Siapakah sosok yang pantas kita jadikan sebagai teladan terbaik? Dialah Rasulullah saw. Ini bukan kata-kata Si A atau Si B, tetapi kata-kata Allah Yang Maha Agung. “Sungguh telah terdapat pada diri Rasulullah itu teladan yang baik buat kalian (QS. Al Ahzaab 21).”
Rasulullah adalah teladan terbaik karena tidak ada yang bisa menandingi keagungan akhlaqnya. Allah sendirilah yang telah memuji keagungan akhlaq Rasulullah. “Sungguh engkau (wahai Muhammad ) memiliki akhlak yang agung (QS Al-Qalam: 4).”
Terlalu banyak yang harus diucapkan dan dituliskan untuk menggambarkan keagungan akhlaq Rasulullah. Cukuplah kiranya akhlaq Rasulullah itu diringkas dalam pengakuan Aisyah ra: “Akhlaq Rasulullah adalah Al-Qur’an (HR Abu Dawud dan Muslim).” Ya, Rasulullah adalah Al-Qur’an yang Berjalan. Beliau diutus membawa Al-Qur’an untuk dibacakan dan diajarkan kepada umatnya, sekaligus dicontohkan dalam realitas kepribadian sehari-hari. Inilah hikmah mengapa Allah mengutus rasul agung-Nya dari kalangan manusia, bukan malaikat. Tidak lain agar sosok rasul itu bisa dicontoh.
Karena itu tidak selayaknya kita hanya terkagum-kagum pada keagungan akhlaq Rasulullah tanpa berusaha untuk mencontohnya. Mari berlomba-lomba mencontoh akhlaq beliau, karena beliau sendiri bersabda,”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, Ahmad, dan Al-Hakim).”
Sekarang mari kita lihat, bagaimana Rasulullah yang nabi dan sekaligus pemimpin negeri, ternyata adalah seorang yang amat sederhana dan bersahaja, padahal beliau bisa saja hidup mewah jika beliau mau. Rumah beliau, terletak disamping masjid, sangat kecil. Atapnya rendah terbuat dari rumbai kurma. Di dalam rumah beliau nyaris tak ada perabot. Yang tampak hanya tempat minum dari kayu keras yang dipatri dengan besi dan sebuah baju besi yang biasa beliau pakai ketika berperang. Baju besi inipun konon menjelang Rasulullah wafat digadaikan kepada seorang Yahudi. Tempat tidur beliau selembar tikar dari anyaman pelepah kurma.
Dikisahkan pula bahwa ketika beliau mengimami sholat berjamaah, para sahabat mendapati seolah-olah setiap beliau berpindah gerakan terasa susah sekali dan terdengar bunyi gemeretak. Seusai sholat, salah seorang sahabat, Umar bin Khatthab bertanya, “Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah baginda menanggung penderitaan yang amat berat. Sedang sakitkah engkau ya Rasulullah? “Tidak ya Umar. Alhamdulillah aku sehat dan segar.” Jawab Rasulullah. “Ya Rasulullah, mengapa setiap kali Baginda menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi-sendi tubuh Baginda saling bergesekan? Kami yakin Baginda sedang sakit”. Desak Umar penuh cemas.
Akhirnya, Rasulullahpun mengangkat jubahnya. Para sahabatpun terkejut ketika mendapati perut Rasulullah yang kempis tengah dililit oleh sehelai kain yang berisi batu kerikil sebagai penahan rasa lapar. Ternyata batu kerikil inilah yang menimbulkan bunyi gemeretak. Para sahabatpun berkata, “Ya Rasulullah, apakah bila Baginda menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kemudian kami tidak akan mendapatkannya untuk Baginda?”. Rasulullah pun menjawab dengan lembut, “Tidak para sahabatku. Aku tahu, apapun akan kalian korbankan demi Rasulmu. Tetapi, apa jawabanku nanti dihadapan Allah, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban bagi umatnya? Biarlah rasa lapar ini sebagai hadiah dari Allah buatku, agar kelak umatku tak ada yang kelaparan di dunia ini, lebih-lebih di akhirat nanti.
Dalam kisah yang lain diceritakan bahwa seorang sahabat terlambat datang ke majelis Rasulullah. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasulullah memanggilnya. Rasulullah memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasulullah pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi malah mencium sorban Rasulullah tersebut. Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk kita?
Dan meski kedudukan beliau amat tinggi dan terpandang, beliau tidak mau disanjung dan dielu-elukan. Beliau tidak menginginkan orang yang sedang duduk untuk berdiri menyambutnya, seperti yang dilakukan para raja. Anas bin Malik ra berkata, ”Para sahabat yang mau berdiri menyambut kehadiran Rasulullah, tidak jadi berdiri, ketika tahu bahwa Rasulullah tidak mau dihormati seperti itu.” (HR Ahmad).
Beliau juga terbiasa menjenguk orang sakit, duduk-duduk bersama orang-orang miskin, memenuhi undangan hamba sahaya, duduk di tengah para sahabat, sama seperti keadaan mereka. Bahkan Rasulullah saw pernah tanpa rasa canggung sedikitpun makan di sebelah seorang tua yang dipenuhi kudis, miskin dan kotor.
Demikian pula, Rasulullah adalah sosok yang sangat sederhana, baik hati dan menyenangkan di tengah-tengah keluarganya. Aisyah ra berkata, “Beliau biasa menambal sepatunya, menjahit bajunya, melakukan pekerjaan dengan tangannya sendiri, seperti dilakukan salah seorang diantara kalian di dalam rumahnya. Beliau sama dengan orang lain, mencuci pakaiannya, memerah air susu dombanya, dan membereskan urusannya sendiri.” Tidak hanya itu, beliau juga biasa bermain-main dengan istri, anak, dan cucu-cucunya sebagai perwujudan rasa kasih dan sayangnya kepada mereka.
Itulah sepenggal gambaran mengenai keagungan akhlaq Rasulullah saw, yang disenandungkan oleh Imam Muhammad bin Sa’id al Bushiri dalam bait-bait puisinya:
Dialah yang begitu sempurna rupa dan akhlaqnya.
Lalu Allah Pencipta manusia berkenan memilihnya sebagai kekasih Nya.
Beliau terlepas dari semua yang menyamai dalam keindahannya.
Ibarat mutiara indah yang tidak terbagi berada pada dirinya.
Kemudian Muhammad Iqbal, seorang pujangga dari Pakistan, dalam salah satu karyanya berkata: “Barangsiapa yang mengaku umat Nabi Muhammad, hendaklah berakhlak seperti beliau.”
Sekarang mari kita berkaca pada diri kita masing-masing? Seperti apakah kita perilaku dan akhlaq kita sehari-hari, sementara kita mengaku sebagai umat Nabi Muhammad saw? [Abdur Rosyid]