Ramadhan merupakan salah satu momentum paling istimewa dan paling kondusif bagi kaum muslimin, secara individual maupun komunal, untuk melakukan upaya-upaya penempaan, perbaikan dan perubahan diri serta kehidupan dalam rangka mencapai tingkat keimanan, ketaqwaan dan keshalehan yang lebih tinggi, dan untuk menggapai derajat kepribadian mukmin-mukminah sejati yang diidam-idamkan. Maka beruntung dan berbahagialah orang yang sukses, alhamdulillah dan semoga kita termasuk didalamnya, karena telah mampu dan mau mengoptimalkan pemanfaatan momentum teristimewa yang baru saja berakhir.
Sehingga pasca Ramadhan seperti saat ini dan seterusnya, iapun seperti terlahir kembali – dengan izin dan taufiq Allah – menjadi sosok pribadi mukmin dan mukminah baru yang serba istimewa pula. Dan sebaliknya, merugilah – dunia akherat – orang yang gagal, na’udzu billah dan mudah-mudahan kita tidak tergolong disini, karena telah mengabaikan dan menyia-nyiakan karunia momentum terluar biasa, sehingga Ramadhan demi Ramadhan selalu lewat dan berlalu begitu saja, tanpa meninggalkan perubahan yang signifikan dalam diri pribadi dan kehidupannya.
Nah, untuk mengukur dan mengetahui seberapa kadar atau tingkat perubahan dan perbaikan diri sebagai bukti kesuksesan yang telah kita raih dalam mensyukuri karunia momentum teristimewa bernama Ramadhan yang baru lewat, mari kita lihat dan bercermin dari beberapa indikasinya berikut ini :
Berbahagia dan bergembira karena merasa telah beroleh taufik dan keberkahan dengan cukup optimal dalam mengisi dan memanfaatkan momentum Ramadhan. Dan bukan bersukaria sekadar karena bulan Ramadhan berikut puasanya telah usai dan “lebaran”, yang kadang dipelesetkan sebagai bubaran dengan arti bubaran Ramadhan, berarti bubaran puasa, berarti bubaran tadarus, berarti bubaran ke masjid, berarti bubaran ketaatan, dan seterusnya (?)
Berhasil membuat syetan “kecewa” dan “kecele”, karena telah memiliki semacam “kekebalan” dan “imunitas” istimewa tertentu terhadap godaan, bisikan dan ajakan jahatnya pasca Ramadhan, setelah si syetan sendiri lepas dari ikatan rantai yang telah membelenggunya selama bulan suci.
- Tetap atau bahkan semakin bersemangat dalam beribadah dan beramal, serta lebih bisa merasakan nikmat dan manisnya setiap ibadah dan ketaatan yang ditunaikan.
- Tetap atau bahkan lebih akrab dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an dengan berbagai bentuk interaksi, seperti membaca, mendengarkan, menghafal, memahami, mempelajarinya dan lain-lain.
- Tetap atau bahkan lebih akrab, dekat, terikat dan terpaut hati dengan masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa, salah satu diantara tujuh golongan manusia yang akan memperoleh naungan Allah pada hari kiamat adalah: “…dan seseorang yang hatinya senantiasa terikat dan terpaut dengan masjid…” (HR.Muttafaq ‘Alaih).
- Lebih waspada dan berhati-hati dalam setiap langkah dan perilaku, dengan motivasi menjaga agar lembaran diri yang telah menjadi bersih dan putih kembali dengan datangnya Idul Fitri, tidak terkotori lagi oleh noda-noda dosa dan kemaksiatan baru.
- Secara umum tingkat keistiqamahan terjaga dengan baik dan bahkan meningkat secara signifikan.
- Memiliki kepribadian yang lebih stabil, karena lebih mampu mengontrol diri dan mengendalikan nafsu, yang merupakan esensi ketaqwaan, dan yang tiada lain menjadi goal, tujuan dan hikmah utama ibadah puasa.
- Meningkatnya orientasi dan motivasi ukhrawi (orientasi dan motivasi pada kehidupan akherat) dalam menjalani setiap aktivitas hidup di dunia ini.
- Lebih mampu menegakkan hidup disiplin berdasarkan standar islami, dengan mengatur dan menjalani segala aktivitas harian sesuai dengan agenda dan jadwal yang telah ditetapkan oleh Allah.
Dan indikasi-indikasi yang lainnya lagi.
Namun perlu diingat dan dicatat bahwa, betapapun istimewanya, Ramadhan tetaplah hanya salah satu momentum istimewa bagi upaya perubahan diri bagi siapa saja, dan bukan satu-satunya. Sementara itu masih banyak momentum yang lainnya lagi, tentunya. Bahkan setiap saat dalam kehidupan setiap kita bisa menjadi momentum perubahan dan perbaikan diri, selama ada niat ikhlas yang jujur, kemauan yang kuat, tekad yang bulat dan kesungguhan yang terbuktikan dengan upaya langkah-langkah riil serta kongkret! Maka jangan ada yang salah sangka dan keliru persepsi, andaipun merasa sebagai termasuk yang kurang sukses dalam Ramadhan kemaren, lalu menganggap jika ingin berubah menjadi lebih baik lagi, maka ia harus menunggu sampai Ramadhan berikutnya tiba! Tidak! Tidak demikian pemahaman dan penyikapannya! Justru prinsip yang harus kita yakini dan pegangi dalam hal ini adalah bahwa, siapapun yang ingin dan mau berubah, termasuk yang berketetapan hati untuk menutup kekurangan dan mengganti “kegagalan” dalam capaian Ramadhan yang baru saja berlalu, maka ia tetap bisa dan harus melakukannya saat ini juga, tanpa harus menunggu bulan Ramadhan mendatang tiba! Karena disamping memang begitulah prinsip dan kaedahnya, juga tidak ada seorangpun yang tahu, apakah ia dan juga kita semua masih akan dapat kesempatan untuk bisa berjumpa dengan Ramadhan yang ditunggu-tunggu itu kembali nantinya ataukah tidak! (H. Ahmad Mudzoffar Jufri)