Manusia terlahir dalam keadaan suci (fitrah). Sesuai fitrahnya, manusia mengakui adanya Allah, satu-satunya Ilah (Tuhan). Fitrah manusia yang pada awalnya bersih, kemudian terkotori oleh perbuatan dosa atau maksiat. Rasulullah SAW mengingatkan, setiap hamba yang melakukan dosa maka di hatinya ada noda hitam. Begitu noda-noda tadi terkumpul, akhirnya menutupi fitrah, sehingga fitrah tidak bisa berinteraksi dengan petunjuk Allah (hidayah). Beliau SAW bersabda: “Bertaqwalah kamu kepada Allah di mana saja kamu berada, serta iringilah perbuatan jahatmu dengan perbuatan baik. Niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya. Dan bergaullah dengan manusia secara baik.”
Agar hati manusia selalu bersih, suci, sesuai fitrahnya maka tiga pilar utama perlu dimiliki manusia, yaitu : Iman, Ilmu, Amal. Ketiga aspek ini akan menyatu dalam diri seseorang dengan syarat adanya hati yang bersih. Untuk tujuan itulah sesungguhnya Rasulullah SAW diutus Allah SWT sebagaimana firman-Nya : “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan aya-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. [QS. Al-Jumu’ah (62):2]
Di dalam ayat tersebut Rasulullah melakukan tiga sentuhan kepada orang-orang kafir yang dikatakan buta huruf dan dalam kesesatan yang nyata (dengan kata lain tidak berilmu), yaitu
– membacakan ayat-ayat (tanda-tanda kebesaran) Allah = ilmu
– mensucikan = iman
– mengajarkan kitab (Al-Qur’an) dan hikmah (As-Sunnah) = amal
Ketiga sentuhan itu dilakukan oleh Rasulullah untuk membawa umat manusia kepada derajat khoiru ummah (umat yang baik). Integrasi antara ilmu, iman dan amal secara perseorangan disebut dengan derajat taqwa.
Manakah yang lebih dulu antara iman, ilmu dan amal?
Antara iman, ilmu dan amal mana yang lebih dulu itu tergantung kondisi. Pada umat muslim yang telah dilahirkan sebagai muslim, ini berarti imanlah yang lebih dulu. Tetapi coba lihat fenomena sekarang. Banyak orang Islam yang terlahir sebagai muslim tapi tidak mengerti ajaran Islam yang sesungguhnya. Oleh karena itu, akan lebih baik lagi bila disertai dengan ilmu. Karena Al-Qur’an dan sunnah itu sebenarnya berisi tentang kesimpulan-kesimpulan ilmu dan prinsip hidup. Orang bisa saja percaya (mengimani) kepada Al-Qur’an dan sunnah, tapi akan mudah goyah bila tidak didukung ilmu. Jadi tidak heran bila seorang ulama terkena skandal perempuan, atau seorang haji terkena skandal uang. Padahal kata Sayyid Qutb pada tafsif Fii Zilalil Qur’an: ”Ilmuilah kalimat Laa ilaaha illalLahu”. Harus kita dalami maknanya. Sekarang coba kita lihat orang-orang mualaf, yang benar-benar mencari kebenaran dalam kehidupan spiritualnya. Banyak diantaranya adalah seorang professor atau doktor di berbagai bidang keilmuan yang akhirnya bisa menyadari bahwa ada kekuasaan yang lebih besar yang mengendalikan semua ini. Mereka akhirnya menyadari bahwa hal-hal tentang suatu ilmu yang tidak terjangkau akal mereka telah disimpulkan oleh Al-Qur’an. Luar biasa bila kita bias menyadari itu pula.
Setelah ilmu dan iman barulah diamalkan dengan perbuatan kita. Rasul mengatakan, “Iman itu adalah diyakini dalam hati, dibenarkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.”
Allah SWT berfirman : “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):”Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. [QS. Ali-Imran (3):191]
Di dalam surat tersebut Allah menggambarkan manusia yang senantiasa berzikir (mengingat) kepada Allah dalam segala posisi (berdiri, duduk & berbaring), kemudian ia juga berpikir (tafakkaru) tentang penciptaan alam semesta. Bila kita bisa mendalami makna ayat tersebut dan melaksanakannya, maka tercapai satu kesimpulan: penganggukan universal dalam hati kita masing-masing bahwa, Rabbanaa maa khalaqta haadza bathilaa,… (Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua itu dengan sia-sia,…). Ketika ayat 191 di atas diturunkan, Rasul sendiri menangis sangat lama sepanjang sholat malamnya. Beliau begitu merenungi makna yang mendalam dari ayat tersebut.
Berbicara mengenai memahami ayat-ayat Allah (tanda-tanda kebesaran Allah), maka kita dapat membedakannya menjadi dua, yakni : Ayat qauliyah, yaitu ayat yang diwahyukan kepada Rasul-Nya dalam Al-Qur’an serta Hadits Qudsi.
Ayat kauniyah, yaitu alam semesta yang merupakan sunnatulLah (ciptaan Allah). Bila kita bisa mengintegrasi keduanya akan melahirkan keimanan.
Dalam Surat Al-Anfaal disebutkan bahwa, Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal, [QS. Al-Anfaal(8):2]
Pada ayat tersebut, Allah menggunakan kata, “ayaatuhu zaadathum iimana.” Kata ayat yang disebutkan berarti umum, bukan hanya qauliyah tetapi juga kauniyah sehingga memunculkan / menambah iman orang-orang yang dibacakan itu.
