Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman: “Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (QS. Al Kautsar : 2). Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Iedul Adh-ha. Dalam fiqih, hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah. Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut.
Keutamaan Berqurban..
Menyembelih qurban termasuk amal shalih yang sangat utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ما عمِلَ آدمِيٌّ مِن عمَلٍ يومَ النَّحرِ أحبَّ إلى اللهِ مِن إهراقِ الدَّمِ … فَطِيبوا بها نفسًا.
“Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban),…maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad shahih)
Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari iedul Adha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban, Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah.
Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah (Shahih Fiqh Sunnah 2/379).
Hukum Qurban..
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat :
1). Wajib bagi orang yang berkelapangan.
Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam
Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah.Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ وَجَد سَعَةً فلم يُضَحِّ فلا يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنا
“Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah, Al Hakim dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
2). Sunnah Mu’akkadah (ditekankan)..
Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, Beliau mengatakan: “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban, padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah : “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata : “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368)
Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan : “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban, karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120)
Bagi mereka yang berqurban, – in syaa Allah – Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan, Karena setiap pagi Allah mengutus dua Malaikat, yang satu berdo’a :
اللهم أعط منفقا خلفا
“Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a :
اللهم أعط ممسكا تلفا
“Ya Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (bakhil).” (HR. Al Bukhari dan Muslim).