Orang-Orang Yang Curang

  • Sumo

20160929_085609-1Allah SWT berfirman: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan, apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri meng­hadap Tuhan semesta alam?” ( QS Al Muthaffifiin: 1-6).  Surat ini dimulai dengan perang yang dimak­lumatkan Allah terhadap orang-orang yang curang, “Kecelakan besarlah bagi orang-orang yang curang. kata ‘Al-wail” berarti kebinasaan, kecelakaan yang besar. Terlepas apakah yang dimaksud ayat itu sebagai penetapan bahwa ini merupakan keputusan ataukah doa, maka dalam kedua keadaannya ini substansinya adalah satu, karena doa dari Allah juga berarti ketetapan.

Kemudian dua ayat berikutnya menjelaskan makna “muthaffifiin “itu. Maka, mereka adalah, “Orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan, apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. “

Mereka menuntut dipenuhinya takaran dan tim­bangan barang-barang yang diperjualbelikan itu bila mereka membeli. Namun, mereka menguranginya bila menjual untuk orang lain.

Kemudian tiga ayat berikutnya menunjukkan keheranan terhadap sikap orang-orang curang itu. Mereka berbuat semaunya saja seakan-akan disana nanti tidak ada perhitungan dan pertanggungjawaban terhadap apa saja yang mereka kerjakan selama hidup di dunia. Juga seakan-akan di sana tidak ada peradilan di hadapan Tuhan, pada hari yang besar, untuk mendapatkan perhitungan dan balasan di depan Tuhan semesta alam,

‘Tidakkah orang-orang itu menyangka bahwa sesung­guhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam ?” (Al Muthaffifun: 4-6)

Memaparkan keadaan orang-orang yang curang dengan metode seperti ini dalam surat Makkiyah perlu mendapatkan perhatian, karena surat Mak­kiyah pada umumnya mengarahkan perhatiannya kepada pokok-pokok akidah secara total seperti penetapan tentang keesaan Allah, kehendak-Nya yang mutlak, dan pemeliharaan-Nya terhadap ma­nusia dan alam semesta. Juga seperti hakikat wahyu dan nubuwwah, hakikat akhirat, hisab, dan pem­balasan, serta perhatian terhadap pembinaan akhlak dan mental secara umum, dengan mengaitkannya kepada akidah. Sedangkan membicarakan masalah ini secara spesifik dari masalah-masalah akhlak seperti masa­lah kecurangan dalam menakar dan menimbang ­dan muamalah secara umum, biasanya dibicarakan belakangan dalam surat Madaniyah, yakni ketika membicarakan tatanan kehidupan masyarakat di bawah Daulah Islamiah, sesuai dengan manhaj lslami yang meliputi seluruh aspek kehidupan.

Karena itu, pembicaraan masalah ini secara spesifik dalam surat Makkiyah layak mendapat perhatian, karena ia mengandung beberapa petun­juk yang bermacam-macam yang tersembunyi dibalik ayat-ayat yang pendek ini. Ia pertama-tama menunjukkan bahwa Islam pada masa periode Mekah biasa menghadapi keadaan riskan yang berupa kecurangan yang dilakukan oleh para pembesar yang pada waktu yang lama sebagai para pedagang besar, dan suka melakukan penim­bunan. Di sana, terdapat harta kekayaan yang banyak sekali di tangan para pembesar itu yang mereka perdagangkan melalui kafilah-kafilah yang biasa bepergian pada musim dingin dan musim panas ke Yaman dan ke Syam. Mereka juga membuka pasar-­pasar musiman seperti Pasar Ukazh pada musim haji. Di sana mereka melakukan perniagaan dan mengadakan lomba baca puisi.

Nash-nash Al Qur’ani menunjukkan bahwa orang-orang curang yang diancam oleh Allah dengan kecelakaan besar, dan dinyatakan perang terhadap­nya itu adalah kelas elite yang memiliki kekuasaan, yang dapat saja memaksa manusia untuk menuruti kehendak mereka. Maka, merekalah yang menakar untuk orang lain, bukan menerima takaran dari orang lain. Seakan-akan mereka mempunyai ke­kuasaan terhadap manusia dengan suatu sebab yang menjadikan mereka dapat meminta orang lain me­menuhi takaran dan timbangan dengan sepenuhnya. Jadi, maksudnya bukan mereka meminta dipenuhi haknya. Sebab, kalau meminta dipenuhi haknya, maka hal ini tidak perlu dinyatakan perang ter­hadapnya.

