Pergantian tahun Hijriah 1442 ke tahun 1443 baru saja berlalu. Yang lebih penting dan mendasar terkait pergantian tahun Hijriah, sebenarnya bukanlah peringatan dan perayaannya, melainkan justru bagaimana umat ini tersadarkan agar tetap dan senantiasa bangga dengan penggalan atau kalender Islam. Kalender Hijriah adalah soal identitas Umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang abai dan tak peduli terhadapnya bisa saja berarti telah abai dan tidak peduli terhadap identitas agamanya. Padahal banyak sekali faktor penegas betapa kuat kaitan kalender Hijriah ini dengan aqidah, ibadah dan hukum syariah Islam, serta sejarah umatnya.
Sehingga karenanya, setiap muslim seharusnya selalu bangga dalam menggunakan kalender ini. Tidak seperti faktanya selama ini, dimana umumnya kaum muslimin seolah-olah telah melupakan kalender islami ini, dan tidak menggunakan serta memerlukannya kecuali saat hadir bulan puasa Ramadhan dan bulan haji Dzulhijah saja. Mungkin ditambah satu lagi kala terjadi pergantian tahun seperti yang baru saja terlewati, karena diingatkan oleh adanya peringatan dan perayaan terhadapnya atau lebih-lebih karena ditetapkan sebagai hari libur!
Adapun diantara faktor penguat dan penegas bahwa kalender Hijriah adalah kalender Islam dan Ummat Islam, adalah karena nama dan penghitungan tahun kalender ini ditetapkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu dengan kesepakatan para sahabat semuanya, berdasarkan salah satu peristiwa paling bersejarah dan paling agung di dalam perjalanan dakwah Islam. Yakni hijrah Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama para sahabat Beliau dari kota Mekkah ke kota Medinah, yang semula bernama Yatsrib. Dimana hijrah agung tersebut telah menjadi tonggak utama kemenangan perjuangan dakwah Islam pertama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .
Bahkan penetapan jumlah dua belas bulan selama setahun dalam kalender Hijriah yang penghitungannya berdasar peredaran bulan dan bukan peredaran matahari, adalah oleh Allah Ta’ala langsung, pada waktu penciptaan langit dan bumi. Dimana Allah pula yang menetapkan adanya empat bulan haram (mulia/suci) diantaranya. Yakni bulan Dzulqa’dah (bulan ke-11), Dzulhijah (bulan ke-12), Muharram (bulan ke-1), dan yang terpisah bulan Rajab (bulan ke-7).
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya bilangan bulan (dalam setahun) di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu… (QS. At-Taubah: 36). Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda (yang artinya): “Jaman telah berputar seperti keadaannya semula kala Allah menciptakan langit dan bumi. Dimana dalam satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci/mulia). Tiga bulan berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Dan (satu lagi yang terpisah) bulan Rajab … “ (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Selanjutnya pelaksanaan ibadah-ibadah asasi di dalam ajaran Islam juga sangat terkait erat dengan penghitungan waktu menurut kalender Hijriah. Seperti penentuan syarat haul (berlalunya setahun kepemilikan nishab harta) dalam pengeluaran zakat, penunaian puasa fardhu di bulan Ramadhan, disamping juga berbagai puasa sunnah, pelaksanaan ibadah haji ke Tanah Suci di bulan Dzulhijjah, dan lain lain.
Selain itu, beberapa hukum syariah yang mensyaratkan adanya unsur waktu, tahun dan bulan, juga harus berdasar dan mengacu kepada penghitungan kalender Hijriah, bukan kalender-kalender yang lain. Seperti misalnya dalam hal penentuan masa iddah seorang istri yang dicerai atau ditinggal wafat oleh suaminya, standar usia akil balig bagi seorang remaja, yang menentukan apakah ia telah mukallaf atau belum, batasan umur hewan yang sah untuk dijadikan sebagai qurban atau aqiqah, dan lain lain.
