Iman memiliki kepekaan yang bisa disebut dengan kepekaan iman (al-hasasiyyah al-imaniyyah), yang merupakan salah satu parameter utama tingkat dan kualitas iman seseorang. Sehingga sejauh mana tingkat dan kualitas iman kita, bisa dilihat dan diketahui dari tingkat dan kualitas kepekaan dan sensitivitasnya. Dan kepekaan atau sensitivitas iman itu memiliki tanda-tanda antara lain sebagai berikut:
- Muraqabatullah (kesadaran akan pengawasan Allah) sampai derajat ihsan seperti dalam hadits Jibril ‘alaihissalam, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ، فَإِنَّهُ يَرَاكَ” (الحديث، رواه مسلم).
“(Derajat ihsan) adalah hendaknya kamu beribadah kepada Allah, (dengan sikap) seakan-akan kamu melihat-Nya. Dan meskipun kamu tidak bisa benar-benar melihat-Nya (karena memang tidak mungkin di dunia ini), maka (ketahui dan yakinilah) bahwa, Dia selalu melihatmu” (HR. Muslim dari Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu).
Allah swt berfirman yang artinya: Dan katakanlah: “Beramallah kamu, maka Allah akan melihat amalmu, begitu pula Rasul-Nya dan orang-orang mukmin. Dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa-apa yang telah kamu amalkan (di dunia)” (QS. At-Taubah: 105).
- Kuat dan dominannya orientasi ukhrawi (orientasi pada kehidupan akhirat) dalam diri seseorang. Allah swt berfirman yang artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah sebagaimana Allah elah berbuat baik kepadamu, serta janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Al-Qashash: 77).
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال:َ “الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ” (رواه الترمذي وابن ماجة وأحمد، وقَالَ الترمذي: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ).
Dari Syaddad bin Aus dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam beliau bersabda: “Orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengevaluasi dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian. Sedangkan orang yang lemah (bodoh) adalah orang memperturutkan hawa nafsunya dan berangan-angan (kosong) kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad. At-Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan).
- Rasa kepekaan yang baik terhadap masalah halal, haram, syubhat dan semacamnya.
Dari An Nu’man bin Basyir dia berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda -Nu’man sambil menujukkan dengan dua jarinya kearah telinganya-: “Sesungguhnya yang halal telah nyata (jelas) dan yang haram telah nyata pula. Dan di antara keduanya ada perkara yang tidak jelas (syubhat), yang tidak diketahui kebanyakan orang. Maka barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang meragukan (syubhat), selamatlah agama dan harga dirinya. Tetapi siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka sama saja ia terjatuh dalam keharaman. Tak ubahnya seperti gembala yang menggembala di sekitar batas terlarang, dikhawatirkan ternaknya akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah, setiap raja itu memiliki larangan, dan larangan Allah adalah sesuatu yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, bahwa dalam setiap tubuh manusia terdapat segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh tubuhnya, namun jika segumpal daging tersebut rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, gumpalan darah itu adalah hati.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
- Merasakan dan peka terhadap kecemburuan, kemarahan dan murka Allah ketika pelanggaran-pelanggaran terhadap syariat-Nya terjadi.
Dari Abu Salamah bahwa ia mendengar Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah itu cemburu. Dan kecemburuan Allah datang bilamana seorang mukmin melakukan hal yang diharamkan Allah.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
- Merasa senang, lega dan bahagia dengan setiap kebaikan dan ketaatan yang dilakukan olehnya atau oleh orang lain. Dan sebaliknya merasa sedih, kecewa dan marah terhadap setiap keburukan dan kemaksiatan yang diperbuat olehnya atau oleh orang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ، وَ سَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ، فَهُوَ مُؤْمِنٌ”
”Barangsiapa bersenang hati dengan amal kebaikannya, dan bersedih hati dengan keburukan yang diperbuatnya, maka berarti dia adalah seorang mukmin” (HSR Ath-Thabrani).
- Tidak meremehkan perbuatan dosa termasuk dosa-dosa kecil. Melainkan merasa dan menganggap setiap dosa, sekecil apapun, sebagai beban yang berat dan sesuatu yang menakutkan baginya. Para ulama salaf berkata:
لا تَنْظُرْ إِلَى صِغَرِ المَعْصِيَةِ، ولَكِنِ انْظُرْ إِلَى عِظَمِ مَنْ عَصَيْتَ !
(Jika mau bermaksiat) janganlah kamu melihat pada kecilnya maksiat (andaipun ia maksiat dan dosa kecil), namun lihat dan ingatlah akan kebesaran dan keagungan Dzat yang kamu maksiati (durhakai), yakni Allah ‘Azza wa Jalla.
