Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu berkata,”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,’Barangsiapa diantara kalian melihat kemunkaran hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; bila ia tidak mampu maka dengan lisannya; dan bila masih tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim, Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasaa-i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Hadits ini mengingatkan kepada kita bahwa kita tidak cukup menjadi shalih bagi diri kita sendiri. Disamping shalih bagi diri sendiri (shalih fi nafsihi), kita juga harus bisa men-shalih-kan orang lain, melakukan perbaikan pada diri orang lain (muslih lighairihi).
Jika kita semua mengamalkan kandungan hadits ini, yang berarti semua dari kita berupaya untuk senantiasa mengubah kemunkaran yang kita lihat, niscaya kemunkaran tidak akan pernah menjadi marak dan merajalela. Tapi apabila tidak peduli terhadap berbagai kemunkaran yang ada ditengah-tengah masyarakat. Akibatnya, kemunkaran-kemunkaran itupun dengan cepat terus berkembang dan meluas karena memang demikianlah tabiat kemunkaran. Merajalelanya berbagai kemunkaran di tengah-tengah masyarakat kita adalah sebuah indikasi akan dua hal : pertama, lemahnya keshalihan masyarakat dan pribadi-pribadinya, dan kedua, lemahnya amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat.
Setidak-tidaknya ada dua alasan mengapa kemunkaran yang kita lihat harus kita ubah. Pertama, kemunkaran dalam sebuah masyarakat harus kita ubah untuk menjaga keshalihan dan bahkan eksistensi masyarakat itu sendiri. Dalam QS Al-Anfal : 25, Allah swt berfirman: ”Dan peliharalah diri kalian dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” Ayat ini menegaskan bahwa kemunkaran yang merajalela tidak hanya akan berakibat buruk kepada para pelakunya saja, tetapi juga keseluruhan masyarakat itu. Ketika tidak ada usaha untuk melakukan pengubahan kemunkaran dalam sebuah masyarakat, Allah tidak akan meng-adzab secara khusus para pelaku kemunkaran dalam masyarakat tersebut, tetapi Allah akan menurunkan adzab-Nya secara merata.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga pernah memberikan sebuah ilustrasi tentang pentingnya mengubah kemunkaran yang kita lihat dalam sebuah masyarakat. Beliau mengumpamakan sebuah masyarakat sebagai sebuah kapal beserta para penumpangnya. Suatu ketika, beberapa orang yang berada di geladak dasar kapal hendak melubangi kapal untuk bisa mengambil air laut tanpa harus susah-susah naik ke geladak atas. Jika seisi kapal membiarkan tindakan ini, pasti kapal tersebut akan karam. Bukan hanya beberapa orang yang melubangi kapal saja yang akan tenggelam, tetapi semuanya akan ikut tenggelam. Tetapi jika rencana melubangi kapal itu dicegah, akan selamatlah seluruh penumpangnya. Demikianlah kira-kira permisalan bagi kemunkaran dalam sebuah masyarakat (lihat hadits An-Nu’man bin Basyir yang dikenal dengan Hadits As-Safinah ’Hadits Kapal’ riwayat Al-Bukhari).
