Tafsir Ibnu Katsir

  • Sumo

Kitab Tafsir Ibnu Kasir banyak digunakan sebagai rujukan karena terkenal sebagai kitab tafsir yang dikelompokkan ke dalam tafsir bil ma’sur atau tafsir bir-riwayah (penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan riwayat hadits-hadits Nabi SAW dan atsar-atsar ulama salaf), disamping juga menggabungkan dan memadukannya dengan metode tafsir bil-ma’qul atau tafsir bid-dirayah (penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan pemahaman akal penalaran logika ahli tafsir sendiri).

 Sehingga terhimpunlah di dalamnya ilmu pengetahuan dan kelebihan yang sangat banyak. Karena di dalamnya terkandung dan termuat dua sumber pokok ajaran dan hukum Islam, yaitu Alqur’anul Karim dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, ditambah dengan ilmu yang benar dan pemahaman yang murni terhadap keduanya..

Metode yang dilakukan Ibnu Katsir dalam penulisan kitabnya dengan memakai pendekatan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, yakni penafsiran suatu ayat dengan ayat-ayat lain ada di dalam surat-surat lain, yang dinilai semakna, atau selaras, atau terkait, atau sebagai penjelas dan perinci ayat yang sedang ditafsirkan itu. Dan ini sangat menonjol dalam tafsir Ibnu Katsir. Sehingga ia menjadi salah satu kitab rujukan terbaik untuk mengetahui kumpulan ayat-ayat yang semakna atau saling terkait di dalam Al-Qur’an.

Disamping itu, salah satu keistimewaan lain yang sangat menonjol dalam tafsir ini adalah penafsiran Al-Qur’an dengan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan untuk ini juga biasanya Imam Ibnu Katsir concern pada penghimpunan dan penyebutan riwayat-riwayat hadits terkait dengan makna ayat yang sedang ditafsirkan. Dan dalam hal riwayat hadits ini, metode yang digunakan adalah beliau selalu menyebutkan setiap hadits lengkap dengan sanadnya. Disamping beliau merujuk beragam induk kitab hadits. Namun perlu diketahui dan dicatat, bahwa yang paling banyak dan dominan beliau kutip dan jadikan sumber rujukan utama adalah kitab Musnad Iman Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Sehingga saat menyebutkan dan mengutip hadits hampir selalu beliau mulai dan juga kebanyakan beliau ambil dari kitab himpunan hadits monumental karya imam agung ini. Adapun tentang mengapa begitu? Apakah itu karena saking ta’ashshub-nya beliau dengan Imam Ahmad? Tentu sama sekali tidak demikian, karena madzhab beliau adalah madzhab Sya-fi’i dan bukan madzhab Hanbali. Maka dugaan kuatnya adalah karena kitab Musnad Imam Ahmad merupakan kitab himpunan hadits terbesar, terbanyak dan terlengkap yang ada dan tersedia. Karena disebutkan bahwa, kitab beliau ini menghimpun kurang lebih 40.000 (empat puluh ribu) hadits. Sedangkan kitab-kitab lain seperti Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, kitab-kitab Sunan dan lainnya, jauh di bawah jumlah itu himpunan hadits-haditsnya. Termasuk seandainya sejumlah kitab hadits yang lain itu dikumpulkan sekalipun, maka tetap saja jumlah hadits-haditsnya tidak bisa menyamai bilangan hadits satu kitab milik Imam Ahmad itu. Wallahu a’lam.

 Selanjutnya beliau juga tidak pernah lupa untuk memperkaya tafsirnya dengan riwayat-riwayat atsar dari para sahabat, tabi’in, tabi’it-tabi’in dan ulama salaf yang lain. Dan dari kalangan mufassir sahabat, yang paling banyak beliau rujuk dan kutip tentu saja sahabat yang berjuluk Turjuman Al-Qur’an (“Juru Bicara” Al-Qur’an), siapa lagi kalau bukan sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Dan disamping itu tentu, sebagaimana telah disebutkan, beliau juga memadukan tafsir bilma’tsur/bir-riwayah tadi dengan tafsir bir-ra’yi/bil-ma’qul/bid-dirayah. Yakni beliau tafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan pemahaman dan penalaran akal beliau berdasarkan keluasan ilmu yang telah beliau miliki, yang disyaratkan bagi seorang mufassir Al-Qur’an. Sedangkan penafsiran Al-Qur’an bir-ra’yi yang terlarang dan tercela seperti disinyalir dalam beberapa hadits, yang dimaksud adalah penafsiran tanpa dasar ilmu, atau penafsiran asal-asalan dari yang bukan ahlinya. Dan makna kedua adalah, penafsiran Al-Qur’an berdasarkan hawa nafsu yang melakukannya. Sedangkan Imam Ibnu Katsir tentu saja dijamin jauh dari kedua makna tersebut.

