Muhammad. Sebuah nama yang sangat tidak asing di telinga kita. Sebagai muslim, kita selalu menyebut-nyebut nama ini pada setiap tasyahud sholat kita, dan pada setiap bacaan sholawat kita diluar sholat. Bahkan, tidak sedikit para orangtua muslim yang menamai anaknya dengan nama ini. Pendek kata, nama ini begitu populer! Tidak hanya populer, sosok Muhammad ternyata juga memiliki pengaruh yang sangat luar biasa. Tidak tanggung-tanggung, Michael Hart yang notabene non muslim, dalam bukunya Seratus Manusia yang Paling Berpengaruh, menempatkan Muhammad sebagai manusia nomor satu yang memiliki pengaruh paling besar bagi manusia modern sepanjang masa. Hart pasti tidak hanya asal tulis. Ia pasti telah berusaha untuk bersikap obyektif dalam kapasitasnya sebagai seorang intelektual dan penulis ternama.
Muhammad dilahirkan di kota tandus Mekkah, dari keturunan Nabi Ismail, 571 tahun semenjak Nabi Isa dilahirkan. Muhammad kecil adalah anak yang malang. Betapa tidak, ia terlahir dalam keadaan yatim. Enam tahun kemudian, ia juga harus kehilangan ibunya. Terpaksalah ia hidup bersama kakeknya. Tapi itupun hanya berlangsung dua tahun, karena sang kakek pun akhirnya tiada. Pamannya yang bernama Abu Thalib-lah yang kemudian mengasuhnya selama waktu yang cukup panjang.
Pada usia matang seorang manusia, 40 tahun, Muhammad mengalami sebuah peristiwa yang amat besar: didatangi malaikat Jibril, menerima wahyu dari Allah, diangkat menjadi rasul! Hanya saja risalah yang dibebankan di pundaknya ternyata berlawanan secara frontal dengan apa yang ada di tengah-tengah masyarakatnya. Ia membawa tauhid, sementara masyarakatnya sangat kuat menganut keyakinan pagan. Ia membawa ketinggian moral, sementara masyarakatnya amat bangga dengan kebobrokan moral mereka. Terpaksa, Nabi Muhammad berdakwah secara sembunyi-sembunyi.
Namun pada tahun keempat semenjak ia pertama kali didatangi oleh Jibril, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan oleh Allah untuk bangkit, memberikan peringatan kepada kaumnya. Semenjak itulah, Rasulullah berdakwah secara terang-terangan. Semenjak itu pulalah, berbagai teror, intimidasi dan tribulasi diterima oleh Rasulullah dan para sahabat beliau. Tiada hari bisa dilalui dengan aman. Tiada hari tanpa ancaman. Namun mereka tetap bersabar…
Sampai pada tahun kelima, rasa-rasanya tribulasi itu sudah kelewat batas. Rasulullah pun memerintahkan para sahabat untuk keluar dari Mekkah, bahkan keluar dari Jazirah Arab. Hijrah ke negeri Nasrani Habasyah (Etiopia). Kendati mereka dikejar juga sampai kesana, alhamdulillah Allah memberikan pertolongan-Nya. Allah membukakan hati Raja Habasyah sehingga ia berkenan memberikan perlindungan kepada mereka.
Sementara itu di Mekkah, pada tahun keenam kenabian, Umar bin Khaththab masuk Islam menyusul Hamzah yang sudah terlebih dulu masuk Islam. Dua orang ini sangat disegani dan ditakuti oleh masyarakat Mekkah, sehingga keislaman keduanya sangatlah berarti untuk menambah kekuatan para pengusung tauhid…
Hanya saja sudah menjadi sunnatullah bahwa para pengusung kebatilan tidak akan pernah berhenti dari usahanya untuk memerangi kebenaran. Kaum musyrikin Mekkah pun semakin kuat menekan dakwah Rasulullah. Sampai pada puncaknya, mereka melakukan boikot selama tiga tahun terhadap keluarga besar Rasulullah, yaitu Bani Hasyim dan Banil Muthallib. Barangkali, inilah puncak dari semua tribulasi itu! Terasa amat berat dan amat menyiksa! Dan penderitaan ini semakin lengkap bagi Rasulullah ketika Abu Thalib, paman yang selama ini membela beliau, dan Khadijah, istri tercinta yang selalu mendukung dakwah, harus pergi untuk selama-lamanya. Itulah Tahun Duka Cita…
Tentunya Allah melihat semua yang terjadi. Sepertinya Rasulullah perlu dihibur. Allah pun meng-isra’-mi’raj-kan beliau, yang tentu saja lebih dari sekadar hiburan, karena ada misi agung dalam peristiwa besar itu.
