Saudaraku, Bahagia, adalah suatu keadaan dimana pikiran dan perasaan menjadi senang dan tenteram, lahir maupun batin. Sedih adalah perasaan tidak senang, tidak beruntung, tak berdaya, hingga putus asa saat kehilangan sesuatu berharga. Bahagia dan sedih adalah sunnatullah yang dilekatkan pada manusia. Setinggi atau serendah apapun posisi manusia, maka akan mengalami bahagia dan sedih.
Karunia dan musibah adalah kemestian yang akan datang silih berganti. Kesepian dan keramaian akan selalu mengiringi perjalanan hidup kita. Kehilangan dan kedatangan adalah warna warninya kehidupan. Semua datangnya dari Allah, dan setiap yang datang dari Allah adalah yang terbaik untuk kita. Sebagai manusia kita seringkali terkecoh, lalu menilai kedukaan justru sebagai kebahagiaan atau musibah justru sebagai karunia dan sebaliknya, sebuah kondisi yang seharusnya kita sedihkan justru kita senangi bahkan kita rayakan.
Karena itu Allah memberi rambu rambu pada kita bahwa kebahagian dan kesedihan kita harus tersambungkan atau selaras dengan kesenangan dan kekecewaan Allah. Ibadah puasa yang membuat lapar, ibadah haji yang membuat lelah, dan bersedekah atau berkorban yang menghilangkan kekayaan, adalah sebuah kondisi yang mestinya kita senangi karena Allah suka. Mengkoleksi harta dengan cara mencurangi orang lain, berhasil menjadi tinggi dengan cara merendahkan dan menindas orang lain, juga semua perbuatan yang selaras dengan hawa nafsu nampaknya selalu menyenangkan, tapi justru kondisi tersebutlah yang harus kita sedihkan.
Selama kita masih hidup, maka kita sedang menjalani ujian dan akan menuai hasil dari ujian. Seolah anak tangga yang kita beruntung manakala bisa memilih untuk terus naik ke atas atau merugi karena terjebak turun ke bawah. Maka bersama Allah, langkah kita akan terbimbing dan tak tersesat hingga selalu menaiki anak tangga menuju surgaNYA.
Aroma surga tercium dari jarak yang sangat jauh, dan hanya yang mencintai surga saja yang akan menikmati aromanya saat sebelum matinya. Kebusukan neraka juga terasakan dan yang memilihnya akan sangat menikmati aromanya dan tak merasakan kebusukan itu, sehingga selalu terhubung dengannya, bahkan sebelum kematiannya. Iman di hati menuntun agar kita tak tertipu, hingga mampu untuk membahagiakan diri di kala sedih, dan menyedihkan diri di kala merasa bahagia.
Melalui hadits Qudsi yang shahih, Allah SWT menuntun kita untuk membaca : “Alhamdulillah”, di kala mendapat musibah. Dalam Surah An Nashr, Allah mendidik kita untuk “bertasbih”, “bertahmid” dan “beristighfar” di kala bahagia. Membahagiakan diri di kala sedih berarti menguatkan iman. Menyedihkan diri di kala bahagia berarti tawadhu’. JUM’AT MUBARAK
Ya Rahman, Jadikan iman kami selalu menuntun untuk selalu cerdas dan selamat dari kebodohan yang membuat kami salah mengerti hingga menilai musibah sebagai karunia dan karunia sebagai musibah. Ya Rahman, Jadikan kami hamba yang sabar dalam menjalani kondisi yang terasa seolah musibah, padahal itu merupakan karunia yang gagal kami fahami. Ya Rahman, Karuniakan pada kami bahagia di dunia yang menggiring pada kebahagiaan di akhirat. Aamiin (@msdrehem)