Nashr ini, Allah memerintahkan kekasih-Nya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat mendapat kemenangan puncak itu untuk justru merunduk dan merendah dalam rangka menyadari kelemahan diri dan sekaligus mengekspresikan rasa syukur yang sedalam-dalamnya kepada Allah dengan banyak-banyak bertasbih dan bertahmid mengagungkan dan memuji Asmaa’-Nya. Semuanya wajib dikembalikan kepada Allah, karena Dia-lah Pemilik dan Pemberi semuanya.
Tapi perintah Allah tidak hanya terbatas pada syukur, tasbih dan tahmid saja. Melainkan masih diteruskan dengan arahan dan perintah yang lebih indah lagi, yakni perintah untuk beristighfar dan memohon ampun pada momen kemenangan puncak dan puncak kemenangan. Ini benar-benar tidak biasa, dan bahkan mungkin dianggap “aneh” dan nyleneh: pemenang mutlak disuruh mengakui kesalahan, beristighfar, dan mohon ampun. Sungguh sesuatu yang sangat tidak mudah dijalankan kecuali oleh orang-orang agung yang telah tersucikan jiwanya. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-pun memberikan contoh dan keteladanan terbaik kepada kita dengan langsung melaksanakan perintah Allah tersebut, sebagaimana kita dapati dalam riwayat-riwayat di atas.
Lalu sudah siapkah kita untuk melaksanakan perintah itu jika diberi kemenangan sewaktu-waktu? Ataukah jangan-jangan Allah menahan memberikan pertolongan dan kemenangan-Nya karena Dia Maha Tahu bahwa, kita masih belum mencapai derajat keagungan jiwa dan kesucian hati yang dengannya telah sanggup membuktikan kehebatan dan keindahan Islam tersebut? (Ust. Ahmad Mudzoffar Jufri)