Firman Allah subhanahu wata’ala yang artinya: Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia! Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergolak (neraka). Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah). Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal. (QS. Al Lahab)
Muqaddimah
Surah ke-111 ini setidaknya memiliki 3 nama, yaitu: surah Al-Masad (sabut yang dipintal), diambil dari kata itu yang terdapat dalam ayat kelima, lalu surah Al-Lahab (kobaran api neraka), berdasarkan ayat ketiga yang memuat kata tersebut, dan juga surah Abu Lahab, karena kandungan seluruh surah ini memang tentang paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu dan istrinya. Ya. Surah singkat ini menggambarkan betapa permusuhan terbesar terhadap risalah kebenaran justru bisa berasal dari orang terdekat pembawa risalah itu sendiri, dimana itu merupakan salah satu bentuk perlawanan terberat, dan bagaimana Allah Ta’ala menunjukkan kesertaan, pembelaan dan pertolongan-Nya secara langsung bagi sang pembawa risalah, sesuai dengan janji-Nya (lihat misalnya QS. Ghaafir [40]: 51).
Dalam surah ini pula kita mendapatkan contoh yang sangat jelas bahwa, tingkat buruknya balasan bagi setiap pelaku keburukan dan kejahatan adalah sesuai dan setimpal dengan bentuk keburukan dan tingkat kejahatan yang dibuatnya. Dimana kita dapati betapa sempurnanya kebinasaan yang dialami Abu Lahab dan istrinya, baik di dunia maupun khususnya di akhirat. Dan itu adalah karena bentuk keburukan dan tingkat kejahatan mereka selama di dunia memang sudah demikian lengkap dan sempurna pula!
Asbaabun Nuzuul (Sebab Turunnya Surah Al-Masad)
Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan di dalam kitab Shahih-nya dengan sanadnya dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (setelah turunnya perintah untuk berdakwah secara jahriyyah yakni terang-terangan atau terbuka) keluar ke tanah Al-Bath-haa’ lalu naik ke atas bukit (Shafa) dan menyeru,“Kemarilah kalian”, sehingga para tokoh Qurasy pun berkumpul. Kemudian beliau bersabda,“Apa pendapat kalian seandainya aku menceritakan kepada kalian bahwa, ada musuh yang akan menyerang kalian pada waktu pagi atau petang, apakah kalian akan mempercayaiku?” Mereka menjawab,“Tentu saja.” Lalu beliau bersabda,“Aku adalah (rasul) pembawa kabar peringatan bagi kalian sebelum datangnya adzab yang keras (di Akhirat).” Dan Abu Lahab pun serta merta berkata,”Jadi untuk inikah kamu mengundang kami? Benar-benar binasa kamu!” Lalu Allah menurunkan “Tabbat yadaa Abi Lahabin wa tabb” (yakni surah Al-Masad) sampai akhir surah. Di dalam riwayat lain disebutkan: Lalu ia (Abu Lahab) mengibaskan kedua tangannya seraya berkata,”Binasalah kamu sepanjang hari. Hanya untuk inikah kamu mengundang kami?” Lalu Allah menurunkan firman-Nya “Tabbat yadaa Abi Lahabin wa tabb”.
Kejahatan yang Sempurna
Seluruh kaum kafir Qurasy yang memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penjahat. Namun tingkat kejahatan mereka berbeda-beda. Ada yang ringan, ada yang sedang, ada yang berat, dan ada yang sempurna, sesuai dengan kadar kekufuran dan tingkat permusuhan masing-masing. Dan Abu Lahab serta istrinya termasuk yang menempati peringkat tertinggi dalam kesempurnaan kejahatan dan permusuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dakwahnya. Dan faktor penyebabnya banyak sekali.
Abu Lahab adalah salah seorang paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Nama aslinya adalah Abdul ‘Uzza bin Abdul Muththalib, dan kun-yah-nya adalah Abu ‘Utaibah. Sedangkan istrinya adalah Ummu Jamiil Arwaa binti Harb bin Umayyah, saudara perempuan Abu Sufyan. Jadi keduanya sama-sama berasal dari keluarga yang paling terpandang di kalangan suku Quraisy, yang tentu saja membuat bobot permusuhan mereka terhadap dakwah Islam jauh lebih berat ketimbang permusuhan kaum kafir kebanyakan. Karena tentu banyak sekali masyarakat yang terpengaruh dan mengikuti jejak mereka. Apalagi masih ditambah dengan status Abu Lahab sebagai paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang logisnya setidaknya tidak ikut memusuhi atau semestinya malah membela meski atas dasar fanatisme kekeluargaan sebagaimana kebanyakan keluarga yang lain. Namun bagi Abu Lahab, hubungan kekerabatan itu tidak berarti sama sekali. Ia tetap saja memusuhi, dengan bentuk serta tingkat permusuhan yang luar biasa dahsyatnya.
Diriwayatkan saat keluarga besar Bani Hasyim di bawah kepeloporan Abu Thalib bersepakat untuk tetap membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena dorongan rasa fanatisme keluarga, meski mereka belum beriman, Abu Lahab-lah sendirian yang menentang kesepakatan saudara-saudaranya itu, dan lebih memilih berpihak pada kaum kafir Quraisy dalam konspirasi pemboikotan dan pengisolasian Bani Hasyim yang dikukuhkan dengan penulisan perjanjian jahat tersebut dalam lembaran shahiifah yang mereka tempelkan di Ka’bah.
