Seorang yang diuji dengan keragu-raguan yang berulang, maka keraguan yang sering terjadi tersebut tidak dianggap, Dalam arti yang diragukan tersebut dianggap tidak pernah terjadi, berdasarkan kaidah berikut: “Rasa ragu setelah melakukan perbuatan dan rasa ragu dari orang yang sering ragu itu tidak dianggap” Kaidah tersbut merupakan cabang atau bagian dari kaidah “keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan sekedar keraguan”.
Secara umum, kaidah ini menjelaskan tentang orang yang mengalami keragu-raguan dalam suatu amalan. Jika rasa ragu itu muncul setelah melakukan suatu amalan, maka rasa ragu itu tidak perlu dihiraukan. Demikian pula, jika rasa ragu itu muncul dari orang yang sering ragu. Dengan kata lain, bahwa rasa ragu itu bisa muncul dari dua tipe orang : Pertama, dari orang yang sering ragu. Kedua, dari orang yang keraguannya biasa (normal).
Rasa ragu dari tipe orang pertama, tidak perlu dianggap, karena menurutkan rasa ragu dalam kondisi seperti itu akan menimbulkan kesusahan dan kesulitan yang berat baginya, serta termasuk takalluf (memaksa diri memikulkan beban yang ia tidak mampu). Bahkan orang seperti ini rasa ragunya perlu diobati dengan cara tidak memperdulikan rasa ragu yang muncul dan memantapkan hati saat beramal. Keraguan orang semacam ini tidak dianggap, maksudnya, tidak ada konsekuensi hukumnya.
Rasa ragu dari tipe orang kedua adalah apabila keraguan itu muncul dari orang yang keraguannya normal. Keraguan jenis ini tidak lepas dari dua keadaan. Pertama, rasa itu muncul saat sedang melaksanakan amalan. Kedua, rasa itu muncul setelah beramal.
Jika keraguan itu muncul setelah beramal maka ia tidak dianggap. Karena hukum asalnya, jika seseorang telah usai mengerjakan suatu amalan berarti amalan itu telah dilaksanakan secara sempurna. Keraguan yang muncul setelah beramal hanya sekedar bisikan syetan. Obat dari rasa ragu jenis ini ialah tidak memperdulikannya.