Rasanya baru kemarin lusa kita berpisah dengan Ramadhan tahun lalu. Tiba-tiba sudah akan datang bulan Ramadhan lagi. Ramadhan adalah bulan istimewa bahkan paling istimewa dan paling utama, karena Allah Ta’ala dan Rasulullah saw telah mengkhususkannya dengan beragam keistimewaan dan bermacam-macam keutamaan, serta kelebihan yang tidak terdapat di bulan-bulan yang lain.
Dan karenanya, Ramadhan merupakan salah satu momentum paling istimewa dan paling utama, serta paling kondusif bagi kaum muslimin, secara individual maupun komunal, untuk melakukan upaya-upaya penempaan, perbaikan dan perubahan diri serta kehidupan dalam rangka mencapai tingkat keimanan, ketaqwaan dan keshalehan yang lebih tinggi, dan untuk menggapai derajat kepribadian mukmin-mukmin sejati yang diidam-idamkan.
Maka beruntung dan berbahagialah orang-orang yang mampu dan mau mengoptimalkan pemanfaatan momentum istimewa ini, sehingga pasca Ramadhan iapun seperti terlahir kembali – dengan izin dan taufiq Allah – menjadi sosok pribadi mukmin baru yang serba istimewa pula. Dan sebaliknya, merugilah – di dunia dan di akhirat – orang-orang yang mengabaikan dan menyia-nyiakannya, sehingga Ramadhan demi Ramadhan lewat dan berlalu begitu saja, tanpa meninggalkan perubahan apapun dalam diri pribadi dan kehidupannya.
Ramadhan Bulan Bercermin Diri
Ramadhan merupakan salah satu sarana dan momentum istimewa bagi setiap mukmin atau mukminah untuk bermuhasabah dan bercermin, yang dengannya ia bisa mengetahui tingkat keimanannya, kualitas ketaqwaannya kepada Allah Ta’ala, dan kadar kerinduannya pada kehidupan ukhrawi yang bahagia. Dan melalui cermin Ramadhan, seseorang bisa menguji diri dan hatinya, untuk mengetahui sudah berada di tingkat apakah ia? Apakah tingkat iman dan taqwanya masih tetap berada di tingkat dasar: dzaalimun linafsih (penganiaya diri sendiri), atau sudah naik ke tingkat menengah: muqtashid (pas-pasan, sedang-sedang saja, dan dalam batas minimal aman dan selamat), atau alhamdulillah sudah sampai di tingkat tinggi: saabiqun bil-khairaat (pelopor dan terdepan dalam berbagai kebaikan)? Allah Ta’ala berfirman: ”Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS. Al-Faathir: 32).
Bercermin diri selama Ramadhan – Pertama, bagaimana kita memanfaatkan momentum istimewa ini? Karena setiap waktu dalam bulan Ramadhan, setiap detiknya, setiap menitnya, setiap jamnya, setiap harinya, setiap malamnya, setiap siangnya, setiap petangnya, setiap paginya dan seluruhnya, adalah momentum istimewa yang penuh barokah, penuh rahmah, penuh maghfirah, penuh peluang pembebasan dari api neraka, pengabulan doa, penerimaan tobat, pelipatgandaan amal ibadah dan lain-lain, khususnya pada sepuluh malam dan hari terakhir, dan puncaknya pada malam lailatul qadar. Nah, kualitas keimanan dan kadar ketaqwaan seseorang sangat ditentukan oleh sikap dan upayanya untuk menggapai kemuliaan selama Ramadhan.
Kedua, selama Ramadhan kita bercermin untuk melihat hakikat jiwa apa adanya, tanpa campur tangan syetan penggoda dan pengganggu utama, yang (berdasarkan hadits muttafaq ‘alaih) dirantai dan dibelenggu selama Ramadhan saja. Artinya, ketika selama Ramadhan seseorang masih punya niat buruk, kecenderungan buruk, dan amal buruk, maka ia harus sadar bahwa, keburukan itu murni berasal dari potensi fujuur (QS. Asy-Syams [91]: 7-10) dalam jiwanya, dan dari nafs ammaarah bis-suu’-nya (QS. Yusuf [12]: 53), dan bukan dari godaan syetan yang sedang dirantai dan dibelenggu!
