Kaum muslimin mempunyai dua hari raya; Kaum muslimin mempunyai dua hari raya; ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha. Hari raya selalu dimulai dengan ibadah besar. Hari raya ‘Idul Adh-ha dimulai dengan ibadah haji, inti dari ibadah haji, yaitu wukuf di ‘Arafah. Dan hari raya ‘Idul Fithri, didahului oleh ibadah puasa Ramadhan: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS Al-Baqarah: 185).
Hari raya ini datang agar kaum muslimin bergembira atas taufiq dan hidayah-Nya. Dalam hadits shahih yang diriwayatkan diantaranya oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw bersabda:
“Dan orang yang berpuasa mempunyai dua kegembiraan yang dirasakan; saat berbuka ia bergembira dengan bukanya, dan saat bertemu dengan Rabb-nya, ia bergembira dengan puasanya” (Muttafaqun ‘alaih).
Pada setiap harinya, seorang muslim bergembira saat ia berbuka setelah seharian penuh lebih ia dilarang makan, minum dan berhubungan suami istri. Dan ia bergembira lagi saat ia telah merampungkan ibadah puasa Ramadhan untuk tahun itu, bergembira atas taufiq dan hidayah Allah I, sehingga ia bisa mengisi hari-hari dan malam Ramadhan itu dengan penuh ibadah, segala macam ketaatan dan segala upaya pendekatan (taqarrub) kepada Allah swt. Allah swt berfirman:
Katakanlah, “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS Yunus: 58)
Dan siapa saja yang mensyukuri nikmat Allah I atas taufiq dan hidayah-Nya, hendaklah jangan menikmati kegembiraan ini sendirian saja, namun, hendaklah dia berusaha semaksimal mungkin untuk menyertakan kaum fuqara dan masakin dalam kegembiraan ini.
Karenanya, Islam mewajibkan ditunaikannya zakat fithrah pasca Ramadhan. Zakat ini ia tunaikan atas nama dirinya dan semua orang yang menjadi tanggungannya, yaitu anak dan istri. Secara materi, zakat fithrah ini memang tidaklah seberapa besar, namun ia mempunyai makna yang sangat mendalam dan besar, karena ia dimaksudkan untuk membiasakan kaum muslimin dalam berkontribusi dan ber-infaq, dalam keadaan senang atau susah, membiasakan mereka untuk menjadi tangan yang di atas, bukan tangan yang di bawah, seorang muslim hendaklah menjadi pemberi, walaupun ia seorang fakir, sebab zakat ini wajib bagi siapa saja yang pada malam dan hari ‘Idul Fithri ini mempunyai kelebihan makanan, walaupun harta keseluruhannya tidaklah sampai satu nishab zakat maal. Sehingga bisa jadi, ia adalah seorang muzakki zakat fithrah di satu sisi, dan sebagai mustahiq pada sisi yang lain.
Dalam salah satu riwayat disebutkan: “Adapun sisi kecukupannya, Allah – Subhanahu wa Ta’ala – akan mensucikannya, dan adapun sisi ke-fakirannya, maka Allah akan mengembalikannya kepadanya dengan lebih banyak daripada yang telah ia berikan”
Pada hari ini, seorang muslim mencari orang miskin untuk ia serahkan zakat fithrahnya kepadanya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat: “Berikanlah kecukupan kepada mereka, agar mereka tidak berkeliling pada hari ini mencari makanan”.
Walaupun hari ini adalah hari kebahagiaan, dan hari kegembiraan, namun sama sekali tidaklah sama dengan hari kebebasan dan pengumbaran syahwat. Islam telah mengajarkan agar kita membuka hari ini dengan takbir dan shalat serta mendengarkan pengarahan sang imam. Hal ini memberikan arti yang besar bagi kehidupan kita. Hendaklah kita memulai hari-hari kita dengan membesarkan Allah , dilanjutkan dengan shalat dan tidak melupakan pengarahan imam-imam kaum muslimin.
Hari raya juga bukan merupakan awal pemutusan hubungan dengan Allah, namun sebaliknya, Islam telah membuat sunnah bahwa kita memulai hari pasca Ramadhan ini dengan menjalin hubungan yang kuat dengan Allah , dengan cara bertakbir dan shalat serta mendengarkan khutbah tadi.
Namun sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin memahami secara salah bahwa akhir Ramadhan berarti akhir berinteraksi dengan masjid, akhir berinteraksi dengan shalat berjama’ah, akhir berinteraksi dengan shalat, dengan qiyamullail, dengan Al Qur’an, dengan infaq, dengan sedekah dan dengan segala macam ketaatan. Bukan, hari raya bukanlah demikian makna dan artinya.
Janganlah kita menjadi manusia musiman, yang hanya mengenal dan dekat kepada Allah I pada bulan atau musim tertentu saja, sebab Allah swt adalah Tuhan bulan Ramadhan, Syawal, Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, Shafar, Rabi’ul Awwal, Rabi’ul Akhir, Jumadal Awwal, Jumadal Akhir, Rajab, dan Sya’ban, Tuhan sepanjang waktu dan sepanjang masa, dan Dia adalah Tuhan Semesta Alam.
Pada hari Idul Fitri, Islam mengajarkan beberapa tuntunan, diantaranya sebagai berikut.
Pertama, hendaklah shalat ‘Id kita lakukan di di tempat lapang, tempat terbuka. Rasulullah -Shallawahu ‘alaihi wa sallam- selalu melakukan shalat ‘Ied di tempat seperti ini, hanya sekali saja dalam kehidupan beliau, beliau melakukannya di masjid, karena waktu itu turun hujan. Maksud dan tujuannya adalah agar seluruh penduduk kota, tua muda, dewasa dan anak-anak, laki-laki dan wanita dan kaum muslimin semuanya bisa ditampung di satu tempat, dalam sebuah kontes besar kaum muslimin. Ada makna lain dari ajaran ini, yaitu: agar perkembangan da’wah Islam bisa dirasakan, dilihat dan disaksikan oleh kaum muslimin khususnya dan ummat manusia umumnya.
Kedua, pada hari Idul Fitri, kita juga diperintahkan untuk membawa dan mengajak serta kaum wanita dan anak-anak, agar mereka merasakan suasana da’wah dan ukhuwwah Islamiyah, agar mereka memiliki kebanggaan (izzah) dan selanjutnya siap menjadi bagian dari umat ini.
Ketiga, Rasulullah -Shallawahu ‘alaihi wa sallam- juga mengajarkan kepada kita agar kita berangkat dari satu jalan dan pulang melalui jalan yang berbeda. Ada banyak hikmah dalam hal ini, diantaranya adalah agar kaum muslimin memenuhi jalan-jalan kota dengan tampilan dan syi’ar mereka.
Dengan adanya shalat ‘Id seperti ini, kita bisa saksikan dan rasakan sendiri bahwa ummat Islam akan tetap eksis dan berjaya, selama mereka masih mempunyai iman, selama mereka masih berpegang kepada Al Qur’an, selama mereka masih berpegang kepada sunnah Rasul, berqudwah kepadanya dan selalu konsisten dengan ajaran-ajarannya. (Selamet Junaidi)