Lalu untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas dan tegas tentang betapa sempurnanya kejahatan dan permusuhan Abu Lahab, kita ikuti penuturan sahabat Rabi’ah bin ‘Abbad Ad-Daili berikut ini. Beliau berkata,”Sungguh aku bersama bapakku pada usia muda saat aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkeliling ke kabilah-kabilah, diikuti dari belakang beliau oleh seorang laki-laki bermata juling dan berwajah putih. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke suatu kabilah, beliau bersabda,’Wahai Bani Fulan, sungguh aku adalah utusan Allah kepada kalian, aku minta kalian beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya, juga kalian mempercayai dan membelaku, agar aku bisa melaksanakan risalah yang aku bawa dari Allah.’ Begitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai menyampaikan dakwah beliau, serta merta lelaki yang ada di belakang beliau itu menimpali,’Wahai Bani Fulan! Lelaki ini ingin kalian meninggalkan (berhala) Al-Laata dan Al-‘Uzza, juga sekutu-sekutu kalian dari bangsa jin Bani Malik bin Aqmas, dan agar kalian mengikuti kebid’ahan dan kesesatan yang ia bawa. Maka janganlah kalian mendengarkan dan mengikutinya!’ Lalu akupun bertanya kepada ayahku,’Siapakah lelaki itu?’ Beliau menjawab,’Ia adalah paman beliau sendiri, Abu Lahab.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani).
Dan kejahatan serta permusuhan itu semakin sempurna dengan dukungan, kesertaan dan keterlibatan istrinya Ummu Jamiil yang juga sangat proaktif dalam menebarkan fitnah dan permusuhan dimana-mana terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dakwah Islam, serta juga dalam melakukan berbagai gangguan fisik seperti meletakkan kayu dan duri di jalan menuju rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang selalu ia lakukan setiap saat. Dan itu adalah dua makna yang disebutkan oleh para ulama dalam menafsirkan ayat ke-4 (yang artinya): “Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar”. Yang demikian itu padahal rumah mereka berdekatan dan bertetangga dengan rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kebinasaan yang Sempurna
Dengan kejahatan dan permusuhan yang demikian sempurna, amatlah logis jika balasan yang Allah sediakan bagi Abu Lahab berupa kebinasaan dan kenistaan di dunia dan khususnya di akhirat juga sempurna. Betapa tidak. Doa kebinasaan dan sekaligus ketetapan kebinasaan atas dirinya itu difirmankan oleh Allah Ta’ala secara langsung, yang tentu saja memberikan makna kepastian tanpa adanya keraguan sedikitpun. Dimana dengan kepastian serta keputusan itu, tidak ada lagi celah sekecil apapun untuk bisa lepas dan bebas dari ketentuan kebinasaan tersebut. Artinya jika orang lain yang mungkin diketahui sama jahatnya seperti Abu Lahab, tetap saja kondisinya tidak seburuk Abu Lahab, karena ia masih memiliki peluang dan harapan untuk berubah (tentu saja semasa hidup) sehingga akhirnya bisa bebas, lepas dan selamat dari ancaman. Tetapi tidak demikian bagi Abu Lahab. Harapan dan peluang baginya untuk berubah agar bisa selamat dari ancaman ditegaskan telah benar-benar tertutup serapat-rapatnya sejak firman Allah itu turun. Dan kita semua tahu bahwa, kondisi terburuk dalam hidup ini adalah ketika seseorang yang berada dalam keburukan sudah tidak memiliki harapan lagi.
Dan hal itu masih ditegaskan secara eksplisit dalam ayat ke-2 yang memastikan bahwa apapun yang ia punyai, harta atau lainnya, dan juga ia upayakan, yang baik sekalipun andai saja ada, semuanya itu tidak akan berguna sama sekali untuk membebaskannya dari kebinasaan dan adzab pedih yang telah pasti menantinya.
Selanjutnya penggambaran tentang sempurnanya keburukan yang akan menimpa Abu Lahab bisa kita dapati dari firman Allah dalam ayat ke-3 yang disamping memastikan Abu Lahab akan masuk neraka, juga memberikan ilustrasi yang sangat menakutkan dengan menyifati api neraka yang akan dimasukinya adalah api yang memiliki kobaran yang sangat dahsyat.
Dan berikutnya berita kebinasaan atas Abu Lahab tersebut semakin lengkap lagi dengan pemastian dari Allah bahwa, istrinya Ummu Jamiil juga akan bersamanya dalam kebinasaan itu. Namun disini ada satu hal yang perlu diingatkan bahwa, nasib buruk yang akan dialami oleh Ummu Jamiil itu bukanlah sekadar karena ia adalah istri Abu Lahab, seperti ungkapan Jawa tentang istri “suwargo nunut, neroko katut”. Tidak. Tidak demikian. Namun apa yang diancamkan terhadap Ummu Jamiil itu adalah karena ia memang sama jahatnya seperti suaminya. Jadi balasan buruk yang akan menimpanya adalah karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, dan bukan karena terbawa oleh akibat kejahatan suaminya. Dan untuk membantah ungkapan “suwargo nunut, neroko katut” tersebut, apa yang diabadikan oleh Al-Qur’an tentang kisah istri Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimas-salaam yang tidak bisa nunut suami mereka ke Surga, dan juga Asiyah istri Fir’an yang ternyata tidak katut suaminya ke Neraka, sangatlah jelas dan gamblang (lihat QS. At-Tahriim [66]: 10-11).
Lalu catatan terakhir yang melengkapi kesempurnaan kebinasaan Abu Lahab dan istrinya adalah bahwa, berita kebinasaan itu diabadikan dalam Al-Qur’an yang diulang-ulang pembacaannya oleh bermilyar-milyar ummat manusia dan jin sejak diturunkannya dulu sampai menjelang hari kiamat nanti. Wallahu a’lam. (AMJ)