Menghidupkan malam dengan ibadah dengan ibadah atau qiyamullail tidaklah mudah. Tapi bagi yang sudah terbiasa akan merasakan kelezatan yang luar biasa. Atha’ bin Rabah seorang tabi’in menjuluki qiyamullail sebagai ibadah yang menghidupkan badan, menyinari hati, mencerahkan wajah, menguatkan pandangan dan organ tubuh. Jika seseorang qiyamul lail, ia bahagia tiada tara esok paginya. Jika ia tidak qiyamullail, ia sedih dan gundah gulana. Sepertinya, ada sesuatu yang hilang dari dirinya dan sesuatu yang paling besar menfaatnya sirna darinya.
Jika itu telah diketahui, maka tidak mengherankan kalau qiyamullail, yang merupakan ibadah yang berat bagi jiwa manusia, itu dijadikan Allah swt sebagai protes tarbiyah (pembinaan) yang harus dijalani Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para pengikut beliau. Muhammad bin Sirin menyerukan qiyamul lail dijadikan bagian dari prasyarat seseorang layak dijadikan figur teladan. Ia berkata, “Seseorang harus mengerjakannya qiyamullail, kendati sebentar.
Karena saking mencinai qiyamullail, generasi pertama Islam sedih jika malam berlalu dan siang menjelang. Imam Suyan Ats-Tsauri berkata, “Jika malam datang, akan senang. Jika siang menjelang, aku sedih.” Tentang Sufyan Ats-Tsauri, Abu Yazid berkata, “Pada pagi hari, Sufyan Ats-Tsauri menjulurkan kedua kakinya ke tembok dan kepalanya ke tanah, agar darahnya kembali ke tempatnya semula, karena qiyamul lail yang kerjakan.”
Bagaimana mereka tidak rindu malam hari, saat-saat keika Allah swt ‘turun’ ke langit dunia, lalu perasaan dekat dengan-Nya kian bertambah dan kelezatan bermunajat kepada-Nya makin menguat? Bagaimana mereka tidak merindukan qiyamullail, ketika qiyamullail salah satu jalan yang mengantarkan ke surga dengan aman. Rasulullah Shallallahu Alaihis wa Sallam bersabda: “Hai manusia, sebarkan sabar diantara manusia, beri makan orang lain, dan shalatlah pada malam hari saat manusia sedang tidur, niscaya kalian masuk surga dengan aman.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi).
Bagaimana mereka tidak merindukan qiyamullail ketika teladan dan kekasih mereka, Rasulullah Shallallahu Alaihis wa Sallam, melakukan qiyamul lail hingga kedua kaki beliau bengkak. (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim). Mereka bersemangat meneladani Rasulullah Shallallahu Alaihis wa Sallam, sebab ingin dikumpulkan bersama beliau.
Ulama terdahulu amat memperhatikan dengan ibadah qiyamullail. Diriwayatkan dari Muawiyah bin Qurah bahwa ayahnya berkata kepada anak-anaknya usai shalat Isya’, “Anak-anakku, tidurlah sekarang. Semoga Allah menganugerahkan kebaikan kepada kalian malam ini.’ Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu membagi malam dengan unik. Ia qiyamullail pada sepertiga malam, lalu istrinya melakukan qiyamullail pada sepertiga lainnya, dan terakhir anaknya mengerjakan qiyamullail pada sepertiga lainnya. Jika ada salah satu dari ketiganya tidur, maka ada yang mengerjakan qiyamullail. Sepertinya, Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu mengamalkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihis wa Sallam yang berbunyi,
“Semoga Allah merahmati suami yang bangun pada malam hari. Lalu shalat malam. Setelah itu, ia membangunkan istrinya. Jika istrinya menolak bangun, ia memercikan air ke wajah istrinya. Semoga Allah merahmati istrinya yang bangun malam hari, lalu shalat malam. Setelah itu, ia membangunkan suaminya. Jika suaminya menolak bangun, ia memercikan air ke wajah suaminya.”(Diriwayatkan Abu Dawud)
Al-Hasan al-Bashri mengategorikan orang yang tidak qiyamullail sebagai orang miskin, sebab ia gagal mendapatkan banyak sekali kebaikan. Malam hari saat terindah bermunajat (berdoa) kepada Allah swt, bukti kemenangan seseorang atas jiwanya, dan pesta kemenangan diri atas daya tarik “tanah”. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “jika Anda tidak dapat qiyamullail dan berpuasa pada siang hari, ketahuilah Anda orang miskin, terbelenggu oleh dosa dan kesalahan.”
Al-Hasan Al-Bashri menganggap dosa dan kesalahan sebagai belenggu yang membuat seseorang gagal mengerjakan kebaikan. Harus ada taubat nashuhah dan istighfar serius, agar hati tergerak mengerjakan qiyamullail. Seseorang datang kepada Al-Hasan Al-Bashri, lalu bertanya kepadanya, “Hai Abu Said, qiyamullail membuatku kelelahan dan aku tidak sanggup lagi mengerjakannya.” Al-Hasan Al-Bashri berkata kepada orang itu, “Saudaraku, beristigfarlah kepada Allah dan bertaubatlah kepadanya-Nya, karena sikapmu seperti itu pertanda jelek.” Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Jika seseorang mengerjakan dosa, ia tidak dapat mengerjakan qiyamullail, gara-gara dosanya itu.’ Barangsiapa ingin menjadi “biarawan di malam hari”, maka tidak ada jalan lain baginya, kecuali menjauhkan diri dari dosa-dosa dan menang atas jiwanya.