Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Al Quran yang artinya: “Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Taubat” (QS An Nashr: 1 – 3). Surah pendek dengan hanya 3 ayat ini nilai dan fadhilahnya menyamai seperempat Al-Qur’an (HR. At-Tirmidzi dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).
Dan menurut sebagian riwayat, ia merupakan surah yang diturunkan terakhir kali, yakni pada pertengahan hari-hari tasyriq di Mina pada haji wada’ (HR. An-Nasaa-i dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dan HR. Al-Bazzar dan Al-Baihaqi dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma), sebagai pertanda telah sempurnanya ajaran Islam dan telah berakhirnya tugas suci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mengemban amanah besar dari Allah Ta’ala, untuk menyeru dan membimbing ummat manusia ke jalan lurus, jalan Allah satu-satunya (QS. Al-Fatihah [1]: 6-7; QS. Al-An’am [6]: 153; QS. Yaasiin [36]: 61), yakni jalan tauhid, iman, ibadah dan penghambaan diri kepada Allah semata dalam bingkai dinul Islam yang murni. Oleh karena itu, turunnya surah ini dipahami sebagai tanda telah dekatnya ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bercerita bahwa, di hari-hari terakhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam banyak mengucapkan dzikir dan doa: “Subhanallah wabihamdih, astaghfirullah, wa atubu ilaih”, dan beliau bersabda (yang artinya): “Sungguh Rabb-ku (Tuhan-ku) telah memberitahuku bahwa aku akan mendapatkan suatu tanda pada ummatku, dan Dia memerintahkan jika telah mendapatkannya agar aku bertasbih memuji-Nya dan beristighfar kepada-Nya, karena sungguh Dia Maha Penerima taubat, dan aku telah mendapatkannya, …lalu beliaupun membaca surah An-Nashr” (HR. Ahmad dan Muslim).
Dan dalam hadits lain disebutkan bahwa, setelah surah An-Nashr turun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam ruku’ dan sujud beliau banyak membaca dzikir: Subhanaka Allahumma [Rabbana] wa bihamdika, Allahumma-ghfirli, dalam rangka melaksanakan perintah Allah dalam Al-Qur’an surah An-Nashr ayat 3 (lihat HR. Muttafaq ‘alaih dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan HR. Ahmad dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu).
Syukur dan Istighfar
Islam adalah agama yang indah dalam berbagai aspeknya, karena memang berasal dari Allah Ta’ala Dzat Yang Maha Indah. Dan salah satu sisi serta bentuk keindahan itu terlihat pada arahan, petunjuk dan bahkan perintahnya pada momen kesuksesan sempurna dan kemenangan puncak.Dimana dalam situasi dan kondisi seperti itu biasanya orang akan berbangga diri, sombong karena merasa paling hebat, bersuka ria melampiaskan kegembiraan dengan penuh kelalaian dan sikap lupa diri, dan semacamnya.
Namun Islam justru memerintahkan kebalikan dari itu semua. Ya, melalui firman-Nya dalam surah An-Nashr ini, Allah memerintahkan kekasih-Nya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat mendapat kemenangan puncak itu untuk justru merunduk dan merendah dalam rangka menyadari kelemahan diri dan sekaligus mengekspresikan rasa syukur yang sedalam-dalamnya kepada Allah dengan banyak-banyak bertasbih dan bertahmid mengagungkan dan memuji Asmaa’-Nya. Semuanya wajib dikembalikan kepada Allah, karena Dia-lah Pemilik dan Pemberi semuanya.
Tapi perintah Allah tidak hanya terbatas pada syukur, tasbih dan tahmid saja. Melainkan masih diteruskan dengan arahan dan perintah yang lebih indah lagi, yakni perintah untuk beristighfar dan memohon ampun pada momen kemenangan puncak dan puncak kemenangan. Ini benar-benar tidak biasa, dan bahkan mungkin dianggap “aneh” dan nyleneh: pemenang mutlak disuruh mengakui kesalahan, beristighfar, dan mohon ampun. Sungguh sesuatu yang sangat tidak mudah dijalankan kecuali oleh orang-orang agung yang telah tersucikan jiwanya. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-pun memberikan contoh dan keteladanan terbaik kepada kita dengan langsung melaksanakan perintah Allah tersebut, sebagaimana kita dapati dalam riwayat-riwayat di atas. (AMJ)