Bercermin diri pasca Ramadhan – Bentuk kegembiraan apa yang kita rasakan saat menyambut Idul Fitri? Apakah karena merasa telah terlepas dan terbebas dari bulan penuh beban yang serba mengekang, sehingga Idul Fitri seakan-akan justru menjadi ajang kangen-kangenan dengan syetan – na’uudzu billah – yang juga baru saja terlepas dan terbebas dari belenggu dan rantai? Ataukah karena merasa telah bebas makan dan minum kembali semaunya dan sesukanya tanpa dijadwal dan dibatasi lagi seperti saat Ramadhan? Ataukah gembira dan puas disertai rasa penuh syukur karena merasa telah mendapatkan taufiq dari Allah, sehingga bisa mengoptimalkan pemanfaatan bulan mulia, bulan agung, bulan istimewa, bulan utama dan bulan suci, untuk menggapai kemuliaan, keagungan, keistimewaan, keutamaan, dan kesucian diri? Kita juga bercermin diri pasca Ramadhan, untuk melihat sejauh mana perubahan telah didapat setelah melewati masa penempaan diri, tazkiyatunnafs dan tarbiyatudzdzaat? Lalu sudahkah ijazah taqwa didapat dengan sukses?
Ramadhan Bulan Puasa (Total)
Faktor pertama dan utama yang menjadikan Ramadhan sebagai bulan paling istimewa adalah, dipilihnya bulan tersebut bagi pelaksanaan fardhu puasa yang merupakan salah satu rukun asasi dalam Islam. Dan puasa, sebagaimana penegasan Allah, adalah salah satu sarana teristimewa untuk menggapai derajat ketaqwaan yang lebih tinggi (QS.Al-Baqarah: 183). Disamping itu fadhilah-fadhilah ibadah shaum ini sangatlah banyak dan beragam, yang menjadikannya sebagai salah satu ibadah paling utama sebagai jalan taqarrub ilallah, penyucian jiwa, penempaan hati, perlindungan diri, penghapusan dosa, pembebasan dari api neraka, peningkatan derajat di Surga, dan seterusnya dan seterusnya. Namun puasa yang dimaksud, dengan bermacam-macam fadhilahnya tersebut, tentu bukanlah puasa parsial yang hanya terbatas pada puasa menahan diri dari lapar dan dahaga semata. Melainkan ia adalah puasa total dengan mempuasakan seluruh entitas diri seorang mukmin atau mukminah karena Allah Ta’ala.
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan nista, maka sekali-kali Allah tidak butuh pada puasanya dengan hanya meninggalkan makan dan minum saja” (HR.Al-Bukhari). Beliau juga bersabda, “Jika salah seorang diantara kamu sedang berpuasa, maka janganlah ia berlaku tidak senonoh atau membuat keributan. Dan jika seseorang mencacinya atau mengajaknya berkelahi, maka hendaklah ia berkata: sungguh aku sedang berpuasa!” (HR.Muttafaq ‘alaih).
Agar bisa total, optimal dan tidak parsial, maka puasa kita harus meliputi seluruh unsur yang ada dalam diri kita: hati dan pikiran, emosi dan perasaan, syahwat perut, syahwat seks, syahwat lidah dan mulut, syahwat mata, syahwat telinga, syahwat tangan, syahwat kaki, dan syahwat-syahwat yang lainnya.
Puasa total seperti itulah yang akan mewujudkan perubahan besar dalam diri pribadi dan kehidupan orang perorang secara khusus dan juga masyarakat secara umum. Adapun puasa parsial yang hanya mengubah jadwal makan dan minum dari siang ke malam saja, maka tidak akan meninggalkan perubahan yang berarti.
Ramadhan Bulan Al-Qur’an
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil).” (QS.Al-Baqarah [2]: 185).
Al-Qur’an sebagai sumber petunjuk, cahaya dan rahmat bagi kaum muttaqin, merupakan salah satu kunci utama yang paling efektif untuk membuka pintu-pintu perubahan dan perbaikan dalam diri pribadi dan kehidupan ummat serta masyarakat beriman. Dan hal itu hanya bisa terwujud melalui adanya pola interaksi dan hubungan yang baik dan harmonis dengan Kitabullah ini. Semakin dekat dan harmonis hubungan seseorang atau suatu masyarakat dengan Al-Qur’an, maka akan semakin terbukalah pintu-pintu perubahan dan perbaikan dalam kehidupan orang dan masyarakat tersebut. Dan Ramadhan adalah momentum yang paling tepat dan kondusif untuk membangun dan meningkatkan keharmonisan hubungan dan interaksi dengan wahyu terakhir dari Allah ini, yakni dengan berkomitmen untuk melakukan hal-hal berikut ini: (1) memperbaharui (tajdid) kualitas iman kepadanya, (2) membaca, menghafal, dan mendengarkannya, (3) mentadabburi dan memahami makna serta kandungannya, (4) mengikuti, mengamalkan, berakhlaq, berhujjah dan berhukum dengannya, (5) mengajarkannya dan mendakwahkan nilai-nilai dan ajaran-ajarannya.