Pengertian yang dapat ditangkap adalah bahwa dengan cara kekerasan, mereka dapat memperoleh sesuatu melebihi haknya. Mereka juga dapat me­nuntut dipenuhinya takaran dan timbangan secara paksa menurut kehendak mereka. Kalau mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mempunyai kekuasaan untuk mengurangi hak-hak orang lain itu. Sedangkan orang lain itu tidak ber­kuasa menuntut mereka untuk memenuhi dan menyempurnakannya. Hal ini berlaku bagi orang yang mempunyai kedudukan sosial seperti jabatan dan kedudukan yang tinggi dalam kabilah ataupun orang yang memiliki status ekonomi yang tinggi karena ke­butuhan masyarakat berada di tangannya. Mereka biasa menimbun barang-barang dagangan. Sehingga, apabila masyarakat sudah terdesak, maka mereka terpaksa akan menerima kelalimannya itu, sebagai­mana yang terjadi hingga sekarang di pasar-pasar. Maka, di sana terdapat kondisi kecurangan yang memprihatinkan, yang patut mendapatkan perhatian sejak dini.

Perhatian dini terhadap lingkungan Mekah ini pun menunjukkan karakter agama Islam, dan kelengkapan manhaj-nya terhadap kehidupan nyata dan persoalan-persoalan praktisnya. Juga menunjukkan ditegakkannya agama ini di atas prinsip akhlaq yang dalam dan mendasar, di dalam karakter manhaj Ilahi yang lurus. Maka, Islam tidak menyukai keadaan memprihatinkan yang berupa kezaliman dan penyimpangan moral dalam pergaulan. Sesudah dikendalikannya kehidupan masyarakat, ia tidak lepas untuk mengatur sesuai dengan syariatnya, dengan kekuatan undang-undang dan kekuasa­an negara. Karena itu, dikumandangkannyalah seruan perang dan doa kebinasaan terhadap orang-orang yang curang, padahal mereka pada waktu itu adalah pemuka-pemuka kota Mekah. Mereka adalah pemegang dan pengendali kekuasaan yang bukan cuma berkuasa terhadap spiritualitas dan perasaan masyarakat lewat jalur akidah keberhalaan raja, tetapi juga menguasai perekonomian dan urus­an kehidupan mereka.

Islam bersuara lantang menghadapi manipulasi dan kecurangan yang terjadi terhadap golongan mayoritas yang diperas oleh para pembesar yang memutar roda perekonomian mereka, yakni para pembesar yang suka melakukan riba dan penim­bunan, sekaligus sebagai penguasa terhadap rakyat dengan agama khayalannya. Maka, Islam dengan teriakannya yang lantang dan dengan manhaj sa­nawinya, membangkitkan kesadaran masyarakat yang tertindas. Islam tidak pernah berdiam diri, meski ia terkepung di Mekah sekalipun oleh ke­kuasaan para diktator yang menguasai masyarakat dengan harta, kedudukan, dan agama berhala mereka! Dengan demikian, kita mengetahui salah satu sebab sebenarnya yang menjadikan para pembesar Quraisy bersikap demikian keras terhadap dakwah Islam. Karena mereka mengetahui, tanpa disangsi­kan lagi, bahwa ajaran baru yang dibawa Nabi Muhammad saw kepada mereka bukan semata­-mata akidah yang tersimpan di dalam hati, atau akidah yang hanya menuntut mereka mengucapkan kalimat syahadat bahwa “Tidak ada Tuhan yang ber­hak diibadahi kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah”, serta menegakkan shalat dan melakukan peribadatan kepada Allah saja, bukan kepada berhala-berhala dan patung-patung. Tidak, tidak demikian. Sesungguhnya, mereka mengerti bahwa akidah ini merupakan manhaj yang akan menghancurkan dan membongkar semua fondasi jahiliah yang men­jadi tempat bertumpunya segenap peraturan, kemas­lahatan, dan kepentingannya. Mereka juga mengetahui bahwa tabiat manhaj ini tidak menerima pen­dobelan dan tidak dilumuri dengan unsur bumi yang tidak bersumber dari unsur langit. Ia justru meng­hancurkan seluruh unsur bumi yang rendah, yang menjadi landasan jahiliah.
 

‘Tidakkah orang-orang itu menyangka bahwa sesung­guhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (Al Muthaffifiin: 4-6)

Sungguh mengherankan urusan mereka, hanya karena persangkaan terhadap hari yang besar itu, yakni hari ketika manusia berdiri sendiri meng­hadap Tuhan semesta alam, tanpa pelindung lagi selain-Nya. Juga tanpa alternatif lain bagi mereka kecuali harus menghadapi keputusan terhadap apa yang telah mereka lakukan, sedangkan mereka tidak lagi mempunyai pelindung dan penolong.

Semata-mata persangkaan bahwa mereka akan dibangkitkan untuk menghadapi hari yang besar itu, sudah cukup untuk menahan mereka dari melaku­kan kecurangan dan memakan (mengambil) harta orang lain dengan cara yang batil. Juga untuk meng­halangi mereka dari melayani sang penguasa untuk menganiaya orang lain dan mengurangi haknya dalam bermuamalah. Akan tetapi, mereka tetap saja melakukan kecurangan, seakan-akan mereka tidak menyangka bahwa mereka akan dibangkitkan. Ini adalah suatu hal yang mengherankan, persoalan yang aneh!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.