Sepertinya Mekkah saat itu sudah sedemikian sulit menerima dakwah. Resistensinya terlalu besar! Begitulah hati-hati yang kelam ketika sudah mengeras melebihi kerasnya batu karang. Namun dakwah harus terus berjalan. Jika Mekkah tidak memungkinkan, mengapa tidak dicoba yang lainnya? Thaif! Barangkali masyarakatnya lebih bisa menerima dakwah. Maka berangkatlah Rasulullah ke Thaif, untuk berdakwah…
Tetapi apa yang terjadi? Masyarakat Thaif dengan cara yang sangat kasar menolak dakwah Nabi. Mereka bahkan mengusir Nabi dengan melemparkan batu dan kerikil ke tubuh beliau. Sekarang, adakah manusia lain yang mau menerima dakwah, yang bahkan akan menyelamatkan diri mereka sendiri dari kebinasaan hidup di dunia dan di akhirat?
Momen-momen yang Menentukan
Musim haji adalah saat-saat dimana manusia dari berbagai penjuru jazirah datang ke Baitullah di Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Pada suatu musim haji, diantara banyaknya rombongan haji terdapat rombongan yang datang dari Yatsrib (yang kelak dikenal sebagai Madinah). Rasulullah menyampaikan dakwah kepada para jamaah haji, tidak terkecuali jamaah dari Yatsrib tersebut. Berkat taufiq dan hidayah dari Allah, mereka mau menerima dakwah Nabi, bahkan sampai mengikrarkan komitmen mereka dalam Bai’ah ‘Aqabah Pertama. Tidak lama kemudian, ikrar ini dilanjutkan dengan Bai’ah ‘Aqabah Kedua. Sampai disini, masyarakat Yatsrib berjanji sepenuh hati untuk membela dakwah Nabi, meski harus mengorbankan harta dan bahkan jiwa mereka sekalipun.
Untuk itulah pada tahun ke-13 kenabian, Allah memerintahkan Rasulullah dan para sahabat untuk berhijrah ke Yatsrib, untuk membangun basis dakwah. Begitu sampai di Yatsrib, Rasulullah melakukan tiga langkah strategis. Pertama, membangun masjid. Kedua, mempersaudarakan antara muhajirin dan anshar. Ketiga, membangun tatanan sosial politik diatas sebuah kesepakatan bersama (yang kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah). Mulai saat itulah Nabi dan para sahabat, baik muhajirin maupun anshar, bersama-sama membangun masyarakat islami di kota Yatsrib, yang kemudian berubah nama menjadi Madinatur Rasul, atau disingkat Madinah.
Tahun-tahun yang Penuh dengan Pertempuran
Bukan berarti ketika sudah mendapatkan dukungan kuat di Madinah, lalu Rasulullah bisa bersantai-santai. Justru sebaliknya. Setahun setelah peristiwa hijrah, kaum muslimin sudah harus menghadapi gempuran kaum musyrikin Mekkah dalam Perang Badar Kubra. Meski jumlah tentara muslim sangat sedikit, namun Allah memberikan kemenangan kepada mereka. Itulah Yaumul Furqan, Hari Pembeda antara Kebenaran dan Kebatilan.
Selepas Perang Badar Kubra, peperangan demi peperangan silih berganti dilakoni oleh kaum muslimin. Perang Bani Qainuqa’, Perang Uhud, Perang Bani Nadhir, Perang Ahzab atau Perang Khandaq, Perang Bani Quraidhah, Perang Hudaibiyah, Perang Khaibar, Perang Mu’tah, Perang Hunain atau Perang Hawazin, Perang Tabuk. Semenjak hijrah hingga wafatnya Rasulullah, yakni selama kurang lebih sepuluh tahun, jumlah peperangan-peperangan besar yang dipimpin oleh Nabi (yang biasa disebut sebagai ghazwah) mencapai angka tidak kurang dari 30. Itu artinya, setiap tahun rata-rata Rasulullah dan para sahabat harus melakukan tiga peperangan besar (empat bulan sekali). Itu belum termasuk sariyah, yakni ekspedisi-ekspedisi perang yang dipimpin oleh para sahabat Rasulullah. Tahun-tahun yang melelahkan. Tahun-tahun yang penuh dengan darah. Tapi bukankah semenjak di Mekkah semuanya sudah terbiasa dengan berbagai macam penderitaan? Bukankah memang demikian tabiat dakwah membela kebenaran?
Perginya Sang Teladan Agung
Pada bulan Dzulhijjah tahun 10 Hijrah, Rasulullah bersama para sahabat pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Khutbah Rasulullah saat wuquf pada haji tersebut seolah-olah memberi isyarat bahwa tugas Rasulullah hampir usai. Dan itu tidak salah. Beberapa bulan sesudah penunaian haji tersebut, tepatnya pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 Hijrah, Rasulullah dipanggil oleh Dzat yang mengutusnya. Tetesan air mata dan untaian doa mengiringi kepergian Sang Teladan Agung itu. Namun pada saat yang sama, dunia berubah menjadi terang benderang oleh terangnya cahaya petunjuk yang dibawanya. Salam dan kesejahteraan untukmu wahai Rasulullah. Kami semua sedemikian mencintaimu… [Abdur Rosyid]