Dengan tumbuhnya keimanan, sudah seharusnya seseorang meniatkan segala amalannya penuh keikhlasan, hanya mengharapkan keridlaan Allah. Misalnya, seseorang berbuat baik kepada tetangganya karena mengimani Allah dan adanya Hari Akhir. Dia tidak melakukan itu untuk tujuan-tujuan lain.
Rasul SAW sendiri di dalam melakukan kajian (tarbiyah) bukan hanya di dalam rumah, tetapi kadang di luar rumah. Misalnya ketika malam hari di bawah bintang-bintang di langit. Pada saat seperti itu Rasul sering membacakan ayatayat qauliyah untuk mendukung suasana alam sekitar saat itu. Hal ini tentu dimaksudkan untuk memudahkan penyerapan materi bagi para mad’u (murid)-nya. Tentunya saat ini, tadabbur ‘alam (mengenal alam) seperti itu dapat dilakukan dengan lebih baik lagi, karena saat ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mengejawantahkan apa-apa yang telah disimpulkan Allah dan tersirat di dalam Al-Qur’an.
Meluruskan secara ikhlas dalam setiap amalan kita bukanlah sebuah hal yang mudah. Meski dalam hati telah tumbuh iman, ucapan syahadah pun telah dilantunkan namun kadang atau bahkan sering kita masih mengharapkan tujuan duniawi dalam perbuatan-perbuatan kita. Karenanya, untuk menyeimbangkan/memadukan isi hati, kata, dan perbuatan dibutuhkan latihan. Cobalah kita pikirkan. Ketika sholat kita membaca, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya kupersembahkan kepada Allah, Tuhan Semesta Alam” Kalimat tersebut bukankah merupakan Pernyataan Sikap kita? Boleh jadi kita ini sudah beriman seperti yang kita nyatakan itu, tapi karena tidak/kurang berilmu sehingga sering kontradiktif. Antara ucapan dengan perbuatannya ternyata tidak sinkron. Jadi, bagaimana realisasi (amal/bekerja) dalam kehidupan kita setelah shalat itu? Masihkah nihil? Na ‘udzubilLah min dzalik, wastaghfirulLahal adhiim. Ternyata kita butuh sesuatu untuk mengontrol realisasi amal kita, bukan?
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah lebih kurang mengatakan, “Jika Jasad memerlukan makanan yang bergizi (nutrisi) agar hidup sehat, maka akal memerlukan nutrisi ilmu agar tumbuh menjadi akal yang sehat, sedangkan hati memerlukan nutrisi dzikir agar tetap menjadi hati yang bersih.”
Untuk membersihkan hati perlu asupan dzikir yang dilakukan meliputi dzikir dalam hati, lisan serta amal.
- Dzikir dalam hati adalah adanya perasaan terikat kepada Allah dan mengingat asma-asma Allah (Asma ul-Husna). Dzikir ini bisa dilakukan dimana saja, termasuk di dalam forum majlis, bekerja, dsb. Ada test yang bisa dilakukan untuk mengetahui bahwa seseorang hatinya sedang berdzikir. Misalnya dengan dikagetkan/dikejutkan atau seseorang mendapat masalah atau tertimpa musibah mendadak. Perhatikan ucapan spontan yang keluar dari mulut orang itu. Apakah kata-kata ‘kebun binatang’ yang keluar atau asma Allah? Bahkan yang lebih luar biasa lagi, yaitu ketika dikagetkan ketika nyawa kita dicabut oleh Allah. Tidak ada jaminan bahwa pada kaget yang luar biasa itu seperti itu, seseorang yang tidak biasa berdzikir dalam hatinya masih mampu mengucapkan kalimat laa ilaaha illalLah… AstaghfirulLahal adhiim. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang bisa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalLah.
- Dzikir lisan adalah dengan senantiasa melantunkan kalimah pujian, istighfar dan sebagainya. Ini termasuk ucapan ketika nyawa kita dicabut oleh malaikat Izroil. Rasul pernah bersabda, “Barang siapa yang ketika mati mampu mengucapkan kalimat laa ilaaha illalLah, ganjarannya adalah syurga (Jannah).” Oleh karena itu, marilah kita senantiasa mentraining diri kita untuk berdzikir kepada Allah.
- Dzikir dalam amalan meliputi pelaksanaan kewajiban-kewajiban seorang muslim dalam rukun Islam, sholat nafilah, qiyamul lail (tahajjud), shaum sunnah hingga pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar secara keseluruhan. Sedangkan lawan dari dzikir adalah ghoflah (lalai, lupa). Dzikir pada hakikatnya berbanding lurus dengan iman. Tanda lemahnya iman adalah sedikitnya dzikir yang dilakukan. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa perumpamaan orang yang berdzikir dengan yang tidak berdzikir adalah ibarat orang hidup dengan orang yang mati. Di dalam orang yang mati hanya terdapat jasad saja, sedangkan dalam orang yang hidup terdapat fisik dan ruh. Berdzikir kepada Allah akan memenuhi kebutuhan ruhani manusia. Apabila dzikir tidak dilakukan maka akan timbul kegalauan dan keresahan dalam hati. Allahumma ainni ‘alaa dzikrika, wa syukrika, wa husni ibadatik. Wallahu A’lam bish Showab.