Allah subhanahu wata’ala berfirman Tahukah kamu (ya Muhammad) orang yang mendustakan hari pembalasan/agama? Itulah orang-orang yang menghardik anak yatim dan tidak berjuang untuk memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, yaitu mereka yang suka pamrih pada sesama dan enggan memberi pertolongan (QS. Al-Ma’un).
Surat al-Ma’un termasuk surat-surat makiyah yang diturunkan setelah surat at-Takatsur. Nama surat ini diambil dari ayat terakkhir (ayat ke-7) yaitu “AL-MA’UN” yang artinya adalah barang-barang yang berguna
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ
Menurut para mufassir; Al-Qurthubi dan lain-lain, makna ayat tersebut adalah “Tahukah kamu (wahai Muhammad) orang-orang yang mendustakan hari kiamat (hari pembalasan)” ada yang menafsirkan kata “Ad-Dien”adalah “Agama” sehingga maknanya “Tahukah kamu (wahai Muhammad) orang-orang yang mendustakan agama” ada juga yang menafsirkan kata “Ad-Dien”adalah “Hukum Allah” maka maknanya adalah “Tahukah kamu (wahai Muhammad) orang-orang yang mendustakan hukum Allah”
Semua yang diungkapkan oleh para mufassirin tersebut diatas adalah benar, artinya ketika seseorang mendustakan agamanya maka ia telah mendustakan hukum Allah demikian juga hari kiamat. Apa saja bentuk kedustaan mereka? Lebih lanjut Allah menjelaskan
فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ
Yaitu mereka yang menghardik anak yatim/membiarkan anak yatim; tidak memberi makan, tidak mengasuhnya, membiarkan terlantar dan lain-lain. Menurut istilah syar’iyah, yatim ialah,anak kecil yang belum baligh, sebagaimana diriwayatkan oleh abu Dawud,dari Ali bin Abi Thalib, dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: tidak dinamakan yatim apabila sudah bermimpi.(al-qasimiy). Jadi anak yatim ialah anak yang belum baligh yang tidak mempunyai bapak.
Mereka kehilangan tempat bergantung, terputus kasih sayang. Tentunya masing-masing kita pernah punya anak kecil, coba perhatikan disaat mereka bermain kemudian terjadi sesuatu dengan temannya, pasti anak kita mengadu, merengek kepada orangtuannya disaat orangtuanya merespon dengan baik merekapun sangat senang. Nah coba renungkan bagaimana dengan anak yatim, kemana mereka mengadu, siapa yang mendengarkan ocehan dan sendaguraunya, sungguh mereka kehilangan momentum penting dalam hidupnya. Siapa saja yang memperhatikan dan memelihara anak yatim sangatlah mulia disisi Allah sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam:”Aku dan orang yang menanggung (memelihara) anak yatim (dengan baik) ada di surga bagaikan ini! beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah dan beliau rentangkan kedua jarinya itu.” (HR. Bukhari)
Islam menyeru umatnya agar senantiasa berbuat baik kepada semua pihak baik kerabat maupun orang lain. Firman Allah: “Berbuat baiklah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak yatim dan orang miskin serta berbicara dengan kata yang baik.” (QS. al-Baqarah: 83)
Bagi orang yang menganiaya, tidak berlaku adil dan tidak menyayangi anak yatim, di akhirat mendapat azab yang pedih. Ini tergambar dalam al-Qur’an yang artinya: “Dan berikan kepada anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan itu dosa yang besar.” (QS. an-Nisa’: 2) dan firman Allah yang artinya:” Sesungguhnya orang orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala- nyala”.(QS. An-Nisa’:10).
Dalam hal ini, Abu Said Al Khudri ada menceritakan, ketika Rasulullah menjalani Isra’ Mi’raj, beliau melihat kaum yang bibirnya seperti bibir unta. Mulut mereka disuap batu besar secara paksa sehingga keluar batu itu melalui dubur. Melihat kejadian aneh itu, beliau bertanya pada Jibril dan Jibril menerangkan, orang itu adalah orang yang memakan harta anak yatim secara zalim.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sangat marah terhadap sikap demikian, sebagaimana sabdanya: “Seburuk-buruk makanan adalah makanan pesta (jamuan) yang mengundang orang kaya saja dan tidak mengundang orang fakir.” (HR Bukhari dan Muslim)
Tujuan Allah menyuruh kita berbuat baik kepada orang yang tidak bernasib baik supaya silaturahim terjalin erat dan tidak ada lagi jurang pemisah antara orang susah dengan masyarakat, dapat hidup dengan baik, tidak rasa terhina dengan kesusahan yang terpaksa ditanggungnya. Kedua golongan itu (anak yatim dan fakir miskin) wajib disayangi sepenuh hati kerana Allah. Apabila tidak perduli nasib mereka, Allah menganggap orang itu sebagai ‘pendusta agama’.
