Pertanyaan: Saya mau tanya apabila istri sudah menggugat cerai dengan alasan saya tidak memberikan nafkah, padahal gaji yang saya terima saya 95% di gunakan membayar cicilan rumah. Istri dan saya sama-sama bekerja, kerena istri sampai sekarang menganggap bahwa yang mencukupi kebutuhan sehari-hari adalah istri bukan suami. Mohon pencerahaannya tindakan apa yang harus saya ambil atas permintaan istri tersebut.
Jawaban: Nafkah seorang suami kaepada keluarganya meliputi kebutuhan sandang,pangan dan papan. Suami harus memenuhi kebutuhan pakaian, makanan sehari-hari dan tempat tinggal. Gaji suami harus dibagi menjadi tiga kebutuhan utama itu. Besarnya nafkah untuk ketiga kebutuhan itu disesuaikan dengan gaji atau pemasukan suami. jika gajinya besar maka nafkahnya juga besar.jika gajinya kecil,maka kecil pula nafkahnya. Allah swt berfirman:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang telah Allah karuniakan kepadanya. Allah tidaklah memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan” (QS. Ath Thalaq : 7)
Karena gaji anda terbatas dan habis untuk cicilan rumah. Sebaiknya anda komunikasikan dengan isteri anda,bagaimana sebaiknya pengelolaan keuangan keluarga. Apakah gaji anda mau dipakai untuk kebutuhan sehari-hari agar anda dia anggap memberi nafkah atau mau dipakai untuk membayar cicilan rumahmau dibagi untuk kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan membayar ciciilan rumah juga?. Atau Jika diputuskan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan tidak tersisa untuk bayar cicilan rumah, sebaiknya disepakati pula solusi pembayaran rumah tersebut . Jika tidak ada solusi,sebaiknya rumah di jual dan tinggal bersama orang tua atau tinggal di kos-kosan yang mampu dibayar.
Intinya musyawarah harus dilakukan untuk mencari solusi terbaik. Allah swt berfirman:
بِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali Imran: 159)
Jika suami dan istri saling ngotot dengan pendapatnya sendiri, yang terjadi adalah keduanya saling menjauh. Dengan bermusyawarah hati semakin dekat dan kasih sayang semakin bersemi dan akhirnya hati kembali menyatu.
Dalam masalah yang sedang anda hadapi ,kami menyarankan agar anda mempertahankan keutuhan keluarga yang sudah anda bangun. Karena status menikah dan berkeluarga secara umum lebih baik daripada bercerai. Kecuali keluarga itu tidak lagi bisa dipertahankan karena problem yang berat yang tidak mungkin lagi suami dan istri bersatu kembali. Perceraian adalah perkara yang diperbolehkan tapi dibenci. Demikian yang bisa disampaikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishowab. (as)
Sumber: konsultasisyariah.net