Ramadhan Bulan Limpahan Rahmat
Rasulullah saw bersabda (yang artinya): “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang penuh barokah, Allah telah mewajibkan atas kamu berpuasa di bulan ini ……., dan di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, barangsiapa yang tidak mendapat bagian kebaikannya, maka sungguh berarti ia telah dijauhkan dari rahmat Allah” (HR.An-Nasa’i, Al-Baihaqi dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Ramadhan adalah bulan limpahan rahmat, curahan barokah, dan peluang istimewa bagi pembebasan diri dari api Neraka. Selama Ramadhan, doa-doa dikabulkan, munajat didengar oleh Allah Ta’ala, tobat dan istighfar hamba-hamba pendosa diterima oleh Dzat Maha Pengampun dan Penerima tobat. Maka selama Ramadhan, dosa-dosapun berguguran, kecuali bagi orang-orang yang memang tidak ingin dosa-dosanya diampunkan.
Selama Ramadhan, pahala amal dan ibadah dilipat gandakan, sampai-sampai ada satu malam diantara malam-malam istimewa Ramadhan, yang disebut Lailatul Qadr, yang keutamaan, fadhilah dan nilainya mengungguli seribu bulan (QS.Al-Qadr: 1-5).
Ibadah-ibadah di bulan Ramadhan terasa demikian nikmat dan lezat, sehingga semangat dan motivasi beribadah pun meningkat sangat mencolok, khususnya pada sepuluh malam terakhir, dimana disunnahkan beri’tikaf di masjid dengan berbagai rangkaian ibadah khususnya, sebagai upaya puncak untuk menggapai taqwa. Dan karena keistimewaan ini, bulan Ramadhan bisa menjadi parameter ibadah setiap orang beriman, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Ramadhan Bulan Bebas Gangguan Syetan
Rasulullah saw bersabda (yang artinya): “Apabila bulan Ramadhan telah tiba, maka pintu-pintu Surga dibuka selebar-lebarnya, pintu-pintu Neraka ditutup serapat-rapatnya, dan syetan-syetan pengganggu dibelenggu seerat-eratnya” (HR.Muttafaq ‘alaih). Ini artinya, selama Ramadhan pintu-pintu ketaatan terbuka selebar-lebarnya dan peluang-peluang kebaikan tersedia sebanyak-banyaknya, sementara itu jalan-jalan kemaksiatan, keburukan dan kejahatan disempitkan sesempit-sempitnya. Dan ini merupakan salah satu faktor pendukung perubahan diri yang paling penting, dan yang harus dimanfaatkan seoptimal mungkin selama Ramadhan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Dan seorang penyeru (dari malaikat) pun menyeru (ketika Ramadhan tiba): Wahai orang yang menginginkan kebaikan, kemari dan datanglah! Wahai orang yang menginginkan keburukan, surut dan mundurlah!” (HR.At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah).
Ramadhan – dengan keistimewaan spesial ini – adalah cermin terbaik dimana seseorang bisa melihat dan berhadap-hadapan face to face dengan jiwa dan dirinya sendiri tanpa campur tangan dan gangguan syetan yang selama ini selalu menjadi penghalang dan pengganggu utama, tentu dalam rangka muhasabah dan evaluasi diri menuju kepribadian Islami yang paripurna.
——————————————
Itulah beberapa keistimewaan dan keutamaan bulan suci Ramadhan, yang merupakan momentum sangat istimewa bagi setiap upaya perubahan dan perbaikan di dalam diri dan kehidupan. Tentu saja masih banyak keistimewaan dan keutamaan serta fadhilah yang lainnya.
Namun perlu dicatat bahwa, betapapun istimewa dan utamanya, Ramadhan hanyalah salah satu momentum istimewa bagi setiap upaya perubahan menuju kondisi yang lebih baik dan lebih diridhai Allah, dan bukan satu-satunya. Masih banyak momentum yang lainnya. Bahkan setiap saat dalam kehidupan kita bisa menjadi momentum perubahan, selama ada niat, kemauan, tekad dan kesungguhan! Maka jangan ada yang salah persepsi, sehingga menganggap jika seseorang ingin berubah menjadi lebih baik, maka ia harus menunggu sampai Ramadhan tiba! Tidak, justru prinsip yang harus kita yakini dan pegangi dalam hal ini adalah bahwa, siapapun yang ingin dan mau berubah, maka ia harus melakukannya saat ini juga, dan tidak menunda-nunda lagi, termasuk tidak perlu menunggu datangnya bulan Ramadhan! Karena tidak ada seorangpun yang tahu, apakah ia masih akan dapat kesempatan untuk bisa berjumpa dengan Ramadhan yang ditunggu-tunggu itu atau tidak. (Disarikan dari tulisan Ust. Ahmad Mudzoffar Jufri, MA)