Musim haji telah tiba kembali. Dan pelaksanaan ibadah agung yang merupakan rukun Islam kelima itu akan segera berlangsung. Para jamaahpun secara bergelombang sudah pada berangkat untuk menyambut dan memenuhi seruan Allah. Tentu saja kita bergembira dan bersyukur atas besarnya semangat dan luar biasanya antusiasme masyarakat muslim dalam menunaikan perintah agama. Sekaligus tak lupa kita berdoa dan berharap semoga seluruh jamaah diberi kemudahan dan kelancaran, serta memperoleh haji mabrur.
Tentu saja banyak sekali hikmah, ibrah dan pelajaran yang bisa kita petik dari haji dan umrah ini. Namun tulisan ini hanya akan menyebutkan tiga saja, yang sangat fundamental dan urgen sekali bagi upaya peningkatan kualitas keislaman dan keistiqamahan kita.
Pertama, ruhut-talbiyah (semangat menyambut seruan Allah dan memenuhi panggilan-Nya). Jamaah haji dan juga umrah, sejak pertama kali berniat ihram, disunnahkan memperbanyak pengucapan talbiyah, yang berupa ucapan: Labbaikallahumma labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik…dan seterusnya, yang berarti: aku sambut seruan-Mu ya Allah, aku sambut seruan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tiada ilah (tuhan yang berhak diibadahi dengan benar) selain Engkau, aku penuhi panggilan-Mu… Maka esensi dari bacaan talbiyah di dalam haji dan umrah adalah semangat dan kesiapan menyambut seruan Allah, yang juga biasa dibahasakan dengan kata sami’na wa atha’na, yang bermakna: kami dengar dan kami siap taat.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Sesungguhnya jawaban/sikap orang-orang mukmin, bila diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menegakkan hukum di antara mereka, ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh (taat) dan mereka itulah orang-orang yang beruntung/berbahagia” (QS. An-Nuur [24]: 51). Nah, betapa indah dan luar biasa seandainya semangat kita dan seluruh kaum muslimin dalam menyambut setiap seruan dan perintah Allah adalah seperti yang kita miliki dalam menyambut seruan untuk berhaji dan berumrah!
Kedua, ruhul-‘ibadah lil-‘ibadah (semangat ibadah untuk ibadah, atau baca: totalitas ibadah). Jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah asasi yang lainnya, maka akan didapati bahwa, haji dan umrah dengan seluruh rangkaian manasiknya adalah merupakan praktik ibadah ritual yang paling jauh dari penalaran logika dan akal. Namun toh setiap jamaah tetap saja bersemangat dalam menjalankannya. Ini hikmah dan pelajaran yang sangat penting yang mengingatkan kita semua bahwa, yang harus menjadi dasar dan motivasi utama dalam menjalankan setiap ibadah, khususnya yang bersifat ritual, adalah iman dan bukan rasio atau logika. Kita melakukan itu semua atas dasar iman dan untuk tujuan ibadah kepada Allah. Karena kita adalah hamba-hamba Allah yang harus membuktikan penghambaan diri kita kepada-Nya. Dan karena Allah menciptakan kita hanya untuk beribadah kepada-Nya saja. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): 56. Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan hanya supaya mereka beribadah/mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 56). Jadi itulah syi’ar kita: Al-‘Ibadah lil-‘ibadah! Beribadah untuk tujuan ibadah itu sendiri!
Ketiga, ruhut-tadhiyah (semangat atau jiwa pengorbanan). Haji dan umrah juga merupakan ibadah yang menuntut beragam pengorbanan yang tidak kecil, seperti pengorbanan harta, tenaga, waktu, mental dan masih banyak lagi yang lainnya, bahkan terkadang harus siap berkorban nyawa segala. Dimana tanpa adanya kesiapan berkorban dengan semua pengorbanan itu, seseorang tidak akan bisa sampai ke Tanah Suci untuk memenuhi panggilan ilahi. Mungkin karena itu, Rasululah shallalahu ‘alaihi wasallam menyebut haji dan umrah sebagai jihad tanpa pertempuran , khususnya bagi kaum perempuan, bahkan Beliau shallalahu ‘alaihi wasallam sampai menyebutnya sebagai bentuk jihad yang paling utama (lihat HR. Ahmad dan Ibnu Majah, juga HR. Al-Bukhari, keduanya dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha). (amj)