Surat pendek ini menyamai sepertiga Al-Qur’an sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa hadits shahih. Hal ini tidak aneh jika kita tilik dari kandungannya. Tema utama surat ini adalah tentang hal yang paling prinsipil dalam Islam, yakni tauhid. Al-Ikhlash sendiri, yang menjadi nama bagi surat yang mulia ini, berarti keikhlasan hati dalam memurnikan tauhid kepada Allah SWT. Sementara tema tauhid merupakan sepertiga kandungan Al-Qur’an, dimana kandungan Al-Qur’an itu secara umum mencakup tiga perkara : tauhid (aqidah), syariah (hukum-hukum), dan akhlaq. Mengenai sebab turunnya surat ini, diriwayatkan dari ‘Ubay bin Ka’ab bahwa kaum musyrikin berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,”Wahai Muhammad, sebutkan kepada kami nasab tuhanmu”. Maka Allah pun menurunkan Qul huwallahu ahad (dan seterusnya sampai akhir QS Al-Ikhlas) (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Adapun keutamaan surat ini antara lain tergambar dalam beberapa riwayat berikut ini :
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang untuk menjadi komandan dalam sebuah ekspedisi perang. Setiap kali sang komandan tersebut menjadi imam sholat, dia menutup bacaannya dengan Qul huwallahu ahad (QS Al-Ikhlash). Ketika kembali, para sahabat yang menyertainya menyampaikan hal tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi bersabda,”Tanyakan kepadanya mengapa ia melakukan hal itu!” Dan ketika hal itu ditanyakan, ia menjawab,”Surat ini (berisi) sifat-sifat Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih) dan aku suka membacanya”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Beritahukan kepadanya bahwa Allah Ta’ala mencintainya”. (HR Bukhari, Muslim, dan Nasai)
Dalam riwayat Anas radhiyallahu ‘anhu, diceritakan juga kisah serupa dimana seorang sahabat Anshar, ketika menjadi imam, senantiasa membuka bacaannya dalam sholat dengan QS Al-Ikhlash lalu mengikutinya dengan surat yang lain. Ketika hal itu ditanyakan kepadanya, dia menjawab,”Karena aku mencintai surat ini”. Maka Nabi pun bersabda,”Kecintaanmu kepada surat tersebut telah memasukkanmu kedalam Surga” (HR Bukhari)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa seseorang mendengar sahabatnya membaca berulang-ulang QS Al-Ikhlash (dalam sholat malam). Maka ia pun menyampaikan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan seolah-olah meremehkan yang demikian itu. Maka Nabi pun bersabda,”Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, sesungguhnya surat itu menyamai sepertiga Al-Qur’an” (HR Bukhari).
Dalam riwayat lain dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda kepada para sahabat,”Tidakkah salah seorang dari kalian mampu membaca sepertiga Al-Qur’an dalam satu malam?” Maka hal itu pun terasa berat bagi mereka, sehingga mereka berkata,”Siapa yang mampu melakukannya, wahai Rasulullah?” Maka Rasulullah pun menjawab bahwa QS Al-Ikhlash menyamai sepertiga Al-Qur’an (HR Bukhari).
Dan dalam hadits riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha , bahwasanya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersiap untuk tidur setiap malam, maka beliau mempertemukan kedua telapak tangannya dan meniup pada keduanya seraya membaca QS-Ikhlash, QS Al-Falaq, dan QS An-Naas lalu mengusapkannya ke seluruh bagian badannya dimulai dari kepala, wajah, dan bagian depan badan beliau. Dan beliau mengulang yang demikian itu tiga kali (HR Bukhari dan Ashabus Sunan).
Inti dari kandungan QS Al-Ikhlash terdapat dalam ayat pertama yang menegaskan tentang keesaan Allah Ta’ala, sementara ayat-ayat berikutnya merupakan penjelasan yang menegaskan makna ayat pertama tersebut. Jadi, Allah adalah Maha Esa dalam rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat – Nya. Jika kata wahid (satu) memungkinkan adanya yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, maka tidak demikian halnya dengan kata ahad (maha esa) yang berarti hanya satu tanpa ada yang lainnya. Oleh karena itulah, surat ini disebut dengan Surat Al-Ikhlash (Surat At-Tauhid wa At-Tanzih) yang berintikan pemurnian tauhid kepada Allah dengan cara menyucikan Dzat, Nama, dan Sifat-Nya dari segala makna kekurangan, kelemahan, cacat, keserupaan dengan makhluq dan segala bentuk penyekutuan (syirik).
Ayat kedua merupakan penjelasan atas ayat pertama dalam hal keesaan Allah Ta’ala, yang menegaskan bahwa Allah itu Maha Sempurna dalam Dzat dan Sifat-sifat-Nya, sehingga sama sekali tidak membutuhkan kepada yang lain, tetapi justru segenap yang lainnya mesti butuh dan bersandar kepada-Nya dalam segenap keperluannya.
Ayat ketiga, disamping berisikan penegasan tentang keesaan dan kemahasempurnaan Allah, dan penafian segenap kelemahan serta cacat dari Sifat-sifat-Nya, juga merupakan bantahan telak terhadap semua orang yang menyekutukan Allah Ta’ala dengan menjadikan bagi-Nya anak, yakni orang-orang Yahudi yang mengatakan bahwa Uzair adalah anak Allah, orang-orang Nasrani yang mengatakan bahwa Isa adalah anak Allah (QS At-Taubah : 30), dan juga orang-orang musyrik Arab yang mengatakan bahwa para malaikat adalah anak-anak perempuan Allah (QS An-Nahl : 57).
Ayat terakhir menegaskan salah satu konsekuensi dari makna tauhid, yakni penafian segenap bentuk penyekutuan dan penyerupaan terhadap Allah sekaligus bantahan terhadap semua orang yang menyekutukan Allah (musyrikin) dan yang menyerupakan Allah dengan makhluq-Nya (musyabbihin). Penafian dan bantahan serupa juga terdapat dalam banyak ayat yang lain, antara lain firman Allah (yang artinya),”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS Asy-Syura : 11). Ayat ini juga merupakan bantahan terhadap semua orang yang menafikan sifat-sifat Allah (mu’aththilin).
Demikianlah, Surat Al-Ikhlas ini meskipun pendek tetapi memuat intisari dari risalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan seluruh nabi dan rasul ‘alaihimussalam, yakni tauhid.