Alasan kedua, kemunkaran yang merajalela dalam sebuah masyarakat akan bisa menghalangi terkabulnya doa orang-orang yang ada dalam masyarakat tersebut, bahkan yang shalih sekalipun. Dari Hudzaifah, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,”Demi Dzat yang diriku ada di tangan-Nya. Sungguh-sungguh kalian harus ber-amar makruf nahi munkar, atau jika tidak maka hampir-hampir saja Allah akan mengirimkan atas kalian suatu adzab dari-Nya, sehingga ketika kalian berdoa kepada-Nya maka tidak lagi dikabulkan.” (HR At-Tirmidzi)
Mari kita cermati redaksi hadits ini. Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam memilih kata taghyir dalam rangka menyikapi kemunkaran. Kata taghyir yang secara bahasa berarti mengubah, dalam konteks ini bermakna bahwa kita harus melakukan segala usaha dan upaya dalam rangka menemukan solusi terbaik untuk mengubah kemunkaran yang kita lihat. Taghyirul munkar (mengubah kemunkaran) adalah lebih dari sekadar inkarul munkar (mengingkari kemunkaran), meskipun inkarul munkar merupakan bagian dari taghyirul munkar itu sendiri. Mengingkari kemunkaran bisa hanya berarti mengingkarinya tanpa harus peduli akan terjadi perubahan ke arah yang lebih baik atau tidak, sedangkan mengubah kemunkaran adalah sebuah usaha yang dilakukan agar kemunkaran yang kita lihat bisa berubah ke arah yang lebih baik. Pendek kata, dalam mengubah kemunkaran ada tanggung jawab, sehingga tidak bisa dilakukan secara asal-asalan saja.
Adapun bagaimana kita menyikapi kemunkaran yang kita lihat, Ibnul Qayyim telah menjelaskannya dalam kitab beliau, I’lamul Muwaqqi’in (jilid III/hal. 16). Beliau membagi kemunkaran dari aspek penyikapan kita terhadapnya kepada empat derajat atau empat macam, yang dipengaruhi oleh perhitungan terhadap kekuatan kita dan kekuatan kemunkaran itu sendiri, sebagai berikut :
- Jika kita yakin bahwa kemunkaran yang akan kita ubah akan hilang dan berganti menjadi kebaikan, maka hukum upaya kita mengubah kemunkaran tersebut adalah wajib, sebagaimana hukum normatifnya.
- Jika kita yakin bahwa kemunkaran yang akan kita ubah akan berkurang atau berganti menjadi kemunkaran yang lebih kecil, maka hukumnya juga wajib.
- Jika kita yakin bahwa kemunkaran yang akan kita ubah akan berganti menjadi kemunkaran lain yang lebih besar maka kita tidak boleh mengubahnya. Atau dengan kata lain, hukum upaya mengubah kemunkaran disini justru menjadi haram. Mengenai kondisi seperti ini ada sebuah contoh yang cukup bagus. Suatu ketika sahabat-sahabat/murid-murid Ibnu Taimiyah, bersama beliau, mendapati sekelompok tentara Tartar yang ketika itu sudah memeluk Islam sedang minum minuman keras. Mereka pun hendak menghentikan apa yang dilakukan oleh para tentara itu. Namun Ibnu Taimiyah malah melarang maksud sahabat-sahabat/murid-muridnya tersebut. Beliau mengatakan: Sesungguhnya Allah mengharamkan minuman keras itu karena akan menghalangi orang dari dzikir kepada Allah dan shalat. Sedangkan bagi mereka, minuman keras (yang membuat mereka mabuk dan tidak sadar) justru akan menghalangi dan mencegah mereka dari kejahatan membunuh jiwa, memperkosa dan merampas harta (yang biasa mereka lakukan dalam kedaan sadar). Maka biarkan sajalah mereka (I’lamul Muwaqqi’in III/16).
- Adapun jika menurut keyakinan kita kemunkaran yang akan kita ubah akan berganti menjadi kemunkaran lain yang secara umum terlihat sepadan, maka hal ini hendaknya diserahkan kepada para ahli ilmu agar berijtihad dalam mengkajinya untuk menentukan penilaian dan penyikapan yang lebih tepat dan proporsional.
Tahapan-tahapan dalam mengubah kemunkaran
Dalam hadits yang sedang kita bahas ini, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menunjukkan kepada kita tahapan-tahapan dalam mengubah kemunkaran, yang didasarkan kepada efektivitasnya. Jika kita mampu mengubah kemunkaran dengan tangan kita, yakni dengan kekuasaan, kekuatan dan pengaruh yang kita miliki, maka itulah yang harus kita lakukan. Jika kita tidak mampu melakukannya, kita harus mengubah kemunkaran itu dengan lisan kita, yakni dengan peringatan atau nasihat. Dan jika kita pun tidak mampu mengubah kemunkaran itu dengan lisan, maka setidak-tidaknya kita mengubahnya dengan hati kita.
