Surah Al-Anfal adalah surah kedelapan dalam urutan surah-surah Al-Qur’an sesuai dengan susunan Mushaf. Adapun berdasarkan urutan turunnya wahyu, surah ini – menurut sebuah pendapat – menempati urutan ke-88 sesudah surah Al-Baqarah. Ayat-ayatnya berjumlah tujuh puluh lima (75) ayat. Dan ia merupakan salah satu surah madaniyah, yakni yang turun di Madinah atau pada periode setelah hijrah ke Madinah. Sedangkan surah-surah atau ayat-ayat yang turun di Mekkah atau pada periode Mekkah sebelum hijrah disebut makkiyah.Surah ini tepatnya turun dalam Perang Badar di bulan Ramadhan pada tahun kedua Hijriyah, yakni sembilan belas bulan setelah peristiwa hijrah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dari Mekkah ke Madinah. Dan meskipun ada pendapat berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas bahwa sebanyak tujuh ayat dari surah ini (ayat 30 – 36) adalah makkiyah, namun pendapat yang lebih rajih (lebih kuat) mengatakan bahwa seluruh ayat dalam surah ini adalah madaniyah.
Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitabnya Al-Musnad dari sahabat ’Ubadah bin Ash-Shamit yang mengatakan,”Tentang kamilah (peserta Perang Badar) surah Al-Anfal ini turun. Yakni pada saat kami sedang berselisih seputar hasil rampasan perang, yang menjadikan akhlak kami sempat ”memburuk”. Maka Allah-pun mengambilnya dari tangan kami, dan menyerahkannya kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Maka beliau – shallallahu ’alaihi wasallam – pun membagikannya kepada kaum muslimin secara merata.”
Riwayat lain yang juga ada dalam Musnad Imam Ahmad menceritakan ungkapan ’Ubadah bin Ash-Shamit tersebut secara lebih rinci, bahwa setelah Allah memberikan kemenangan kepada kaum muslimin atas kaum kafir pada Perang Badar, sebagian sahabat melakukan pengejaran terhadap musuh-musuh Allah yang lari dari medan pertempuran. Sebagian yang lain bertugas mengumpulkan hasil rampasan perang. Sedangkan kelompok ketiga bertugas menjaga benteng pertahanan terakhir dimana Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam berada untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan ancaman terhadap diri beliau.
Setelah semua berkumpul pada malam harinya, terjadilah perselisihan antara ketiga kelompok sahabat tersebut. Karena masing-masing kelompok mengatakan bahwa merekalah yang lebih berhak atas hasil rampasan perang daripada yang lain, maka turunlah firman Allah: ’Mereka bertanya kepadamu tentang hasil rampasan perang. Katakanlah: Hasil rampasan perang adalah untuk Allah dan Rasul-Nya. Maka bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan diantara sesama kalian… dan seterusnya’ (permulaan QS Al-Anfal). Lalu Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam pun membaginya diantara kaum muslimin.
Sebenarnya masih ada beberapa riwayat yang lain tentang asbabun nuzul permulaan surah Al-Anfal ini, namun saya merasa tidak perlu menyebutkan semuanya disini. Yang telah disebutkan diatas insyaallah sudah cukup memberikan gambaran untuk membantu pemahaman kita.
Allah swt berfirman: 1) Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) hasil rampasan perang. Katakanlah: “Hasil rampasan perang adalah kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.” 2) Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. 3) (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. 4) Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rizki (nikmat) yang mulia. (QS Al-Anfal [8]: 1-4)
Empat ayat pertama ini merupakan muqaddimah (pendahuluan) surah Al-Anfal. Surah Al-Anfal dimulai dengan penjelasan tentang hukum hasil rampasan perang (al-anfal, ghanimah) yang merupakan salah satu dampak peperangan. Hukum pembagiannya dikembalikan kepada Allah dan Rasul shallallahu ’alaihi wasallam, yang kemudian dijelaskan secara rinci pada ayat 41. Yang demikian ini karena Allah-lah pemilik segala sesuatu, dan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam adalah khalifah-Nya.
Berikutnya dalam ayat 2 sampai 4, Allah Ta’ala menyebutkan sifat-sifat mukminin sejati. Yang disebut dengan iman yang hakiki adalah perpaduan antara iman akal pikiran yang bersifat teoretis dan iman hati yang bersifat praktis implementatif (Lihat QS Al-Hujurat: 14-15).
Diriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Hasan Al-Bashri. ”Ya Aba Sa’id (julukan Imam Hasan Al-Bashri), apakah Anda seorang mukmin?” Beliaupun menjawab,”Iman itu ada dua macam. Jika yang kamu tanyakan adalah iman (secara teoretis) kepada Allah, pada malaikat-malaikat-Nya, pada kitab-kitab-Nya, pada rasul-rasul-Nya, pada Surga, pada Neraka, pada Hari Berbangkit dan pada Hari Penghisaban, maka saya adalah orang yang beriman. Namun jika yang kamu tanyakan adalah tentang firman Allah: ’Orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang apabila disebut Nama Allah bergetarlah hatinya’... dan seterusnya sampai ’Mereka itulah sebenar-benarnya orang-orang yang beriman’ (QS Al-Anfal: 2-4), maka demi Allah saya tidak tahu apakah saya benar-benar termasuk dalam kategori mereka atau tidak.”
Pada ayat 2 sampai 4, Allah menyebutkan beberapa sifat orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Pertama, mereka adalah orang-orang yang jika disebut Nama Allah, mereka gemetar dan takut. Kedua, jika dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an, iman mereka menjadi bertambah. Ketiga, mereka bertawakkal hanya kepada Allah semata. Keempat, mereka menegakkan shalat dengan menyempurnakan seluruh syarat, rukun, wajib dan sunnahnya. Dan kelima, mereka adalah orang-orang yang gemar berinfak dari rizki yang diberikan kepada mereka, dan ini mencakup pembayaran zakat serta pemenuhan hak-hak sesama, baik yang wajib maupun yang sunnah.
Itulah lima sifat mukmin sejati, yang meliputi tiga sifat batiniyah (sifat pertama, kedua dan ketiga) dan dua sifat lahiriyah (sifat keempat dan kelima). Tentu saja sifat-sifat mukmin sejati tidak hanya lima ini. Allah juga menyebutkan sifat-sifat lain seorang mukmin dalam banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang lain. Bisa dilihat misalnya QS Al-Mu’minun: 1-11, QS Al-Furqan: 63-67, dan sebagainya.