Jadi sekali lagi intinya bahwa, kalender Hijriah adalah kalender Islam. Ia terkait dengan ajaran agama ini dari berbagai sisinya, dengan keterkaitan yang sangat erat dan kuat. Kita membutuhkannya dalam penunaian ibadah dan pelaksanaan syariah. Maka, kepada seluruh ummat muslim dimanapun berada, mari kita buktikan jati diri keislaman kita, dan mari kita tunjukkan identitas keimanan kita, antara lain dengan bersemangat hati dan berbangga diri dalam menggunakan kalender Hijriah. Karena jika bukan kita Ummat beriman yang bangga dengannya, lalu siapa lagi?
Adapun khusus tentang bulan Muharram yang merupakan bulan pertama dalam kalender Hijriah, maka sekadar mengingatkan bahwa, ia adalah salah satu bulan yang lebih disucikan, dimuliakan dan diistimewakan. Dimana ibadah puasa padanya adalah sebaik-baik puasa sunnah. Oleh karena itu, mari kita hidupkan sunnah Rasulullah tercinta shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan berpuasa sunnah di bulan mulia ini. Dan perlu diingat bahwa, ada dua macam puasa sunnah Muharram. Pertama, puasa sunnah yang bersifat umum, dan yang bisa dilakukan kapanpun dan pada tanggal berapapun selama bulan Muharram ini. Dimana fadhilah dan keutamaannya secara umum lebih besar dibandingkan dengan puasa-puasa sunnah pada bulan-bulan yang lain. Kedua, puasa sunnah di bulan Muharram yang bersifat khusus, yakni pada hari Tasu’a tanggal 9 Muharram dan hari ‘Asyura’ tanggal 10 Muharram.
Baginda Sayyidina Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): Sebaik-baik puasa sesudah (puasa fardhu) di bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah Muharram. Dan sebaik-baik shalat setelah yang fardhu (lima waktu) adalah shalat malam (HR. Muslim). Dan saat ditanya tentang fadhilah puasa ‘Asyura, Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): Ia bisa menghapus dosa satu tahun yang telah lalu (HR.Muslim). Sementara itu sahabat Ibnu ‘Abbas ra. berkata: Aku tidak melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menunggu-nunggu waktu puasa suatu hari yang Beliau utamakan atas yang lain kecuai hari ini, yakni hari ‘Asyura’ (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Di dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): Jika masih hidup sampai tahun depan, niscaya aku akan puasa pada hari Tasu’a, yakni tanggal 9 (Muharram) (HR.Muslim). Lalu diriwayatkan Ibnu ‘Abbas ra. berkata lagi bahwa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): Berpuasalah pada hari ‘Asyura’, akan tetapi bedakanlah dengan (puasa) kaum Yahudi. Maka berpuasalah (disamping hari ‘Asyura’) sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Al-Baihaqi).
Namun para ulama melemahkan hadits terakhir ini. Meskipun ada juga ulama yang tetap memakainya, seperti misalnya Imam Ibnul Qayyim rahimahullah. Sehingga karenanya beliau membagi puasa sunnah khusus di bulan Muharram menjadi tiga level. Dimana level pertamanya adalah dengan berpuasa selama tiga hari, yakni hari Tasu’a tanggal 9, hari ‘Asyura’ tanggal 10 dan tanggal 11 Muharram. Level kedua adalah yang berpuasa dua hari, yaitu hari Tasu’a dan ‘Asyura’, atau hari ‘Asyura’ dan tanggal 11 Muharram. Adapun level ketiga, adalah dengan berpuasa sehari saja, yakni pada hari ‘Asyura’ tanggal 10 Muharram.
Akhirnya, semoga kita semua termasuk ummat Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang senantiasa bersemangat dalam mengikuti dan menghidupkan sunnah-sunnah Beliau, antara lain dengan berpuasa sunnah di bulan Muharram ini. Dan juga, semoga tahun baru Hijriyah 1435 ini memotivasi kita semua dalam upaya menghijrahkan diri dan kehidupan menuju pribadi dan generasi yang benar-benar lebih baik, lebih mulia dan lebih bermartabat! Aamiin! (AMJ)