Fitrah setiap manusia pasti merasakan keberadaan Allah. Indera dan akal juga mendukung fitrah tersebut. Bagaimana mungkin alam yang terbentang luas ini ada dengan sendirinya? Bagaimana mungkin alam semesta dengan segenap bagian-bagiannya sampai yang paling kecil sekalipun bisa eksis dalam keteraturan yang mencengangkan? Tidak bisa tidak, Allah pasti ada. Dan lebih dari sekadar ada, Allah pastilah Dzat yang Satu dan Maha Sempurna.
Kita memang tidak bisa melihat Allah, akan tetapi kita bisa mengenal-Nya melalui ayat-ayat-Nya, baik ayat-ayat yang Ia firmankan melalui lisan para rasul-Nya (ayat-ayat qauliyah) maupun ayat-ayat yang Ia ciptakan berupa alam semesta beserta segenap isinya (ayat-ayat kauniyah).
Melalui firman-firman-Nya, Allah memperkenalkan diri-Nya dan memberitahukan sifat-sifat-Nya kepada kita semua. Pada saat yang sama, firman-firman Allah juga mengajak kita untuk mentafakkuri ayat-ayat-Nya yang terbentang di alam semesta dan bahkan yang ada dalam diri kita sendiri. Dengan tafakkur yang sungguh-sungguh, kita pasti akan sampai pada kesimpulan bahwa tidaklah Allah menciptakan sesuatupun dengan sia-sia. Kita akan merasa takjub pada kebesaran-Nya dan berkata,”Subhanallah, Maha Suci Allah.” Dan ketika itulah keimanan dan rasa takut kita kepada-Nya akan semakin menguat! Itulah sebabnya jika kita semakin mengenal Allah maka kita akan semakin beriman dan bertakwa kepada-Nya.
Mengenal Allah adalah hal yang paling penting dalam hidup ini. Dengan mengenal Allah berarti kita mengenal tujuan hidup kita. Orang yang tidak mengenal Allah berarti tidak memahami tujuan hidupnya! Karena sedemikian pentingnya mengenal Allah itulah, para ulama menyepakati bahwa ilmu tauhid adalah ilmu yang paling utama, karena ilmu tersebut mengenalkan manusia pada Allah. Demikian pula, apapun ilmu yang kita miliki seharusnya juga semakin membuat kita mengenal Allah. Dan semakin kita mengenal Allah, kitapun akan semakin takut kepada-Nya. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa yang takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu.
Apa yang Menghalangi Kita Mengenal Allah?
Pada dasarnya ada dua hal yang bisa menghalangi kita dari mengenal Allah: syahwat dan syubhat. Syahwat artinya ketidakmampuan kita untuk mengendalikan nafsu jahat yang ada dalam diri kita. Adapun syubhat artinya kelemahan pemahaman kita terhadap kebenaran.
Pada setiap diri manusia pasti ada syahwat. Yang demikian ini karena Allah telah menanamkan dua potensi pada setiap jiwa manusia: potensi jahat (fujur) dan potensi baik (taqwa). Akhirnya, potensi mana yang mewujud dalam diri kita amatlah tergantung kepada diri kita sendiri. Jika kita benar-benar bermujahadah (berusaha dengan sungguh-sungguh) dalam mengekang dorongan syahwat yang ada dalam diri kita, insyaallah kita tidak akan terbuai oleh syahwat. Sebaliknya jika kita senantiasa menuruti dorongan syahwat yang ada dalam diri maka tidak ayal lagi kita pun akan hanyut dalam kubangan lumpur syahwat yang menghinakan.
Syahwat senantiasa mendorong kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan keji dan nista. Bahkan manusia-manusia yang berilmu pun tidak luput dari dorongan ini. Meskipun seseorang berilmu namun jika tidak bermujahadah untuk mengekang diri maka ia pun bisa terjerumus dalam gelimang syahwat yang menjijikkan. Tidak jarang bukan kita menyaksikan orang-orang yang dipandang berilmu tetapi ternyata terjerumus kedalam dosa karena mereka tidak mampu mengekang dorongan syahwatnya?
Diantara bentuk syahwat adalah kefasikan dan kemaksiatan. Jika kita sudah bergelimang dalam perbuatan-perbuatan dosa dan kemaksiatan, hati kita akan penuh dengan noda. Dan ketika noda-noda itu sudah sedemikian banyak, hati kita pun akan menjadi kelam dan keras. Akibatnya, hati kita tidak akan lagi peka terhadap ayat-ayat Allah. Dan ketika itulah, kita akan menjadi sulit untuk mengenal Allah.
