“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolonganNya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS. Yusuf : 18). Sesuatu yang baik, dengan cara yang baik merupakan jatidiri ajaran Islam yang melekat yang menunjukkan keagungan dan keluhurannya. Terdapat empat hal yang diperintahkan oleh Al-Qur’an harus dilakukan dengan cara yang baik dengan menggunakan istilah yang sama, yaitu bersabar dengan cara yang baik, mema’afkan dengan cara yang baik, menceraikan isteri dengan cara yang baik, serta menghindar dari orang-orang yang jahat dengan cara yang baik pula. Istilah yang digunakan oleh Al-Qur’an untuk menunjukkan ‘yang baik’ pada keempat hal itu adalah sama, yaitu “jamil”; shabrun jamil, shafhun jamil, sarhun jamil, dan hajrun jamil. Sungguh nilai-nilai Al-Qur’an memang sarat dengan hal-hal yang baik yang harus dilakukan dengan cara yang baik pula.
Terkait dengan kesabaran yang baik (shabrun jamil), Al-Qur’an mengabadikan kisah seorang nabi yang mensikapi kecurangan dan kebohongan anak-anaknya tentang Yusuf yang ia amat kasihi dengan kesabaran yang baik. Ungkapan kesabaran yang baik, ia ulangi kembali dalam menghadapi perilaku dusta anak-anaknya pada ayat lain dari surah Yusuf dengan redaksi yang mirip dengan ayat 18 di atas, “Ya’qub berkata: “Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu. Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku; sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Yusuf : 83).
Akhirnya, perintah agar memiliki kesabaran yang baik ditujukan secara khusus kepada nabi terakhir Muhammad saw, “Maka bersabarlah kamu (Muhammad) dengan sabar yang baik”. (QS. Al-Ma’arij: 5). Tentu seperti kaidah dalam Ilmu Tafsir “Amrun Lir Rasul Amrun li Ummatih” perintah yang ditujukan untuk Rasul secara prioritas ditujukan juga untuk umatnya.
Secara aplikatif, kesabaran yang baik pernah ditunjukkan oleh Aisyah ra saat menghadapi tekanan psikologis yang sangat berat atas tuduhan perbuatan nista yang mencemarkan nama baiknya dengan sahabat Shofwan bin Mu’atthol.
Dalam konteks ayat diatas, Imam Bukhari meriwayatkan hadits tentang berita dusta tersebut ketika Aisyah berkata menjawab tekanan dan isu yang tersebar hingga ke jantung rumah tangga dan keluarganya : “Demi Allah aku tidak mengetahui contoh yang baik kecuali apa yang telah dikatakan oleh ayahanda Yusuf: “Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolonganNya terhadap apa yang kamu ceritakan.” Ternyata kesabaran yang baik yang ditampilkan oleh Aisyah dalam peristiwa ini membuahkan jawaban rehabilitasi nama baik Aisyah langsung dari langit melalui campur tangan Allah swt.
Yang menjadi pembahasan menarik dari para ulama tafsir tentang ayat di atas adalah pada pendefinisian dan pemaknaan kesabaran yang baik. Menurut Al-Qurthubi dan Asy-Syaukani misalnya kesabaran yang baik adalah kesabaran yang tidak disertai dengan keluhan atau aduan kepada sesama manusia.
Lebih rinci, Ibnu katsir menukil riwayat dari Sufyan Tsauri bahwa ada tiga hal yang termasuk dalam kategori sabar yang baik, yaitu: tidak menceritakan kesakitan yang diderita, atau musibah yang menimpa kepada sesama makhluk, dan tidak pula merasa suci dengan itu”.
Namun pada makna ini, mengadu kesedihan dan kesusahan yang dihadapi kepada Allah tidak mengurangi kesabaran yang baik, karena memang Allah-lah tempat mengadu semua makhluk seperti yang pernah dilakukan oleh nabi Ya’qub saat mengadu kepada Allah dalam ungkapannya yang diabadikan dalam Al-Qur’an, “Ya’qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.” (QS.Yusuf : 86).
Ar-Razi pula memahami kesabaran yang baik sebagai kesabaran yang diletakkan pada tempatnya. Misalnya bersabar terhadap ketentuan Allah adalah sesuatu yang wajib, tetapi bersabar atas kezaliman orang lain bukanlah termasuk kategori kesabaran yang baik. Justru Islam menuntun agar seseorang berusaha menghindar dari keburukan sehingga tidak terperosok dalam lubang yang sama dua kali seperti yang diwanti-wanti oleh Rasulullah saw dalam haditsnya.
Perintah bersabar yang terakhir berdasarkan susunannya dalam mushaf yang ditujukan kepada Rasulullah ternyata disertai dengan perintah menjauh dan menghindarkan diri dari mereka dengan cara yang baik. Allah berfirman, “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik”. (QS. Al-Muzzammil: 10).
Asy-Syaukani memahami perintah bersabar yang didampingi dengan perintah menjauhkan diri dari mereka dengan cara yang baik dalam ayat ini sebagai sebuah sikap yang tidak disertai dengan hinaan atau umpatan terhadap perbuatan buruk mereka. Atau maknanya tidak memperdulikan apa yang mereka perbuat, begitu juga tidak berusaha membalasnya meskipun memiliki kemampuan untuk itu.
Demikian nilai akhlak luhur yang senantiasa menjadi karakteristik ajaran Islam yang mempesona. Justru daya tarik Islam di awal kelahirannya adalah karena memang melihat dan menyaksikan akhlak Rasulullah saw yang merupakan gambaran hidup dari ajaran Al-Qur’an seperti yang dinyatakan oleh Aisyah, “Sungguh akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an”. Tentu masih banyak pesan Al-Qur’an yang seharusnya senantiasa terus digali dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari untuk kebaikan Islam dan umatnya.
Saat ini dan mungkin di masa-masa yang akan datang akan terus terjadi di hadapan kita peristiwa atau permasalahan yang menuntut bukan hanya agar kita bersabar, tetapi agar bisa menunjukkan sikap sabar yang baik. Semoga. Wallahu a’lam. (KH. Attabiq Luthfi, MA)