Sekarang kita sedang berada di penghujung tahun 1440 Hijriyah dan akan memasuki tahun baru 1441 Hijriyah. Khalifah Umar bin Al-Khaththab telah menetapkan hijrah Rasulullah saw dari Mekkah ke Madinah sebagai tonggak ditetapkannya tahun Hijriyah. Hijrah sendiri dari sudut bahasa bermakna ‘berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya’. Selama masa kenabian Rasulullah saw, telah terjadi tiga kali hijrah atas perintah Allah Ta’ala. Hijrah yang pertama adalah hijrahnya sebagian sahabat Nabi saw dari Mekkah ke Habasyah dalam rangka untuk mencari tempat yang lebih aman, karena di Mekkah kaum musyrikin terus melakukan tekanan dan intimidasi kepada para pengikut Nabi saw.
Adapun hijrah yang kedua adalah hijrahnya Nabi saw dari Mekkah ke Thaif. Ini dilakukan oleh Nabi saw karena kaum musyrikin semakin meningkatkan intimidasinya terhadap diri beliau, setelah Abu Thalib – paman dan sekaligus penjamin beliau – telah tiada. Namun setelah sampai di Thaif, ternyata Nabi saw justru diusir oleh para penduduknya.
Hijrah yang ketigalah yang akhirnya memberikan harapan besar kepada masa depan dakwah Islam. Rasulullah saw bersama para sahabatnya berhijrah dari Mekkah ke Yatsrib – yang belakangan kemudian diubah namanya oleh Nabi saw menjadi Madinah. Hijrah ini dilakukan pada tahun ke-13 kenabian (622 M), setelah adanya kepastian dukungan dari sekelompok penduduk Yatsrib – yang biasa disebut Anshar – bahwa mereka rela untuk mengorbankan segala yang mereka miliki, dalam keadaan suka maupun duka, untuk membela Rasulullah saw dan agama yang dibawanya. Peristiwa hijrah ke Madinah ini sedemikian penting, sampai-sampai Allah dan Rasul-Nya berlepas tangan dari orang-orang yang tidak mau turut berhijrah, kecuali mereka yang keadaannya benar-benar tidak memungkinkan.
Dalam peristiwa hijrah ke Madinah, para sahabat rela meninggalkan rumah, harta, dan sanak keluarga mereka di Mekkah, demi perjuangan untuk menegakkan agama Allah. Sudah begitu, mereka pun harus sembunyi-sembunyi untuk bisa berhasil melakukan hijrah. Sebuah pengorbanan yang amat besar, yang didasarkan kepada kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, melebihi kecintaan terhadap apapun selain keduanya.
Hijrah Maknawiyah: Makna Lain Hijrah
Hijrah juga bisa dimaknai secara maknawiyah, yaitu berpindah dari keburukan kepada kebaikan. Hijrah dengan pengertian maknawiyah ini meliputi hijrah dari kekufuran menuju iman, hijrah dari jahiliyah menuju islam, hijrah dari syirik menuju tauhid, hijrah dari kemaksiatan menuju ketaatan, hijrah dari jelek menjadi baik, hijrah dari baik menjadi lebih baik lagi, dan sebagainya. Adanya pengertian maknawiyah dari hijrah ini ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam sabda beliau: “Seorang muslim adalah seseorang yang menghindari menyakiti muslim lainnya dengan lidah dan tangannya. Sedangkan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan semua apa yang dilarang oleh Allah.” (Shahih Al Bukhari)
Bisa jadi tidak setiap kita perlu melakukan hijrah dalam pengertian berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Namun tidak bisa disangsikan lagi, setiap kita – siapapun kita – perlu melakukan hijrah dalam pengertian maknawiyah. Bahkan meskipun kita sudah baik, kita tetap perlu melakukan hijrah, yaitu berhijrah untuk menjadi lebih baik lagi.
Jika 1441 tahun yang lalu Rasulullah saw bersama para sahabat beliau telah berhijrah dari Mekkah ke Madinah demi mengusung misi agama Allah, maka kita yang hidup saat ini juga harus berhijrah: berhijrah dari keadaan yang buruk menuju keadaan yang baik, dan dari keadaan yang baik menuju keadaan yang lebih baik lagi. Bagi seorang muslim, hari ini harus lebih baik daripada kemarin, dan hari esok harus lebih baik daripada hari ini. Wallahu a’lam bish shawab. [Abdur Rosyid]