Larangan Berputus Asa

  • Sumo

Sudah menjadi sunatullah bahwa hidup itu akan penuh dengan ujian dan cobaan. Artinya, tidak ada satu orangpun di dunia ini yang tidak mendapatkan cobaan atau ujian dari Allah Ta’ala. Baik dia itu orang Muslim ataupun orang kafir, orang kaya atau miskin, bangsawan atau jelata, semuanya akan menerima ujian masing-masing. “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah- buahan…” (QS. Al Baqarah: 155).

Semua ujian dan cobaan itu pada hakikatnya adalah bertujuan untuk menguji manusia siapakah di antara mereka yang terbaik amalannya, bukan siapakah yang terbanyak amalannya. “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Al Mulk: 2).

Larangan Berputus Asa

Allah subhanahu wta’ala dengan tegas telah melarang kaum Muslimin untuk berputus-asa dalam kehidupannya. Apapun yang menjadi cobaan bagi kehidupan, tidak harus menyebabkan rasa putus-asa dalam dirinya. Bahkan ketika dia sudah terjebak dalam situasi yang serba tidak menguntungkan dan tidak mengenakkan baginya, tetap terlarang bagi seorang Muslim untuk berputus asa. Rejekinya yang sempit, status sosialnya yang rendah, tekanan-tekanan dari pihak lain atau bahkan sampai kepada vonis kematian yang mendekatinya. Semua itu tidak harus menyebabkan seorang Muslim menjadi putus-asa.

Allah swt berfirman: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Az Zumar: 53). Dengan ayat yang melarang kaum Muslimin berputus-asa, maka berlakulah hukum “haram” bagi seorang Muslim untuk berputus-asa, apapun alasannya. Karena keputus-asaan itu akan menghantarkan seorang Muslim kepada nilai kekafiran. “… dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (QS. Yusuf: 87).

Akar keputus-asaan biasanya dimulai dari prasangkaan seseorang yang salah terhadap Allah swt atau persangkaan yang buruk kepada Allah. Berangkat dari persangkaan inilah, kemudian seseorang menjadi apatis, takut dan cemas serta merasa tidak mempunyai harapan apapun dalam hidupnya. Dengan persangkaan yang salah itu pula akan muncul anggapan bahwa cobaan hidup dan kegagalan-kegagalan yang dialami adalah sebuah kesedihan, sebuah adzab dan kepedihan. Sehingga dia menghadapi cobaan dan ujian hidupnya dengan rasa sedih, pilu, amarah dan rasa tidak terima. Bukankah cobaan itu justru anugerah yang tidak ternilai dari Allah Ta’ala? Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Tiada sesuatu kepayahan, kesakitan, kesedihan, kesusahan, penderitaan dan kesukartan sampai pun duri yang menyakitkan itu menimpa kepada seorang Mu’min melainkan dengan itu semua Allah akan menutupi dosa-dosanya” (HR. Bukhari dan Muslim). dalam hadits lain: “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka ia pasti akan (diuji) dengan penderitaan” (HR. Bukhari).

Maka sudah seharusnyalah bagi seorang Muslim untuk menerima semua cobaan dan kegagalan hidupnya tanpa rasa putus-asa, malah justru menumbuhkan rasa optimisme dan penuh harapan dalam dirinya. Dengan rasa optimis dan penuh harapan kepada Allah itulah, justru akan melahirkan kesuksesan, di dunia maupun di akhirat. Karena Allah swt akan mengikuti harapan hamba-Nya kepada-Nya. Bila seseorang berharap baik, maka Allah akan mengikutinya. Sebaliknya apabila harapannya senantiasa kosong dan penuh dengan persangkaan buruk, maka Allah SWT akan mengikuti saja persangkaan hamba-Nya. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Aku (mengikuti) persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku akan bersamanya sepanjang ia mengingat-Ku” (HR. Bukhari dan Muslim).

Seandainya muncul perasaan putus-asa yang hebat dalam diri seorang Muslim, sampai-sampai dia mengharapkan mati; maka Rasulullah saw mengajarkan kepada kita untuk berdo’a : “Ya Allah, biarkanlah aku hidup jika nyata hidup itu lebih baik bagiku. Dan matikanlah aku jika ternyata mati itu lebih baik bagiku” (HR. Bukhari dan Muslim).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses