Mensucikan Hati

  • Sumo

Syaqiq al Balakhi meriwayatkan bahwa tatkala Ibrahim bin Adham Ra sedang berjalan-jalan di negeri al Bashrah, dia ditanya oleh penduduk negeri itu. Mereka bertanya, “Ya Ibrahim, mengapa do’a–do’a kita tidak dindahkan lagi oleh Allah, padahal bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku …”. (QS. Al Baqarah, 2:186)

Ibrahim menjawab, “Wahai penduduk kota al Bashrah, itu disebabkan karena kalbu kalian telah mati. Jika demikian bagaimana Allah akan menyambut do’a kalian?”

Siapa yang lebih mencitai sesuatu ketimbang Allah maka hatinya sakit, sebagaimana setiap perut yang lebih menyukai tanah ketimbang roti dan air atau tidak berselera kepada roti dan air maka perut tersebut berarti sakit. Itulah tanda-tanda penyakit dan dengan hal ini diketahui bahwa semua hati menderita sakit kecuali yang dikehendaki Allah SWT.

Adapun tanda-tanda kepulihan dan kesehatan hati adalah  memberikan terapi yang sesuai dengan penyakit yang ada. Jika penyakit yang diterapi adalah penyakit kebakhilan, misalnya, maka  caranya dengan memberikan dan menginfakkan harta ke jalan kebajikan. Tetapi bisa jadi dalam memberikan harta tersebut bisa sampai batas mubazir yang akhirnya juga akan menjadi penyakit. Ini seperti orang yang mengobati kedinginan dengan panas sampai berlebihan yang akhirnya menjadi penyakit juga. Itulah pentingnya memperhatikan keseimbangan dalam segala hal; antara kemubaziran dan kepelitan, antara ekstrim kanan dan ekstrim kiri, sehingga menjadi pertengahan. Untuk mengetahui pertengahan dan melaksanakan keseimbangan hidup maka seseorang harus meningkatkan pengetahuannya tentang ilmu-ilmu keislaman, hukum-hukum Allah agar tidak terjebak pada ekstrimitas

Di antara sarana mensucikan hati secara umum adalah sebagai berikut:

Pertama;  Melaksanakan shalat secara benar dan khusyu’. Shalat adalah sarana terbesar dalam pensucian hati. Ia merupakan sarana sekaligus tujuan, sebab ia adalah bentuk penghambaan total seorang hamba kepada Kholiqnya. Ketika seseorang sedang  berdiri, ruku’, sujud, duduk seakan ia melakukan dialog interaktif kepada Allah, mengadu akan segala kelemahan dan kekerdilannya di hadapan Dzat yang Maha Agung, betapa manusia itu kecil, sangat butuh akan bimbingan Allah SWT.

Firman Allah: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya” (QS. Al Mu’munin: 1-2)

Fungsi shalat akan efektif bila dilaksanakan dengan benar dan khusyu’, serta berusaha untuk segera melaksanakannya di awal waktu, yakni ketika mendengar adzan.

Kedua; Zakat dan Infaq. Berbagai zakat dan infaq fisabilillah juga adalah sarana pensucian hati, sebab tabi’at jiwa itu kikir, yang notabene buruk dan harus dibersihkan dari jiwa.  Firman Allah: “Dan jiwa (manusia) itu menurut tabiatnya kikir” (QS. An Nisa: 128)

Namun dalam menukannya tentu harus memperhatikan adab-adab yang telah digariskan oleh Allah SWT, yang di antaranya, Ikhlas karena Allah, bersegera menunaikan kewajiban zakat atau mengeluarkan infaq, tidak mengungkit-ungkit harta yang telah dikerluarkannya, mengharap ampunan dan keberkahan atas rizkinya.

Sabda Rasulullah: “Berbahagialah hamba yang berinfak dari harta yang diperolehnya bukan dari maksiat” (HR. Ibnu ‘Addi dan al Bazzar).

Ketiga: Puasa. Urgensi puasa dalam pensucian hati sangat penting bagi seseorang, sebab di antara syahwat besar yang bisa membuat manusia menyimpang adalah syahwat perut dan kemaluan. Sedangkan puasa merupakan pembiasaan terhadap jiwa untuk mengendalikan  kedua syahwat tersebut. Jika kesabaran termasuk tanda hati yang bersih maka puasa merupakan pembiasaan hati untuk bersabar dan menahan syahwat.

Puasa juga sebagai sarana pengendalian diri dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah, misal, memprofokasi, memfitnah, dusta (manipulasi), memakan harta secara batil (korupsi), dan membuat makar. Sabda Rasulullah SAW: “Puasa itu tidak lain adalah perisai bagi orang mukmin” (HR. Bukhori dan Muslim).

Keempat; Haji dan Umroh. Haji dan umroh adalah pembiasaan jiwa untuk melakukan sejumlah nilai, seperti istislam, taslim, mengerahkan jerih payah jiwa dan harta di ajlan Allah, kerjasama dalam kebaikan, melaksanakan syi’ar-syi’ar ubudiyah kepada Allah, munculnya rasa ukhuwah islamiyah. Semua itu memiliki pengaruh besar dalam rangka mensucikan hati.

Haji yang dilaksanakan dengan penuh ikhlas mengharap ridho Allah, tiada balasannya kecuali memasuki surga Allah. Sabda Rasul SAW: “Haji yang mabrur tidak ada balasan kecuali surga.” Dikatakan kepadanya, “Wahai Rasulullah, apa kemabruran haji itu?” Nabi SAW menjawab: “Perkataan yang baik dan memberikan makanan” (HR. Ahmad).

Kelima; Tilawah Al Qur’an. Membaca Al Qur’an dapat menghaluskan hati, menerangi hati, menenangkan jiwa, mengenalkan manusia kepada tuntunan-tuntunan Allah yang harus dilaksanakan.

Al Qur’an akan berfungsi sebagai pelita hati secara baik jika dibarengi dengan menghadirkan hati untuk memahami maknanya, mentadaburi artinya dan merenungi kandungannya. Firman Allah: “ ( Al Qur’an ) ini adalah penerangan  bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa” (QS. Ali Imron: 138).

Keenam; Dzikrullah. Imam Al Ghozali berkata: Katahuilah bahwa orang-orang yang memandang dengan cahaya bashirah (batin), akan mengetahui bahwa tidak ada keselamatan kecuali dalam pertemuan dengan Allah, dan tidak ada jalan untuk bertemu kepada Allah kecuali dengan kematian hamba dalam keadaan mencintai Allah dan mengenal-Nya. Sesungguhnya cinta dan keakraban tidak akan tercapai kecuali dengan selalu mengingat Allah dan mencintai-Nya.

Biasanya nafsu itu cepat jemu, bosan, pesimis, malas, dan lain-lain makanya dalam berdzikir-pun  harus melakukan kreatifitas dalam arti berganti-ganti suasananya; seperti dalam keadaan berdiri, berjalan, duduk, dan tiduran baik di waktu pagi maupun malam.

Firman Allah: “Dan Sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang, dan pada sebagian malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari” (QS. Al Insan: 25-26)

Ketujuh; Tafakkur. Allah SWT berfriman: “Dan apakah mareka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah?” (QS. Al ‘Arof: 185).

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau  duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang pencitaan langit dan bumi” (QS. Ali Imron: 190-191)

Dua ayat di atas mengisyaratkan bahwa kesempurnaan akal tidak akan tercapai kecuali dengan bertemunya dzikir dan fikir manusia. Apabila kita telah mengatahui bahwa kesempurnaan hati merupakan kesempurnaan manusia maka kita mengetahui pula bahwa dzikir dan fikir merupakan dua hal yang berpengaruh dalam pensucian jiwa.

Tafakkur adalah kesediaan akal fikiran untuk senantiasa memikirkan akan kebesaran Allah dan ciptaan-Nya, bagaimana langit ditinggikan, bumi dihamparkan, kejadian manusia dari setetes air yang hina, kemudian menjadi mulia dan berbagai keajaiban lainnya. Dan hal itu menunjukkan betapa manusia tidak ada apa-apanya, sangat lemah, dan karenanya tidak pantas untuk berbuat sombong dan dzalim di muka bumi.

