Keihklasan sangat penting dan menentukan dalam ibadah. Kata ikhlas menurut bahasa artinya murni, tidak bercampur dengan yang lainnya. Adapun menurut peristilahan, ikhlas artinya melakukan amalan dengan memurnikan maksud kita hanya untuk Allah Ta’ala, bukan dengan maksud agar mendapatkan pujian atau balasan dari manusia. Terkait keikhlasan ini, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Dari Umar bin Khattab dia berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “(Nilai) amal itu tergantung niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh (balasan amal) berdasarkan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka berarti hijrahnya (bernilai sebagai hijrah) karena Allah dan Rasul-Nya. Tetapi barangsiapa hijrahnya karena kepentingan duniawi yang hendak ia raih, atau wanita yang hendak ia nikahi, maka nilai hijrahnyaya hanya sesuai dengan niat hijrahnya itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ada banyak alasan mengapa kita harus ikhlas. Pertama, keikhlasan merupakan salah satu syarat diterimanya amal (syarth qabul al-‘amal). Sebagaimana diketahui syarat-syarat diterimanya amal seorang mukmin adalah dilakukan dengan ikhlas dan juga benar. Mengenai firman Allah dalam QS Al-Mulk ayat 2: “(Allah ) Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapakah yang paling baik amalnya”, Imam Fudhail bin ‘Iyadh menafsirkan ahsanu’amalan dengan kata-katanya: “Jika kita beramal dengan ikhlas tetapi tidak benar niscaya tidak akan diterima. Demikian pula jika kita beramal dengan benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima. Amal kita harus dilakukan dengan ikhlas sekaligus benar agar diterima oleh Allah subhanau wata’ala”.
Syetan mula-mula selalu berusaha agar seseorang meninggalkan amal ibadah, namun jika usaha ini gagal, ia akan berusaha agar orang tersebut beribadah dengan cara yang tidak benar, misalnya dengan menjerumuskannya kedalam bid’ah, atau agar orang tersebut beribadah dengan tidak ikhlas.
Kedua, keikhlasan merupakan faktor utama yang bisa mendatangkan taufiq Allah (‘amil jalbi taufiqillah). Dengan berlaku ikhlas, kita akan mendapatkan limpahan barakah Allah. Demikian pula, ketika kita ikhlas maka Allah akan menyertai dan memberikan kemudahan kepada kita. Inilah taufiq dari Allah, yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas.
Ketiga, keikhlasan merupakan faktor istimewa yang bisa membuahkan keberhasilan dan kesuksesan (‘amil an-najah). Ketika kita ikhlas, Allah akan menyertai dan memudahkan kita. Inilah yang kemudian akan membawa kita kepada keberhasilan dan kesuksesan. Jika Allah yang menghendaki keberhasilan bagi kita, apakah ada yang bisa mencegahnya?
Keempat, keikhlasan adalah salah satu faktor utama penjaga keistiqamahan dalam amal dan ibadah. Karena jika seseorang beramal dan beribadah karena dorongan faktor riya’, misalnya karena ingin dilihat, ingin dipuji, dan seterusnya, yang jelas ingin ini dan itu dari manusia, maka amal dan ibadahnya itu akan otomatis berhenti ketika faktor-faktor itu semua tidak ada. Sedangkan jika amal dan ibadahnya ikhlas murni karena Allah, maka keistiqamahan pun akan terjaga, karena Allah selalu ada, dan terus mengawasi tanpa henti.
Kelima, keikhlasan merupakan faktor yang bisa mendatangkan kekuatan (‘amil al-quwwah). Dikisahkan tentang seorang laki-laki ahli ibadah di zaman dahulu kala. Ketika ia mengetahui bahwa di desanya atau desa sebelah terdapat sebuah pohon yang dikeramatkan dan disembah oleh warga, iapun bergegas untuk menebang pohon tersebut, dengan niat ikhlas karena Allah. Di tengah jalan menuju pohon tersebut, ia dihadang oleh syetan/jin yang menyamar sebagai seorang laki-laki.
Syetan itu berusaha menghalangi si ahli ibadah. Akhirnya terjadilah perkelahian yang dalam waktu singkat dimenangkan oleh si ahli ibadah. Namun sebelum si ahli ibadah meneruskan perjalanannya menuju pohon, syetan yang kalah tersebut tetap berusaha merayunya. Syetan menawarkan kepadanya bahwa jika ia menunda penebangan pohon tersebut, ia akan mendapati uang dibawah bantalnya setiap hari, yang bisa digunakan untuk menutupi kebutuhannya sehari-hari, sehingga tidak lagi menjadi beban dan tanggungan orang lain seperti biasanya. Si ahli ibadah memang miskin, maka iapun terkecoh dan akhirnya setuju dengan tawaran tersebut.
Selama beberapa hari, memang benar ia selalu mendapati setumpuk uang di bawah bantalnya, sesuai janji jin/syetan tersebut. Namun ternyata itu tidak berlanjut, sehingga pada hari-hari berikutnya, ia tidak lagi mendapati uang yang dijanjikan. Maka ia pun naik pitam. Ia merasa bahwa laki-laki yang sebetulnya jelmaan syetan/jin tersebut telah ingkar janji. Maka iapun mengambil kapaknya dan dengan marah bergegas menuju pohon untuk menebangnya.
Namun di tengah jalan, ia dihadang lagi oleh si laki-laki jelmaan syetan/jin yang sama, dan yang berusaha menghalanginya. Akhirnya terjadilah perkelahian lagi antara keduanya, namun kali ini si ahli ibadahlah yang kalah. Setelah berhasil mengalahkan si ahli ibadah, syetan tersebut pun berujar, “Kemarin dulu kamu bisa mengalahkan aku sebab kamu berniat menebang pohon itu, semata-mata ikhlas karena Allah, namun kali ini kamu bisa dengan mudah aku kalahkan sebab kamu berniat menebang pohon itu demi uang”. Ini adalah sebuah kisah yang memberikan pelajaran kepada kita bahwa keikhlasan akan mendatangkan kekuatan, khususnya kekuatan rohani, bahkan juga termasuk kekuatan fisik.