Introspeksi atau evaluasi diri adalah karakter dan tabiat seorang mukmin. Nabi saw bersabda, “Mukmin itu kayyis dan cerdas”. Cerdas sudah kita pahami maknanya: cerdas intelektual, cerdas sosial dan cerdas emosional. Sementara kayyis adalah orang yang suka mengevaluasi dirinya, apakah amalnya perbuatannya berorientasi akhirat. Muhasabah secara lugas dijelaskan dalam Al-Qur’an dalam surah Al-Hasyr ayat 18: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan”. Firman Allah ini membuktikan betapa muhasabah sesuatu yang sangat penting bagi setiap mukmin.
Muhasabah ada dua macam: muhasabah qablal amal dan muhasabah ba’dal amal. Muhasabah qablal amal ialah evaluasi sebelum beramal, yang menyangkut beberapa hal. Pertama, hendaknya ia melihat bahwa apa yang akan dikerjakan lebih baik dari pada tidak mengerjakannya atau sebaliknya meninggalkannya lebih baik daripada mengerjakannya. Sehubungan dengan ini Hasan Basri menuturkan, ” Allah mrahmati seorang hamba yang diam lama merenung dan berpikir-pikir terhadap rencana yang akan diperbuatnya. Kalau rencana dan keinginannya tersebut untuk Allah, ia segera laksanakan, tetapi apabila bukan karena Allah, ia pertimbangkan dengan cermat.”
Kedua, mampukah ia mengerjakannya. Dan kalau ia mampu, ia harus bertanya lagi, “Saya melakukannya ini mencari ridha Allah atau karena yang yang lain?” Jika dapat dipastikan karena Allah ia melakukannya, ada sebuah pertanyaan lagi. Apa itu? Apakah ada orang lain yang bisa diajak kerjasama untuk membantu meringankan dan menyelesaikan pekerjaan ini? Kalau tidak ada, ia akan menunda dulu perbuatan tersebut sebagaimana Rasulullah saw. menunda jihad melawan orang-orang kafir Makkah sampai beliau memperoleh pendukung-pendukung dari kaum Anshar.
Adapun muhasabah ba’dal amal ialah evaluasi setelah amal, yang menyangkut tiga hal. Pertama, introspeksi apakah betul nilai-nilai ibadah, ketaatan, dan hak-hak Allah juga keikhlasan benar-benar telah mengiringi amal tersebut. Agar setiap aktifitas dan perbuatan itu senantiasa diarahkaan kepada kondisi yang lebih sempurna. Tidak pernah berhenti untuk meningkatkan kwalitas semua aktifitas dan perbuatannya. Kedua, introspeksi juga tentang manfaat dan gunanya bagi orang lain. Bukankah Rasulullah saw telah menggariskan bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain? Sisi ini akan menumbuhkan perhatian dan jiwa sosial bahkan bisa menekan kesombongan yang ingin muncul mengiri prestasi yang semakin hebat itu. Dan ketiga, evaluasi juga dampak selanjutnya buat dirinya, orang di sekitarnya dan masyarakat luas.
Ingatlah, puncak dari segala kesalahan yang akan merugikan adalah melalaikan tugas, meninggalkan muhasabah atau introspeksi diri, mengumbar nafsu, menganggap segala mudah segala urusan dan menyepelekannya. Inilah sikap dan keadaan orang-orang lalai yang akan berakhir dengan kebinasaan. Orang-orang seperti ini menutup matanya dari siksaan Allah dan hanya mengharapkan ampunan-Nya saja. Maka ia abaikan introspeksi diri, tidak memikirkan akibat-akibat perbuatannya. Bila telah demikian keadaannya, mudahlah bagi si hamba tersebut terjerumus ke lembah dosa, berkubang di lumpur nista dan sulit untuk lepas darinya.
Karena itu introspeksilah! Janganlah kesadaran ini terlambat datangnya: “Pada hari tiap-tiap manusia akan mendapati kebajikan yang dikerjakannya, didatangkan ke dekatnya, dan juga kejahatan yang telah diperbuatnya. Ia menginginkan seandainya antara dirinya dan kejahatan itu terhalang oleh masa yang jauh.” (QS Ali ‘Imran: 30) (M. Shaleh Drehem)