Ketahuilah bahwa apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang hamba maka Dia memperlihatkan kepadanya berbagai aib dirinya. Barangsiapa yang penglihatannya sangat tajam maka ia akan mengetahui berbagai iabnya, dan apabila telah mengetahui berbagai cela dirinya maka ia akan dapat melakukan terapinya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahu aib diri sendiri. Barangsiapa yang ingin mengetahui aib dirinya maka ada empat jalan:

Pertama: Hendaklah ia duduk di hadapan seorang ahli agama yang mengetahui berbagai panyakit, dan jeli terhadap berbagai cacat yang tersembunyi, kemudian dia memeberitahukan berbagai aib dirinya dan jalan terapinya. Tetapi keberadaan orang tersebut di zaman sekarang sungguh sulit ditemukan.

Kedua; Hendaklah ia meminta kepada seorang kawan yang jujur, beragama dan tajam penglihatan menjadi pengawas dirinya untuk memperhatikan berbagai keadaan dan perbuatannya, kemudian menunjukkan kepadanya berbagai akhlak tercela, perbuatan yang tidak baik atau keji.

Umar ra berkata, “Semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan aib diriku”. Umar ra biasa bertanya kepada Salman tentang aib dirinya. Ketika Salman datang kepadanya, Umar bertanya: “Apa yang telah kamu dengar tentang diriku yang tidak kamu sukai?” Salman tidak bersedia mengatakannya tetapi setelah didesak terus oleh Umar akhirnya ia mengatakan, “Aku mendengar bahwa engkau mengumpulkan dua macam kuah dalam satu hidangan, dan engkau punya dua jubah; satu jubah untuk siang hari dan satu jubah lagi untuk malam hari?” Umar bertanya: “Apakah ada lagi yang kamu dengan selain itu?”. Salman menjawab, “Tidak.” Umar ra berkata, “Adapun dua hal itu maka akan saya tinggalkan.”

Umar ra juga bertanya kepada Hudzaifah seraya berkata, “Kamu adalah pemegang rahasia Rasulullah SAW tentang orang-orang munafiq, apakah kamu melihat suatu indikasi kemunafikan dalam diriku?”.

Ketiga; Hendaklah ia memanfaatkan lisan para musuhnya untuk mengetahui aib dirinya, karena kebencian seseorang akan berani mengungkapkan segala keburukan. Mungkin seseorang bisa lebih banyak mengambil manfaat dari musuh bebuyutan yang menyebutkan aib-aib dirinya ketimbang manfaat dari kawan yang kadang berbasa-basi dengan berbagai pujian tetapi menyembunyikan aib dirinya.

Keempat; Hendaklah ia bergaul dengan masyarakat, lalu setiap melihat hal-hal yang tercela di tengah kehidupan masyarakat, ia berusaha untuk menghindarinya dan melakukan perbuatan yang baik, dan selanjutnya ia berusaha memperbaiki kerusakan dan penyimpangan yang terjadi di lingkungan masyarakat dalam bentuk amal ma’ruf nahi munkar. Dengan cara itu, hatinya akan selalu waspada terhadap berbagai bisikan dan rayuan setan akan selalu menjerumuskannya ke jalan kesesatan.

Pangkal kebaikan dan keburukan bermula dari kalbu (hati). Jika kalbu itu baik, baiklah sikap dan perilakunya, dan jika rusak, maka rusaklah lingkungannya. Sungguh orang-orang yang giat bersusah payah mensucikan hatinya, pastilah Allah akan menuntunnya ke jalan yang diridhoi-Nya, sebaliknya orang yang cuek akan kebersihan hatinya, hati-hatilah sebab kesengsaraan hidup nan abadi telah menantinya. “Sungguh beruntung orang yang selalu mensucikan jiwa, dan merugilah orang yang mengotorinya” (QS.Asy Syams: 9-10). Wallahu ‘alam. (AHH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.