Allah memberi peringatan: “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang mengherdik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.”(QS. al-Ma’un:1-3)
Dengan perhatian serta pembelaan terhadap orang susah, masyarakat dapat hidup bersatu padu, tidak ada sifat dengki mendengki dan beban kesusahan dapat diatasi dengan baik. Hidup kita akan terhormat, disegani dalam pergaulan, menambah teman dan mendapat rezeki daripada Allah.
Islam mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhirat, agama untuk kebaikan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Karena itu, tampilan seorang muslim yang ideal adalah pribadi yang utuh, yaitu pribadi yang sukses dan maju dunianya, tapi juga tidak melupakan kewajiban bersujud kepada Allah SWT. Dia selalu bekerja keras dan berdisiplin, tapi kuat berdoa dan berserah diri. Seorang muslim yang baik adalah yang kaya harta tapi juga kaya hati karena selalu bersyukur dan bertawakal. Dia juga rajin bangun malam, bertasbih dan bersujud, tapi juga mempunyai kepekaan sosial yang tinggi.
Akan tetapi sebagian orang sering lebih peka terhadap masalah-masalah keagamaan yang kecil yang tidak prinsip (furu’) daripada masalah-masalah sosial yang lebih luas. Misalnya, emosi kita akan cepat terbakar bahkan cenderung tidak bertegur sapa terhadap jamaah disalah satu masjid yang berdzikir ramai-ramai dengan suara keras setelah shalat fardhu. Namun, kita sering tidak terusik ketika mendengar jerit tangis orang miskin yang tidak berdaya, demikian juga ketika melihat anak-anak Islam putus sekolah dan tidak mengenal Alquran.
Barangkali kita terlalu sempit dalam memaknai ibadah yang mendapat pahala, hanya terbatas pada ibadah-ibadah formal. Ibadah sebenarnya mencakup bidang-bidang yang sangat luas, termasuk bentuk-bentuk hablum minannaas. Hakikat ibadah adalah penghambaan diri dan penyerahan diri secara total kepada Sang Khaliq, Allah Azza Wajalla. Karena itu, apa saja, baik berupa ucapan maupun perbuatan, baik terang-terangan maupun berahasia, yang ditujukan untuk mendapatkan keridhaan dan kecintaan Allah adalah ibadah yang mendapat pahala. Bekerja mencari nafkah yang halal adalah ibadah. Turut menjaga keamanan, kebersihan lingkungan, memelihara kerukunan adalah ibadah. Menjadi pengusaha yang jujur atau menjadi pemimpin yang adil adalah ibadah. Menjadi pemikir atau peneliti untuk merumuskan teori-teori kemaslahatan adalah ibadah. Semua aktivitas seorang muslim dapat bernilai ibadah.
Ibadah-ibadah pokok dalam Islam selalu menawarkan dua pahala sekaligus. Ibadah shalat selain bertujuan berzikir berharap pahala akhirat, juga harus memberi pahala dunia mencegah perbuatan keji dan munkar, mengajarkan hidup bersih, dan menanamkan disiplin menghargai waktu. Ibadah puasa selain berharap rahmat, maghfirah, dan jannah-Nya kelak, juga harus memberi manfaat langsung terbentuknya pribadi unggul yang dapat mengendalikan hawa nafsu dan punya kepedulian sosial tinggi.
Beragama yang benar adalah jika seseorang dapat melaksanakan kebajikan secara seimbang antara hablum minallah dan hablu nunannas. Kebajikan yang seimbang adalah sebagaimana yang digambarkan oleh al-Qu’ran: “Bukanlah kebajikan itu bahwa kamu menghadapkan mukamu ke timur dan ke barat. Namun, kebajikan adalah (jika):- orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, para malaikat, kitab suci, dan beriman kepada para nabi, – orang-orang yang mau mendermakan hartanya, betapapun cinta orang itu kepada hartanya, untuk kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang telantar di perjalanan, peminta-minta, dan untuk membebaskan para budak, – mendirikan shalat, memberikan zakat, – orang-orang yang menepati janji jika berjanji, – orang-orang yang tabah menghadapi kesulitan dan kesusahan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa (QS. Al- Baqarah: 177).
Jadi, beragama yang benar tidak cukup dengan beriman, berpuasa sebulan penuh, shalat lima waktu, menunaikan zakat, dan ibadah-ibadah formal yang lain. Namun, selain itu harus mempunyai tanggung jawab sosial yang tinggi. Karena itu, belum sempurna keagamaan seseorang jika dia berkecukupan harta benda, sedangkan sanak kerabatnya dililit kemiskinan dan kefakiran. Tidak ada buahnya jika seseorang pergi berhaji setiap tahun, sedangkan para anak tetangganya tidak bersekolah karena tidak punya biaya. Orang muttaqin adalah sosok yang kuat beribadah kepada Allah, tapi juga kuat komit terhadap kehidupan sosial.
