Setan Adalah Musuh Yang Nyata

  • Sumo

Dalam Tafsir al-Mishbah dan Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa pengertian syaithan menurut bahasa adalah suatu sifat yang ada dalam diri makhluk, yaitu jin, iblis, dan manusia yang selalu membawa pada kesesatan, menentang perintah kebaikan, menyalahi aturan-aturan Allah, dan ingkar kepada-Nya. Allah Subhanahu wata’ala telah menjelaskan bahwa sifat syaithan itu bisa terdapat dalam diri jin dan manusia. Allah berfirman:“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin…” (Qs. al-An’am: 112).

Mengapa sebagian jin dan manusia disebut sebagai syaithan? Karena mereka menentang perintah kebaikan, menyalahi aturan-aturan Allah, ingkar kepada-Nya dan menjadi musuh para Nabi. Kemudian mereka mengajak manusia untuk mengikuti mereka dengan segala bentuk tipu-dayanya. Allah Subhanahu wata’ala  melanjutkan firman-Nya:“…Sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Qs. al-An’am: 112).

Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini mengatakan bahwa sebagian dari syaithan-syaithan itu menyampaikan kepada sebagian lainnya kata-kata indah dan mempesona, dibumbui dengan hal-hal menarik yang dapat memperdaya pendengarnya yang tidak mengerti tipu dayanya. Dalam sejarah risalah sawami yang dibawa para Nabi dan Rasul, syaithan selalu memposisikan dirinya sebagai menjadi perintang dakwah, bahkan menentang dan memusuhi mereka. Segala kata manis mereka umbar untuk menyesatkan manusia dan berpaling dari seruan Ilahi. Nasihat yang mereka sampaikan terdengar sangat logis dan bijaksana, akan tetapi sebenarnya berisi racun yang mematikan, karena membawa kepada kesengsaraan dan mengundang adzab Tuhan. Beberapa bisikan-bisikan syaithan yang terlihat bijaksana tetapi menjerumuskan antara lain:

Kepada Nabi Nabi Nuh ‘Alaihis salam  beserta pengikutnya, syaithan-syaithan perintang dakwah berkata: Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta” (Qs. Hud: 27)

Kepada Nabi Luth ‘Alaihis salam  beserta para pengikutnya, syaithan-syaithan pendukung homoseksual berkata: “Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.” (Qs. al-A’raf: 82)

Kepada Nabi Musa ‘Alaihis salam, syaithan yang bernama Fir’aun menyampaikan tuduhan: “Dan berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya): “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” (Qs. Mukmin: 26).

Kepada Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, syaithan-syaithan kafir Quraisy menyebarkan opini bohong di masyarakat Jahiliyyah dengan mengatakan: Mereka berkata: “Hai orang yang diturunkan Al Quran kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila.” (Qs. al-Hijr: 6).

Kata-kata semisal itulah yang dirangkai oleh syaithan untuk menjerumuskan manusia dari masa ke masa, sejak zaman Nabi Adam ‘Alaihis salam hingga Yaumul qiyamah. Tidak bisa dipungkiri, semua bujuk-rayu syaithan itu merupakan godaan berat bagi manusia dan termasuk ujian dari Allah Subhanahu wata’ala dalam kehidupan. Oleh karena itu, mari kita kenali berbagai jenis godaan itu, -bukan untuk mengikutinya,- akan tetapi agar selalu meningkatkan kewaspadaan kita, sehingga kita mampu melawannya dan tidak jatuh pada bujuk rayunya. Allah Subhanahu wata’ala  berfirman: “Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Qs. al-An’am: 112)

Dalam perjalanan kehidupan manusia, setiap orang senantiasa harus memilih salah satu diantara  dua hal; menjadi pembela syaithan atau menjadi pembela Allah Subhanahu wata’ala. Tidak ada pilihan lain selain kedua pilihan tersebut. Karakter dari para pembela syaithan adalah selalu merasa risih dan antipati dengan Islam dan kaum Muslimin. Sebaliknya, mereka sangat toleran dengan kemusyrikan, kekufuran dan segala jenis kemaksiatan dan kebathilan.

Para pembela syaithan merasa lebih tenang dengan mendengarkan suara hiruk-pikuk hiburan beserta semua kejahatan yang mengiringinya dibandingkan suara adzan. Mereka lebih senang melihat pakaian yang mengumbar aurat wanita daripada hijab yang memuliakan. Mereka toleran dengan penjajah kafir yang menjarah negeri daripada pejuang Muslim yang membela tanah air hingga titik darah penghabisan. Manusia-manusia dengan karakter seperti ini, -meskipun identitas kependudukan menyebutkan dia beragama Islam,- tetapi pada hakikatnya mereka adalah pembela syaithan.

Adapun para pembela Allah Subhanahu wata’ala adalah mereka yang tidak pernah ragu untuk berdiri di sisi kebenaran dan menentang kebathilan. Mereka menjadi pioneer dalam menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Sikap mereka tegas, suara mereka lantang untuk menyuarakan firman Tuhan. Tiada keraguan sedikitpun dalam hati mereka, walaupun semua media membuat opini sesat dan memojokkan. Allah Subhanahu wata’ala telah berfirman: “Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” (Qs. an-Nisa’: 76)

Ada sebagian orang yang dengan argumentasi ilmiah yang dibangunnya mengatakan bahwa mereka memilih berada tengah-tengah di antara keduanya. Kepada mereka kami sampaikan; hendaklah mereka berhati-hati, jangan sampai terperosok ke dalam kubang kemunafikan. Ingatlah bahwa Rasulullah menyebut orang yang tidak berusaha mengingkari kemunkaran walaupun hanya dengan hatinya, sebagai orang yang tidak mempunyai keimanan. Jika tidak ada keimanan, padahal ia mengaku sebagai muslim, berarti dianggap sebagai munafik. Sementara kemunafikan tempatnya adalah neraka yang paling dalam di hari kiamat  kelak, sebagaimana Allah Subhanahu wata’ala berfirman:“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (Qs. an-Nisa’: 145)

Marilah kita memiliki kesadaran sepenuhnya bahwa syaithan itu selamanya menjadi musuh yang berbahaya bagi keimanan. Jangan sekalipun kita berbaik hati menempatkan syaithan sebagai teman atau sahabat karib. Kesadaran ini akan menumbuhkan dua sikap; yang pertama, memerangi sifat syaithan yang ada dalam diri kita sekuat-kuatnya dan tidak memberi sedikitpun ruang kepadanya untuk bersemayam. Dan yang kedua; waspada terhadap gerombolan syaithan dengan segala tipu-dayanya, yang pasti akan menyeret-nyeret kita untuk menemani mereka menjadi penghuni neraka. Kesadaran seperti inilah yang diperintahkan Allah Subhanahu wata’ala dalam firman-Nya: “Sesungguhnya syaitan itu bagi kalian adalah musuh, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs. Faathir: 6).

Dan jika terjadi benturan antara pembela syaithan dan pembela Allah, tentu saja pembela Allah yang akan menang. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (Qs. al-Maidah: 56). (Ust. Endri Nugraha Laksana, S.Pd.I Ketua PW IKADI DIY)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.