Sementara ulama ada yang mengatakan bahwa mengubah kemunkaran dengan tangan adalah untuk para penguasa dan para pemimpin. Mengubah kemunkaran dengan lisan adalah untuk para ulama, para kiyai dan para ustadz . Sedangkan mengubah kemunkaran dengan hati adalah untuk orang awam pada umumnya. Namun kita harus melihat bahwa redaksi hadits ini bersifat umum, sehingga kurang tepat jika ada pembatasan-pembatasan seperti itu. Artinya, siapa saja tanpa pandang bulu tetap dituntut untuk mengubah kemunkaran yang ia lihat dengan tahapan-tahapan sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits ini.
Yang perlu dijelaskan lebih lanjut disini adalah mengubah kemunkaran dengan hati. Apakah maksudnya? Dan bagaimana hal itu dilakukan? Jawabannya, mengubah kemunkaran dengan hati bisa dilakukan dengan setidak-tidaknya tiga cara. Pertama, menegaskan pengingkaran terhadap kemunkaran itu dengan hati kita. Artinya, hati kita harus meyakini munkarnya kemunkaran itu dan menolaknya. Kedua, menyimpan niat, tekad dan semangat untuk mengubah kemunkaran itu dengan usaha nyata sewaktu-waktu ketika kita mampu melakukannya. Niat ini sangat penting. Bahkan, seseorang yang memiliki niat ini bisa bernilai sama dengan orang yang telah benar-benar melakukannya. Ketiga, berdoa. Diantara upaya-upaya yang bisa dilakukan oleh hati, inilah yang paling nyata. Dan semua orang pasti bisa berdoa. Karena itu perlu dicamkan bahwa doa dalam hal ini merupakan parameter keimanan kita : seberapa kuat dan tebal keimanan kita. Adapun doa itu sendiri bisa dilakukan dalam bentuk doa secara umum ataupun doa secara khusus. Doa secara khusus kita tujukan kepada saudara-saudara kita yang kita ketahui sedang berupaya dan berjuang untuk mengubah kemunkaran yang ada, agar Allah menguatkan mereka. Namun ini terkadang juga tidak mudah karena membutuhkan keikhlasan. Seberapa ikhlaskah hati kita terhadap saudara-saudara kita? Karena itu, doa juga merupakan ukuran bagi tingkat keikhlasan kita.
Seperti apakah kemunkaran yang harus kita ubah?
Para ulama mengatakan bahwa kemunkaran memiliki dua bentuk. Pertama, melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Kedua, meninggalkan hal-hal yang diwajibkan oleh Allah. Adapun kemunkaran yang harus kita ingkari dan kita ubah adalah kemunkaran yang memenuhi dua syarat. Pertama, kemunkaran itu telah disepakati kemunkarannya, bukan hal-hal yang masih diperselisihkan diantara para ulama. Kedua, kemunkaran itu benar-benar nampak nyata. Karena itulah, lafadz yang digunakan dalam hadits ini adalah man ra-aa, yang berarti siapa yang melihat. Jadi, kemunkaran yang harus kita ingkari dan kita ubah memang harus benar-benar terlihat, dilakukan secara terang-terangan. Karena itu pulalah, tidak dibenarkan kita melakukan tindakan memata-matai untuk mencari-cari kemunkaran pada diri orang lain untuk kita ingkari dan kita ubah. Meski demikian, pada kasus-kasus tertentu, antara lain jika suatu kemunkaran yang tersembunyi dan dibiarkan akan menimbulkan kerusakan yang besar dan mengenai banyak orang, tindakan memata-matai bisa dibenarkan. Namun itupun harus dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar mampu dan tepat. Wallahu a’lam bish shawab. (H. Abdussalam Masykur)