Abu Abbas Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi ra, berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah tunjukkan kepadaku suatu amalan yang apabila kulakukan, aku akan dicintai Allah dan dicintai manusia.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Zuhudlah terhadap dunia pasti Allah mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, pasti manusiapun mencintaimu’.” ( HR. Ibnu Majah dan yang lain. Hadits ini hasan)
Mendengar kata “zuhud” seketika yang terbersit dalam pikiran kebanyakan orang adalah bayangan kehidupan miskin dan serba kekurangan. Itulah setidaknya persepsi yang selama ini terbangun dalam benak sebagian besar masyarakat kita.
Menjadi miskin memang bukanlah cita-cita dan harapan hidup seseorang, meskipun terkadang ia harus siap menerima kenyataan pahit sebagai orang yang berkekurangan. Sebaliknya hidup berkecukupan dan dapat memenuhi segala kebutuhan adalah bayangan indah setiap orang dan karenanya ia siap berkorban apa saja untuk mendapatkannya. Lantas dimanakah posisi zuhud? Apakah dalam kondisi miskin atau kaya seseorang bisa bersikap zuhud? Benarkah hidup zuhud harus miskin ? Benarkah seseorang yang bercukupan tidak bisa hidup zuhud? Lalu bagaimanakah pengertian zuhud yang benar ? Itulah sebagian pertanyaan yang mengemuka lantaran pemahaman zuhud selama ini belumlah sama antara satu dan lainnya.
Hadits yang sedang kita ketengahkan kali ini adalah salah satu petunjuk Nabi saw tentang sikap zuhud yang benar dengan dua hal. Pertama, zuhud di dunia agar kita mendapatkan cinta Allah dengan cara menghadirkan perasaan dan keyakinan bahwa apa yang ada di sisi Allah jauh lebih mulia dan berharga dari apa yang ada di dunia. Dunia hanyalah sesuatu yang bersifat sementara, jangan sampai kita tertipu olehnya. Allah SWT telah memberikan arahan: “Janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu” (QS Luqman: 33).
Kita hendaknya menjadikan dunia hanya sebagai sasaran antara untuk mendapatkan apa yang ada di sisi Allah SWT, jadi bukan sebagai tujuan utama. Adapun keinginan untuk meraih apa yang ada di sisi Allah hendaknya kita perjuangkan dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan.
Kedua, zuhud terhadap apa yang dimiliki orang lain agar kita bisa meraih cinta dan kasih sayang mereka. Maksudnya kita tidak boleh dengki, iri hati serta tamak terhadap nikmat yang Allah berikan kepada orang lain, apalagi ada keinginan untuk merampas, menghilangkan dan merusak hak dan milik orang lain. Hal itu adalah perbuatan dosa yang hanya akan mendatangkan murka Allah dan kebencian manusia. Bahkan, kita pun tidak boleh merasa sekadar bangga di atas penderitaan orang lain. Malah sebaliknya, kita harus berusaha menunjukkan empati kita, kesiapan kita untuk membantu orang lain yang membutuhkan uluran tangan kita. Inilah makna hakiki dari nilai-nilai zuhud yang diajarkan oleh agama kita.
Dua hal tersebut jika mampu kita rengkuh maka yakinlah kita akan bisa hidup bahagia sebagaimana yang kita impikan, di hadapan Allah kita mendapatkan ridha-Nya dan tengah-tengah manusia kita mendapatkan kehormatan dan kasih sayang mereka. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT yang berbunyi: “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia.”(QS. Al Baqarah: 112)
Ada banyak pendapat yang dikemukakan oleh para salafusshalih tentang zuhud, namun semuanya bermuara pada sebuah definisi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Abu Idris Al-Khaulani ra, berkata, “Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang harta, akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah lebih menyakini keberadaan apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan kita. Jika ditimpa musibah maka kita lebih berharap untuk mendapatkan pahala”.
Jadi pada dasarnya zuhud bisa disimpulkan pada tiga hal. Pertama, lebih meyakini keberadaan apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan kita. Kedua, jika seseorang mendapatkan musibah dalam urusan dunia, misalnya hilangnya harta benda atau meninggalnya anak, maka ia lebih berharap akan mendapat pahala atas musibah tersebut. Ketiga, baik pujian maupun cercaan tidak memperngaruhinya dalam berpegang teguh pada kebenaran. Ketiga hal tersebut adalah amalan hati. Karena itu Abu Sulaiman Ad-Darany berkata “Janganlah kamu bersaksi bahwa seseorang itu orang yang zuhud, karena zuhud itu tempatnya di hati.”
Imam Hasan Al-Bashri berkata, “Seorang yang zuhud adalah jika ia melihat orang lain, ia berkata, “Ia lebih baik daripada aku.” Wahb bin Al-Ward berkata, “Zuhud adalah hendaknya kamu tidak bersedih ketika kehilangan dunia dan tidak bangga ketika mendapatkannya” seperti firman-Nya “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”(QS. Al Hadid: 23)
Az-Zuhri berkata ketika ditanya tentang zuhud, “Tidak tergoda oleh yang haram dan tidak tertipu oleh yang halal.” Sufyan bin Uyainah berkata, “Seorang yang zuhud adalah jika mendapat nikmat ia bersyukur, dan jika ditimpa musibah ia bersabar.” Rabi’ah berkata, “Zuhud yang paling utama adalah mengumpulkan sesuatu dengan benar dan meletakkannya dengan benar.” Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Zuhud adalah pendek angan-angan, dan bukan dengan memakan makanan yang yang tidak enak dan mengenakan pakaian yang jelek.”
Imam Ahmad berkata, “Zuhud adalah pendek angan-angan dan tidak serakah terhadap harta yang dimiliki orang lain.” Beliau membagi zuhud menjadi tiga bagian: (1) meninggalkan yang dilarang (ini adalah zuhudnya orang awam), (2) meninggalkan perkara-perkara yang diperbolehkan (ini zuhudnya orang-orang khusus), (3) meninggalkan hal-hal yang memalingkan dari mengingat Allah (ini zuhudnya ‘arifin, orang-orang yang memahami ajaran Islam dengan sempurna).
Inilah sebagian pernyataan para ulama kita yang menjelaskan duduk perkara dan sikap zuhud yang benar. Siapapun diantara kita sebenarnya berkemungkinan untuk bisa mengamalkan zuhud jika berusaha dengan sungguh-sungguh. Jadi sikap zuhud sebagaimana yang dikehendaki hadits di atas bisa dilakukan oleh siapapun. Ia hanya mensyaratkan penataan hati dan niat yang benar serta tulus, dan tidak mensyaratkan kemiskinan atau hidup yang serba kekurangan.
Maka siapapun kita, bagaimanapun kondisi kita serta dalam posisi apapun kita sesungguhnya sikap zuhud itu bisa kita wujudkan. Kita harus belajar dan terus belajar untuk mengamalkannya. Zuhud adalah pilihan bukan paksaan. Zuhud adalah hasil dari proses panjang pendalaman dan penjiwaan kita terhada nilai-nilai ajaran Islam. Zuhud adalah keniscayaan untuk meraih kemuliaan. Inilah sikap yang akan mengantaran kita kepada kebahagiaan yang sesungguhnya. Inilah sikap yang akan membukakan bagi diri kita pintu rahmat dan kecintaan Allah serta penghormatan dan kasih sayang manusia. Semoga kita bisa istiqamah dan menjadi orang-orang yang zuhud. Amin.