Mencintai Nabi

  • Sumo

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Tidaklah beriman seseorang sehingga ia mencintaiku lebih dari keluarganya, hartanya dan siapapun juga.” Dalam riwayat lain: “lebih dari anaknya, orangtuanya dan siapapun juga”. (HR. Muslim). Hadits ini mengingatkan kita akan pentingnya meluruskan keimanan agar kita memiliki daya tahan yang memadai dalam menghadapi gelombang besar arus kehidupan. Hadits ini juga menekankan kembali akan keharusan kita menjadikan figur fenomenal dan abadi sepanjang masa yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam sebagai sosok yang paling kita utamakan dan kita muliakan. Bagaimanapun juga, kehadiran beliaulah yang telah menyadarkan manusia, membuka mata sejarah, dan menyinari dunia yang gelap dengan Nur Ilahi nan abadi.

Hadits ini menjelaskan banyak hal kepada kita. Pertama, cinta kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam adalah bagian dari kesempurnaan iman dan cara untuk mendapatkan kecintaan Allah. Ibnu Baththal menjelaskan makna hadits ini dengan ungkapan beliau: “Barangsiapa yang sempurna imannya akan menyadari bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam harus ia utamakan diatas orangtuanya, anaknya maupun siapapun juga karena hanya dengan itulah kita terselamatkan dari api neraka dan mendapatkan hidayah dari kegelapan dan kesesatan hidup”. Demikianlah, rasa cinta kita kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam haruslah mengalahkan rasa cinta kita kepada apapun dan siapapun baik itu harta benda, anak, orangtua maupun yang lainnya.

Lembaran panjang sejarah kehidupan para sahabat semisal Abu Bakar, Umar bin Khattab, Mush’ab in Umair, Abdullah bin Rawahah dan sederet nama lainnya memperjelas gambaran kongkrit makna dan implementasi kecintaan kepada Rasulullah. Qadhi ‘Iyyadh menjelaskan,“Diantara makna kecintaan kepada Rasulullah adalah memperjuangkan sunnah dan syariatnya, memimpikan kehidupan sepertinya dan mengorbankan seluruh yang dimiliki baik harta maupun jiwa. Hanya dengan itulah kesempurnaan iman akan terwujud.” Sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang yang menyepelekan perkara ini, yakni ketika Dia berfirman, ”Katakanlah: ’Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, isteri-isteri kalian, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS At-Taubah: 24)

Kedua, kecintaan kepada Rasulullah yang dimaksud dalam konteks hadits ini bukanlah tabiat cinta yang sudah menjadi sifat dasar manusia dan dimiliki oleh setiap orang, tetapi perasaan cinta yang bisa diarahkan, dipupuk dan dioptimalkan menjadi kekuatan perubahan ke arah implementasi nilai-nilai keimanan dan ketaatan. Imam Abu Sulaiman Al-Khattabi berkata, ”Yang dimaksud adalah, belum jujur pernyataan cintamu kepada Rasulullah sampai engkau mau mengalahkan hawa nafsumu dan taat mengikuti perintah beliau, mencintai beliau lebih dari mencintai dirimu sendiri meskipun dengan itu engkau akan menghadapi resiko dan mengalami hal-hal yang tidak engkau inginkan.” Ibnu Baththal dan Qadhi ‘Iyyadh mengatakan bahwa cinta itu ada tiga macam: 1) mahabatul ijlal wa ’izham, seperti perasaan sayang dan hormat kepada orangtua, 2) mahabbatusy syafaqah war rahmah, seperti perasaan cinta dan sayang kepada anak, dan 3) mahabbatul musyakalah wal istihsan, seperti perasaan sayang dan cinta kepada sesama. Adapun kecintaan kita kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam harus menggabungkan tiga macam cinta ini dalam satu kesatuan yang utuh.

Ketiga, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam adalah figur dan teladan utama dalam semua sisi kehidupan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mempersiapkan beliau untuk itu: membimbing dan mengarahkan beliau, memperjelas nasab, sejarah dan perilaku beliau, dan memberikan pujian serta menyerukan penghormatan shalawat kepada beliau. Maka, siapapun yang menginginkan kesempurnaan keimanan dan keislaman harus siap untuk meneladani beliau. Setiap mukmin – apapun profesinya – wajib mengetahui, merenungkan dan meneladani akhlak beliau yang mulia, sehingga kepribadian dirinya akan menjadi lebih sempurna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab: 21)

Keempat, mempelajari Islam dengan baik dan benar, mengamalkan ajarannya, serta mendakwahkan dan menawarkankannya kepada orang lain adalah bagian dari makna kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Himpitan, tekanan dan godaan kehidupan dunia yang menggiurkan akan bisa kita hadapi dan kita atasi dengan kekuatan iman, mengembalikan ukuran hitam putih dan benar salahnya kehidupan ini dengan acuan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, serta meneladani kehidupan Rasulullah dan para salafus shaleh yang bagaikan cahaya bintang gemintang di tengah kehidupan malam yang kelam sebagaimana sabda Rasulullah: “Sahabat-sahabatku adalah laksana bintang gemintang, dari siapapun kamu mengambil teladan maka kamu akan mendapatkan hidayah.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.