Tidak terasa kita sudah berada di penghujung bulan Ramadhan. Sebentar lagi kita akan segera berpisah dengan Ramadhan. Sebagaimana bulan-bulan yang lain, Ramadhan adalah bagian dari waktu yang senantiasa datang dan pergi begitu saja. Ia datang tanpa kita undang. Begitupun ia pergi tanpa kita kehendaki. Selama sebulan penuh kita dilatih bagaimana mengekang hawa nafsu. Selama sebulan itu pula kita didorong untuk banyak melakukan berbagai ibadah dan ketaatan. Puasa setiap hari. Tarawih setiap malam. Membaca ayat-ayat Al-Qur’an bisa setiap saat. Bersedekah dengan penuh semangat. Datang ke masjid pun menjadi kebiasaan. Semuanya hanya untuk satu tujuan. Agar kita meraih kesempurnaan takwa.
Alangkah nikmatnya memang bersua dengan Ramadhan. Ibadah begitu nikmat. Semuanya penuh semangat. Namun semua itu harus segera berakhir, tanpa bisa kita tolak. Namun demikianlah Allah telah menjadikan Ramadhan hanya sebagai satu diantara dua belas. Pasti Dia lebih tahu apa hikmah dibalik yang demikian itu. Barangkali saja jika semua bulan adalah Ramadhan maka kita tidak lagi akan mengistimewakannya. Bukankah sesuatu yang istimewa itu biasanya tidak banyak?
Ramadhan memang hanya satu diantara dua belas. Sedikit. Namun tidakkah kita tahu bahwa yang sedikit itu sebetulnya memiliki energi yang besar? Ya. Energi Ramadhan amatlah besar, hingga tak akan habis untuk kita pakai selama sebelas bulan ke depan. Kita sudah mengumpulkan berbagai energi kebaikan di bulan Ramadhan ini. Energi shalat, energi membaca Al-Qur’an, energi sedekah, energi datang ke masjid, dan berbagai energi kebaikan lainnya. Sekarang terserah kita sendiri. Apakah selepas Ramadhan kita akan menggunakan berbagai energi tersebut dengan baik? Ataukah kita akan membuangnya begitu saja?
Sekarang mari kita bertanya kepada diri sendiri. Jika selama Ramadhan kita bisa shalat lima waktu tanpa ada bolong-bolongnya, bahkan plus tarawih, mengapa selepas Ramadhan kita tidak mampu memelihara shalat lima waktu kita? Jika selama Ramadhan kita rajin membaca Al-Qur’an, mengapa selepas Ramadhan tidak lagi? Jika selepas Ramadhan kita gemar bersedekah, mengapa selepas Ramadhan tidak lagi? Jika selepas Ramadhan kira rajin datang ke masjid, mengapa selepas Ramadhan tidak lagi? Jika selama Ramadhan kita bisa berpuasa setiap hari, mengapa selepas Ramadhan kita tidak mampu melakukan puasa sunnah yang tidak setiap hari? Dan jika selama Ramadhan kita bisa berkata jujur, tidak berbohong dan tidak menggunjing, mengapa selepas Ramadhan tidak bisa?
Katakan,”Jika selama Ramadhan kita bisa, selepas Ramadhan pun kita pasti bisa.” Sekarang marilah kita tata niat dan tekad kita. Kita harus berjanji kepada diri sendiri bahwa kita akan memelihara ketaatan kita selama bulan Ramadhan pada sebelas bulan berikutnya. Jika kita nanti bertemu kembali dengan syetan, lalu ia mengajak kita untuk berbuat dosa dan kemaksiatan, maka katakan kepadanya dengan lantang,”Aku sudah berjanji untuk senantiasa taat kepada Allah dan tidak akan bersahabat denganmu lagi. Enyahlah kamu dari hadapanku.”
Ketika kita bisa bersikap demikian, ketika itu pula Ramadhan akan menjadi benar-benar bermakna bagi kita. Ramadhan akan hidup dalam diri kita. Sebuah revolusi diri yang mencengangkan. Karena itu, mari sekarang kita tulis satu pesan untuk diri kita sendiri: Ramadhankan hidupmu!