Isra’ Mi’raj Dan Masjidil Aqsha

  • Sumo

Isra’ dan Mi’raj merupakan peristiwa amat penting yang dialami oleh Rasulullah saw. Peristiwa tersebut ibarat pelipur lara bagi beliau setelah dirundung kesedihan yang teramat sangat karena ditinggalkan oleh Abu Thalib, paman yang senantiasa melindunginya, dan Khadijah ra, istri yang senantiasa mendukung dakwah beliau. Dalam peristiwa yang terjadi hanya semalam itu, Rasulullah saw telah diperjalankan oleh Allah dalam sebuah perjalanan yang luar biasa. Beliau berkesempatan untuk bertemu dengan para nabi dan rasul yang telah diutus sebelum beliau. Di sisi lain, Isra’ dan Mi’raj memiliki nilai yang sangat penting dalam aqidah umat Rasulullah. Peristiwa yang sulit diterima oleh akal tersebut – terlebih pada zaman Rasulullah – merupakan ujian bagi aqidah setiap muslim. Seorang muslim yang kuat aqidahnya akan mengimani peristiwa tersebut tanpa ragu sedikitpun, sebagaimana yang dicontohkan oleh Abu Bakar As-Shiddiq ra. Mungkin kita, umat Islam yang hidup jauh sepeninggal Rasulullah, merasa lebih mudah mengimani peristiwa tersebut karena segala sesuatunya sudah berubah menjadi doktrin mapan yang senantiasa diyakini oleh kakek nenek kita secara turun-temurun. Namun mereka yang hidup sezaman dengan Rasulullah, yang pertama kali mendengar adanya peristiwa tersebut, tentu tidak mudah untuk bisa serta merta menerima keabsahan peristiwa tersebut.

Salah satu hal penting yang bisa kita tangkap dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah nilai penting Masjidil Aqsha dalam peristiwa tersebut, dan lebih jauh lagi, nilai penting masjid tersebut bagi kita umat Rasulullah. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabadikan peristiwa Isra’ dan Mi’raj pada ayat pertama QS Al-Isra’: “Maha suci Dzat yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang Kami berkati sekelilingnya, agar Kami memperlihatkan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Penyebutan Masjidil Aqsha bersama-sama dengan Masjidil Haram pada ayat ini benar-benar memberikan gambaran yang jelas mengenai tautan antara kedua masjid tersebut. Diperjalankannya Rasulullah saw dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha memberikan pesan kepada umatnya bahwa kedua masjid tersebut memiliki tautan yang sedemikian erat. Allah tidak menaikkan Rasulullah ke langit langsung dari Masjidil Haram. Dia memperjalankan beliau terlebih dahulu ke Masjidil Aqsha, baru kemudian menaikkan beliau ke langit. Masjidil Haram adalah titik tolak Isra’, sedangkan Masjidil Aqsha adalah titik tolak Mi’raj. Ini saja sudah memberikan pesan yang amat jelas mengenai keutamaan Masjidil Aqsha. Masjid tersebut, sebagaimana Masjidil Haram, dengan demikian adalah bagian penting dari Islam.

Tautan erat antara Masjidil Aqsha dan Masjidil Haram juga tampak dalam riwayat Abu Dzar ra, ketika ia berkata, ”Aku bertanya kepada Rasulullah mengenai masjid yang pertama kali dibangun di muka bumi. Maka Rasulullah saw menjawab, ’Masjidil Haram.’ Aku pun bertanya, ’Lalu sesudah itu?’ Beliau menjawab, ’Masjidil Aqsha.’ Aku bertanya lagi, ’Berapa jarak waktu antara keduanya?’ Beliau menjawab, ’Empat puluh tahun.’ Kemudian beliau berkata,’Dimanapun engkau mendapati waktu sholat, lakukanlah sholat. Dan segenap penjuru bumi adalah masjid bagimu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Disamping itu, Masjidl Aqsha adalah kiblat pertama umat Islam. Sampai enam belas atau tujuh belas bulan sesudah hijrah ke Madinah, Rasulullah saw dan para sahabat masih berkiblat ke Masjidil Aqsha ketika melakukan sholat. Baru kemudian sesudah itu turun wahyu yang memerintahkan Rasulullah dan umatnya untuk mengalihkan kiblat ke Ka’bah. Dari Al-Barra’ bin Azib ra, ia berkata, “Kami sholat bersama Nabi saw menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, kemudian beliau mengalihkan arah ke kiblat (di Mekkah).” (HR Bukhari dan Muslim) Ditetapkannya Masjidil Aqsha sebagai kiblat pertama dalam waktu yang tidak singkat seolah-olah dimaksudkan untuk memperkuat ikatan umat ini dengan Masjidil Aqsha.

Rasulullah saw juga menegaskan kedudukan Masjidil Aqsha terhadap Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Dari Abu Said Al-Khudri ra, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Janganlah melakukan ziarah kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, dan masjidku ini (yakni Masjid Nabawi).” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam sebuah hadits yang berasal dari Abu Ad-Darda’ ra, Rasulullah saw juga bersabda, ”Sholat di Masjidil Haram lebih utama seratus ribu kali lipat daripada sholat di masjid-masjid lainnya. Sholat di Masjid Nabawi lebih utama seribu kali lipat. Dan sholat di Masjidil Aqsha lebih utama lima ratus kali lipat.” (HR Ahmad)

Bahkan dalam hadits yang lain, Maimunah ra berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah saw, ‘Wahai Rasulullah, beritahulah kami mengenai Baitul Maqdis.’ Rasulullah pun menjawab, “Ia adalah Bumi Mahsyar dan Bumi Mahsyar. Maka datanglah kesana dan sholatlah disana, karena sesungguhnya pahala sholat disana seribu kali lipat daripada sholat di tempat-tempat lainnya…” (HR Imam Ahmad) (ar)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.