Imam Ibnu Katsir adalah seorang ulama Islam terkemuka yang hidup di abad kedelapan hijriah. Nama lengkapnya adalah Imadudin Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir bin Dhau’ bin bin Katsir bin Dzara’ bin Al-Qaisi Al-Bushrawi Ad-Dimasyqi Asy-Syafi’i. Lahir di desa Mujaidal dalam wilayah Bushra tahun 700 H/1301 M. Ibnu Katsir berasal dari keluarga yang terhormat. Ayahnya seorang ulama terkemuka di masanya. Dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, serta senantiasa menjunjung nilai-nilai keilmuan, Ibnu Katsir tumbuh sebagai sosok anak saleh yang bersemangat dalam mencari mutiara-mutiara ilmu yang berharga dimanapun berada. Dengan modal usaha dan kerja keras Ibnu Katsir menjadi sosok ulama yang diperhitungkan dalam percaturan keilmuan.
Ayahnya meninggal pada tahun 703 H. ketika ia berusia 3 tahun. Oleh karena itu, sejak tahun 706 H/1306 M ia hidup bersama kakaknya, Kamaluddin Abdul Wahab di Damaskus. Ibnu Katsir adalah anak yang paling kecil di keluarganya. Semenjak ayahnya wafat kakaknya itulah yang mendidik dan mengayomi Ibnu Katsir kecil. Iapun memulai pelajarannya pada kakaknya tersebut. Kemudian menuntut ilmu dari para ulama besar lainnya yang hidup sezaman dengannya. Bersamaan dengan itu, ia sangat giat menghafalkan Al-Qur’an Al-Karim, dan mengkhatamkan hafalannya di tahun 711 H, yakni pada usia 11 tahun, seperti dikatakannya sendiri dalam tarikhnya vol. 14 hlm. 312. Dia membaca Al-Qur’an dengan berbagai macam qira’at, sehingga oleh Ad-Dawudi digolongkan ke dalam para ahli qira’at . Bahkan biografinya dimasukkan ke dalam Thabaqat Al-Qurra’ yang ditulisnya.
Bersama kakaknya Ibn Katsir pindah dari tempat kelahirannya Bushra ke Damaskus, pada tahun 707 H. Sehingga dari ulama-ulama Damaskuslah beliau lebih banyak menimba ilmu, khususnya pada usia mudanya. Misalnya ia belajar kepada Grand Syekh Damaskus, yaitu Syekh Burhanuddin Ibrahim Abdurrahman al-Fazari (wafat 729) terkenal dengan Ibnu al-Farkah tentang fiqh madzhab Syafi’i. Lalu belajar ilmu ushul fiqh Ibn Hâjib kepada Syekh Kamaluddin bin Qodi Syahbah. Lalu ia berguru kepada; Isa bin Muth’im, Syekh Ahmad bin Abi Thalib al-Muammari (wafat 730), Ibnu Asakir (wafat 723), Ibnu Syayrazi, Syekh Syamsuddin al-Dzahabi (w. 748), Syekh Abu Musa al-Qarafi, Abu al-Fatah al-Dabusi, Syekh Ishaq bin al-Amidi (wafat 725 ), syekh Muhamad bin Zurad. Ia juga sempat ber-mulazamah kepada Syekh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mizzi (wafat 742), sampai ia mendapatkan pendamping hidupnya. Ia menikah dengan salah seorang putri Syekh al-Mizzi. Syekh al-Mizzi, adalah yang mengarang kitab “Tahdzîbu al-kamâl” dan “Athrâf-u al-kutub-i al-sittah“ .Begitu pula, Ibnu Katsir berguru Shahih Muslim kepada Syekh Nazmuddin bin al-Asqalani.
Selain guru-guru yang telah dipaparkan di atas, masih ada beberapa guru yang mempunyai pengaruh besar terhadap Ibn Katsir. Dan salah satunya yang paling berpengaruh adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Banyak sekali sikap Ibnu Katsir yang terwarnai oleh Ibnu Taimiyah, baik itu dalam berfatwa, cara berpikir juga dalam metode karya-karyanya. Dan hanya sedikit sekali fatwa beliau yang berbeda dengan Ibn Taimiyah .
Berkat kegigihan belajarnya, akhirnya beliau menjadi ahli tafsir ternama, ahli hadits, sejarawan serta ahli fiqih besar abad ke-8 H. Kitab beliau dalam bidang tafsir yaitu Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim menjadi kitab tafsir terbesar dan tershahih hingga saat ini, di samping kitab tafsir Imam Muhammad bin Jarir ath-Thabari. Disamping karya-karya besar beliau yang lainnya dalam berbagai bidang disiplin ilmu syar’i. Dan salah satunya yang termasuk monumental adalah kitab Al-Bidayah Wan-Nihayah yang merupakan ensiklopedi sejarah lengkap.
Ibnu Katsir wafat pada tahun 774 H di Damaskus dan dimakamkan bersebelahan dengan makam gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Meski kini beliau telah lama tiada, tapi peninggalannya akan tetap berada di tengah umat, menjadi rujukan terpercaya dalam memahami Al Qur’an dan ilmu-ilmu Islam secara umum. Umat masih akan terus mengambil manfaat dari karya-karyanya yang sangat berharga