Bentuk syahwat yang lainnya adalah dusta. Betapa banyak orang yang telah mendengar dan melihat ayat-ayat Allah dengan jelas dan gamblang, akan tetapi ia justru berpaling mendustakannya. Ia tidak mau dengan jujur mengakui kebenaran ayat-ayat Allah, padahal hati kecilnya telah mengakuinya. Diantara sebab pendustaan adalah kesombongan, seperti yang telah dilakukan oleh Fir’aun. Ia tidak mau mengakui kebenaran ayat-ayat Allah karena ia merasa tinggi hati dan sombong. Alih-alih mengakui ayat-ayat-Nya, ia justru berkata dengan penuh kesombongan,”Akulah Tuhan kalian yang paling tinggi.” Demikian pula Iblis yang menolak perintah Allah karena kesombongan dan kecongkakannya.
Demikian pula kezhaliman merupakan salah satu bentuk syahwat. Kita berlaku zhalim ketika kita tidak menempatkan sesuatu pada tempat dan proporsinya. Dan kezhaliman yang paling besar adalah menyekutukan Allah karena itu berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempat yang semestinya di sisi Allah. Semestinya, kita menempatkan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang bisa menentukan nasib kita. Akan tetapi orang-orang yang menyekutukan Allah meyakini bahwa sebagian makhluk-Nya bisa menolong dan mencelakakan mereka. Dan keyakinan inilah yang akhirnya membutakan mata hati mereka dari mengenal Allah. Demikian pula kezhaliman yang kita lakukan terhadap orang lain, bahkan terhadap diri kita sendiri, bisa menghalangi kita dari mengenal Allah.
Setelah syahwat, sebab lain yang bisa menghalangi kita dari mengenal Allah adalah syubhat. Ketika kita lemah dalam ilmu dan pemahaman, syubhat akan datang meliputi diri kita. Syubhat ini ibarat kegelapan yang mengelilingi diri kita. Jika kita tidak sanggup mencari penerangan, kitapun akan kebingungan kemana harus melangkah sehingga kita akhirnya tersesat. Penerangan itu tidak lain adalah ilmu dan pemahaman, yang akan membimbing kita meniti jalan yang benar, yaitu jalan Islam.
Ilmu adalah hal mutlak yang kita perlukan sebagai pedoman untuk meniti jalan kehidupan yang penuh dengan tipuan dan rintangan ini. Tidaklah cukup seseorang hanya berbekal kemauan dan tekad baik untuk bisa menjadi baik. Kemauan dan tekad adalah penggerak dan pemelihara motivasi kita dalam berbuat baik. Adapun bagaimana caranya berbuat baik hanya bisa kita ketahui dengan ilmu.
Karena Allah hanya bisa dikenali melalui ayat-ayat-Nya, maka untuk mengenal-Nya kita membutuhkan ilmu tentang ayat-ayat-Nya tersebut. Karena ayat-ayat-Nya ada yang qauliyah dan ada yang kauniyah maka demikian pula dengan ilmu: ada ilmu tentang ayat-ayat qauliyah dan ada ilmu tentang ayat-ayat kauniyah. Karena ayat-ayat qauliyah maupun ayat-ayat kauniyah adalah sama-sama ayat-ayat Allah maka ilmu tentang keduanya tidak mungkin bertentangan satu sama lain. Jika kita melihat suatu pemahaman terhadap ayat-ayat qauliyah bertentangan dengan pemahaman terhadap ayat-ayat kauniyah, pastilah salah satu diantara dua pemahaman itu ada yang salah. Bisa jadi pemahaman terhadap ayat-ayat qauliyah-nya yang salah, atau pemahaman terhadap ayat-ayat kauniyah-nya yang salah. Namun jika pemahaman terhadap ayat-ayat kauniyah terlihat berlawanan dengan pemahaman terhadap ayat-ayat qauliyah yang jelas dan gamblang, maka pemahaman yang belakangan itulah yang benar karena sifat kebenarannya adalah mutlak dan final.
Tak Kenal Maka Tak Sayang
Kalau kita sudah mengenal Allah, maka kita pun akan mencintai-Nya. Seberapa besar kecintaan kita kepada Allah tergantung pada seberapa baik kita mengenal-Nya. Ketika kita mengenal Allah dengan baik, maka kita akan menjadikan-Nya sebagai puncak kecintaan kita, melebihi kecintaan kita kepada apapun selain-Nya. Ketika itulah kita akan mencintai sesuatu karena Allah dan membenci sesuatu juga karena Allah. Ketika itu pulalah kita akan banyak menyebut nama-Nya, ridha terhadap segala ketetapan-Nya, senantiasa berharap hanya kepada-Nya, rela mengorbankan apa saja untuk-Nya, dan senantiasa tegar dalam mentaati segala ketentuan-Nya. Wallahu a’lam bish shawab. [Abdur Rosyid]