Sosok seorang muslim masa depan adalah orang yang dengan keislamannya dapat meraih sukses dunia dan akhirat. Itulah sebenarnya tujuan diturunkannya petunjuk al-Qu’ran. Yakni, agar manusia yang mau mengikutinya dapat mencapai kebahagiaan dunia akhirat
Sisi lain pada surat ini adalah berisi ancaman bagi para mushalli (orang yang mendirikan shalat) akan tetapi melalaikannya seperti firman Allah berikut ini:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ- الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ
“Celakalah (neraka Wail) orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dalam shalatnya”
Al-Haafidz Ibnu Katsir rahimahullahu ta’ala berkata, yang dimaksud orang-orang yang lalai dari shalatnya adalah:
- Orang tersebut menunda shalat dari awal waktunya sehingga ia selalu mengakhirkan sampai waktu yang terakhir.
- Orang tersebut tidak melaksanakan rukun dan syarat shalat sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Orang tersebut tidak khusyu’ dalam shalat dan tidak merenungi makna bacaan shalat.
Dan siapa saja yang memiliki salah satu dari ketiga sifat tersebut maka ia termasuk bagian dari ayat ini (yakni termasuk orang-orang yang lalai dalam shalatnya).
Apa Adzabnya ?
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari sahabat Samurah bin Junab radhiyallahu ‘anhu sebagaimana disebutkan dalam hadits yang panjang tentang sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam kisah tentang mimpi beliau):
“Kami mendatangi seorang laki-laki yang terbaring dan ada juga yang lain yang berdiri sambil membawa batu besar, tiba-tiba orang tersebut menjatuhkan batu besar tadi ke kepala laki-laki yang sedang berbaring dan memecahkan kepalanya sehingga berhamburanlah pecahan batu itu di sana sini, kemudian ia mengambil batu itu dan melakukannya lagi. Dan tidaklah ia kembali mengulangi lagi hal tersebut sampai kepalanya utuh kembali seperti semula dan ia terus-menerus mengulanginya seperti semula dan ia terus-menerus mengulanginya seperti pertama kali.”Disebutkan dalam penjelasan hadits ini “Sesungguhnya laki-laki tersebut adalah orang yang mengambil Al-Qur’an dan ia menolaknya, dan orang yang tidur untuk meninggalkan shalat wajib.”
Lalu Bagaimana Orang yang Meninggalkan Shalat Secara Mutlak ?
Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat secara keseluruhan hukumnya kafir keluar dari Islam, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Perbedaan antara kita dengan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkan shalat maka ia telah kafir.” (HR. At-Tirmidzi -Shahih)
Riya’ dan bahayanya
Salah satu indikator pendusta agama pada surat tersebut adalah Riya’ Allah berfirman:
الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ
Riya’ adalah salah satu bentuk penyimpangan keikhlasan, pada hakekatnya orang yang beribadah bukan karena Allah sebenarnya mereka telah menipu diri mereka sendiri (al-Baqarah:9). Riya’ termasuk syirik yang paling ditakuti Rasulullah shalallahu alaihi wasallam akan menimpa umat ini. Ibadah apapun yang dilakukan baik kecil maupun besar tidak akan sampai kepada Allah bila sudah ditunggangi sifat riya’. Dalam riwayat Bukhari &Muslim disebutkan bahwasanya amal itu tergantung niatnya.
Tidak peka terhadap permasalahan sosial atau enggan memberi pertolongan seperti firman Allah berikut ini.
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُون
Allah menjelaskan pada ayat ini bahwa pendusta agama itu adalah mereka hidup bergelimang dengan kemewahan, banyak harta akan tetapi enggan menginfaqkan sebagian hartnya. Dalam surat al-Lail disebutkan bahwa indikator orang yang bertakwa adalah suka memberi dan mengimani adanya kehidupan akhirat, sedangkan pendusta agama itu adalah orang yang bakhil dan tidak yakin dengan adanya kehidupan akhirat. Rasulullah bersabda “Peliharalah masa kayamu sebelum datangnya kefaqiran” dalam riwayat yang lain Rasulullah menganjurkan untuk senantiasa berbagi, saling tolong –menolong, memberi makan dll. Keselarasan dan keseimbangan antara hablum minallah dengan hablum minannas dalam beragama adalah suatu keniscayaan. Jadikanlah harta benda sebagai pembuka jalan (dengan cara berempati kepada sesama) agar mudah menuju surganya warisilah sifat-sifat kaum Anshar yang diabadikan dalam al-Qur’an berikut ini:
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung” (QS.Al-Hasyr: 9)