Jadi bila disimpulkan, maka Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengikuti cara dan metode sebagai berikut:

  1. Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, seperti yang telah disebutkan dan dijelaskan diatas. Dan ini merupakan cara dan metode terbaik serta paling ideal dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dan Imam Ibnu Katsir adalah “jago”-nya dalam hal ini.
  2. Menafsirkan al-Qur`an dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Katsir menjadikan Sunnah sebagai referensi kedua dalam penafsirannya. Bahkan dalam hal ini, beliau tidak tanggung-tanggung untuk menafsirkan suatu ayat dengan berpuluh-puluh hadits, bahkan bisa mencapai 50 hadits. Contoh untuk hal ini bisa dilihat misalnya ketika menafsirkan surat al-Isrâ.
  3. Tafsir Qur`an dengan atsar (perkataan) sahabat. Ibnu Katsir berkata, jika kamu tidak mendapati tafsir dari suatu ayat dari al-Qur`an dan Sunnah, maka jadikanlah para sahabat sebagai rujukanmu, karena para sahabat adalah orang yang terpercaya dan mereka sangat mengetahui kondisi serta keadaan turunnya wahyu. Beliau memakai konsep ini berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya perkataan Ibn Mas’ud: “Demi Allah tidak ada suatu ayatpub yang turun kecuali aku tahu bagi siapa ayat itu turun dan di mana turunnya. Dan jika ada seseorang yang lebih mengetahui dariku mengenai kitab Allah, pastilah aku akan mendatanginya“. Juga riwayat yang lain mengenai didoakannya Ibn Abbas oleh Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Allah pahamkanlah Ibn Abbas dalam agama (karuniakanlah ilmu fiqih tentang agama) serta ajarkanlah ta’wil (ilmu tafsir) kepadanya“.
  4. Menafsirkan Al-Qur’an dengan perkataan Tabi’in. Ibn Katsir memakai dan mengikuti metode ini, karena hamper seluruh ulama tafsir melakukannya. Artinya, banyak ulama tabi’in yg dijadikan rujukan dalam tafsir. Seperti perkataan ibn Ishaq yang telah menukil dari Mujahid, bahwa beliau memperlihatkan mushaf beberapa kali kepada Ibn Abbas, dan ia menyetujuinya. Sufyan al-Tsauri berkata, “jika Mujahid menafsirkan ayat cukuplah ia bagimu”. Selain Mujahid, di antara ulama tabi’in adalah Sa’id bin Jubair, Ikrimah, Atha’ bin Rabah, Hasan al-Bashri, Masruq bin al-Ajdi, Sa’id bin Musayyab, Abu al-’aliyah, Rabi’ bin Anas, Qatadah, al-Dahhaak bin Muzaahim, dan lain-lain, rahimahumullah wa radhiya ‘anhum.
  5. Penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan Ra’yu atau pandangan akal dan pemahaman logika. Intinya, seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa cara dan metode ini boleh bahkan harus dilakukan, tapi tentu dengan ketentuan yang melakukannya harus memenuhi syarat-syarat seorang mufassir yang telah disepakati para ulama. Karena seandainya cara ini tidak boleh dilakukan secara mutlak, maka tentu konsekuensi dan akibatnya akan banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak bisa ditafsirkan. Karena jumlah riwayat tafsir khususnya dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah terbatas sekali. Dan masih lebih banyak ayat-ayat yang tidak ada riwayat tafsirnya sama sekali.
  6. Tidaklah benar apa yang disebutkan bahwa Imam Ibnu Katsir mendasarkan tafsirnys pada riwayat-riwayat Israliyat secara dominan. Akan tetapi yang benar bahwa, beliau telah melakukan penyeleksian secara sangat teliti, sehingga tafsir ini, dalam hal riwayat Israiliyat, justru dinilai lebih baik dan lebih selektif daripada Tafsir At-Thabari sendiri.

Intinya Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim yang lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir ini adalah merupakan induk dari seluruh induk kitab tafsir setelah Tafsir Ath-Thabari yang lebih klasik. Dimana hampir bisa dipastikan tidak ada seorangpun yang menulis dan menafsirkan Al-Qur’an setelah abad VIII Hijriyah sampai sekarang dan insyaa-allah sampai seterusnya melainkan pasti menjadikan Tafsir Imam Ibnu Katsir sebagai rujukan dan referensi utama. Karena jika ada yang bertanya, apa kitab tafsir standar yang disepakati oleh semua ulama, maka jawaban yang juga tidak akan diperselisihkan: Dialah Tafsir Ibnu Katsir!

Adapun bagi yang belum mampu menelaah tafsir ini dalam bahasa aslinya, bahasa Arab, maka edisi terjemahannya dalam bahasa Indonesia pun telah lama beredar, dan  dalam lebih dari satu versi terjemahan dan edisi terbitan. Bahkan terjemahan edisi ringkasan dan seleksiannya pun telah tersedia. Dan diantara ulama yang meringkas atau menyeleksi Tafsir ini dengan tujuan untuk lebih mendekatkannya pada pemahaman masyarakat saat ini, adalah: Muhammad Ali Ash-Shabuni, Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Syaikh, dan lain-lain. (amj)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.