Dari Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra, cucu dan kesayangan Rasulullah shalallahu alaihi wassalalm, ia berkata,” Aku menghafal pesan Rasulullah saw yang berbunyi ‘Tinggalkan perkara yang meragukanmu dan ambillah perkara yang tidak meragukanmu” (HR Nasai dan Tirmidzi. Imam Tirmidzi berkata,”Hadits hasan shahih.”). Hadits ini termasuk dalam apa yang disebut para ulama sebagai ‘jawami’ul kalim’ yaitu hadits-hadits yang lafadz-nya pendek namum memiliki arti dam makna yang sangat dalam dan luas sehingga menjadi landasan nilai dan moral dalam menyikapi berbagai persoalan.
Satu prinsip penting yang dipesankan baginda Nabi saw melalui hadits ini adalah meninggalkan sikap keragu-raguan dan memilih hal-hal yang pasti dan meyakinkan. Ini adalah sebuah prinsip yang jika diterapkan secara konsisten dalam berbagai sisi kehidupan akan memberikan rasa keyakinan dan ketentraman jiwa baik bagi diri kita maupun orang lain, karena segala sesuatu berjalan diatas sikap kejelasan dan bukan keragu-raguan.
Prinsip ini juga menjadi landasan sikap ‘wara’ atau kehati-hatian dan akan mengantarkan seseorang pada sikap taqwa. Meninggalkan yang meragukan disini berarti meninggalkan perkara-perkara yang masih belum jelas halal haramnya. Ketidakjelasan ini akhirnya menjadikan hati menjadi ragu, bimbang dan gelisah. Dalam kondisi semacam ini, Rasulullah memberikan tuntunan kepada kita untuk memilih jalan yang lebih selamat, yaitu meninggalkan hal-hal yang masih meragukan tadi. Bukankah jalan halal yang menentramkan hati juga tidak kalah banyak dan lapangnya terbentang di hadapan kita? Inilah hakikat sikap wara’.
Dalam keseharian, kita memang terkadang kita dihinggapi perasaan ragu dan bimbang. Ini adalah hal yang wajar dan manusiawi. Ada banyak faktor yang bisa menyebabkan seseorang menjadi peragu:
Pertama, kurangnya pengetahuan. Solusinya adalah melengkapi diri kita dengan informasi, data dan pengetahuan agar tidak salah dalam mengambil kesimpulan. Sikap terburu-buru dalam membuat kesimpulan tanpa data akan berpotensi melahirkan fitnah dan bencana serta kezhaliman bagi orang lain.
Kedua, kurang jelasnya duduk persoalan. Solusinya adalah melakukan tabayyun (check and recheck) kepada sumber utama agar suatu masalah menjadi jelas sehingga sikap yang harus diambil pun jelas.
Ketiga, kurang percaya diri. Ini bisa karena sikap mental yang buruk, yang karenanya harus diterapi agar kita memiliki keberanian untuk mengambil keputusan. Setiap keputusan mesti ada resikonya, baik ataupun buruk. Dengan dilandasi motivasi dan niat yang benar serta kesungguhan untuk berijtihad dalam mengambil pilihan terbaik, Allah akan memberkahi dan mencatat ijtihad sebagai dua kebaikan jika putusannya benar dan satu kebaikan jika ternyata putusannya salah.
Keempat, kuatnya pengaruh orang atau opini lain yang berseberangan. Kita harus memiliki alat ukur baik material maupun moral, sejauh mana sebuah pendapat dapat dibuktikan atau sebuah argumentasi dapat dipertanggungjawabkan (alat ukur material) dan oleh siapa pendapat dan opini itu disampaikan (apakah oleh orang memiliki kapasitas dan kapabilitas), serta motif dan situasi apa yang menjadi latar belakang (alat ukur moral). Dari sinilah kita akan bisa menentukan sikap yang tepat sesuai dengan keadaan, situasi dan kondisi.