- Peka dalam menangkap hasil dan pengaruh positif dari setiap ketaatan dan kebaikan, serta dampak dan akibat negatif dari setiap keburukan dan kemaksiatan. Karena kaidahnya bahwa, apapun yang terjadi dalam kehidupan kita, baik dan buruk, kecil dan besar, adalah sangat terkait erat dengan prilaku dan amal kita, yang berupa ketaatan dan kemaksiatan. Hanya saja kebanyakan orang tidak peka dalam menangkap dan menyadari hal itu!
Salah seorang ulama salaf berkata:
إِذَا أَذْنَبْتُ ذَنْبًا، فَإِنِّي أَرَى أَثَرَ ذلِكَ عَلَى سُلُوكِ أَهْلِي وَدَابَّتِي.
Jika aku membuat suatu dosa, maka sungguh aku bisa (langsung) melihat pengaruh dan dampak buruknya terhadap prilaku keluargaku dan bahkan hewan tungganganku!
- Cepat sadar dan segera bertaubat serta beristighfar saat terpeleset ke dalam perbuatan maksiat dan perilaku dosa serta tindak nista. Allah swt berfirman yang artinya: “Dan (termasuk golongan kaum muttaqin juga) orang-orang yang apabila (terlanjur) mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri (dengan berbuat maksiat), mereka segera ingat Allah, lalu (segera pula) memohon ampun atas dosa-dosa mereka – dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? – dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui” (QS. Ali ‘Imraan: 135).
- Merasakan pengaruh di hati dan jiwa (adz-dzauq al-imani al-qalbi), berupa rasa nikmat dan lezat dari ibadah-ibadah shalat, dzikir, doa, tilawatul-Qur’an, dan lainnya. Seperti misalnya hati yang bergetar, rasa khusyuk dan tenang, menangis karena rasa khasy-yah (takut) kepada Allah, dan lain-lain. Allah swt berfirman yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhan-lah mereka bertawakkal” (QS. Al-Anfaal: 2).
Dan salah satu dari tujuh golongan orang yang akan mendapatkan naungan Allah di Hari Kiamat adalah:
“وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ” (الحديث، متفق عليه).
“Serta seorang yang berdzikir kepada Allah dalam khalwatnya (secara menyendiri) hingga kedua matanya basah karena menangis.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
- Peka dalam membedakan antara suara hati nurani dan bisikan hawa nafsu.
Dari Wabishah Al Asadi. ia berkata: Saya datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan saya ingin agar tidak ada kebajikan atau keburukan kecuali aku harus menanyakannya pada beliau. Dan pada saat itu di sekeliling beliau banyak kaum muslimin yang sedang meminta nasehat kepada beliau. Maka aku pun nekat melangkahi mereka hingga orang-orang itu berkata: Wahai Wabishah, menjauhlah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menjauhlah wahai Wabishah! Saya berkata: Biarkan saya mendekat kepada beliau. Karena beliau adalah orang yang paling saya cintai dan sukai untuk saya dekati. Maka beliau pun berkata: “Biarkan Wabisah mendekat. Mendekatlah wahai Wabishah.” Beliau mengatakannya dua atau tiga kali. Wabishah berkata: Saya pun mendekat kepada beliau hingga saya duduk di hadapannya. Kemudian beliau bertanya: “Wahai Wabisah, aku beritahukan kepadamu atau kamu yang akan bertanya padaku?” saya menjawab: Tidak, akan tetapi beritahukanlah padaku. Beliau lantas bersabda: “Kamu datang untuk bertanya mengenai kebajikan dan keburukan (dosa)?” Saya menjawab: Benar. Beliau kemudian menyatukan jari-jari beliau seraya menyentuhkannya ke dadaku. Setelah itu beliau bersabda: “Wahai Wabishah, mintalah petunjuk pada hati dan jiwamu -beliau mengulanginya tiga kali-. Kebajikan itu adalah sesuatu yang dapat menenangkan dan menentramkan jiwa. Sedangkan keburukan itu adalah sesuatu yang meresahkan hati dan menyesakkan dada, meskipun manusia memberimu fatwa dan membenarkanmu.” (HR. Ahmad dan Ad-Darimi).
- Peka dalam menyadari dan merasakan nikmat-nikmat Allah, khususnya yang jarang disadari oleh kebanyakan orang, yang akan mendorong seseorang untuk senantiasa meningkatkan syukurnya kepada Allah Ta’ala. Allah swt berfirman yang artinya: “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya.. Dan jika kamu (hendak) menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat dzalim dan sangat kufur (mengingkari nikmat Allah)” (QS. Ibrahim: 34)..
“Dan jika kamu (hendak) menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. A-Nahl: 18). (AMJ)