Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad shahih sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa akhirat menjadi tujuan dari semua cita-citanya, maka Allah menjadikan melancarkan semua urusannya, hatinya kaya, dan dunia datang kepadanya dalam keadaan tunduk. Dan, barangsiapa dunia menjadi tujuan dari semua cita-citanya, maka Allah mengacaukan semua urusannya, menjadikannya miskin, dan dunia datang kepadanya sebatas yang ditakdirkan untuknya.”
Barangsiapa akhirat menjadi kesibukan utamanya dan obsesi abadinya, maka setiap hari ia ingat perjalanan hidupnya kelak, apa pun yang ia lihat di dunia pasti ia hubungkan dengan akhirat, dan akhirat selalu ia sebut di setiap pembahasannya. Ia tidak bahagia, kecuali karena akhirat. Tidak sedih, kecuali karena akhirat. Tidak ridha, kecuali karena akhirat. Tidak marah, kecuali karena akhirat. Tidak bergerak, kecuali karena akhirat. Dan, tidak berusaha, kecuali karena akhirat.
Barangsiapa bisa seperti itu, ia diberi tiga kenikmatan. Dan, jika para penguasa tahu tuga kenikmatan itu, mereka pasti menyiksanya, guna merebut ketiga nikmat itu darinya. Tapi, ketiga nikmat itu merupakan nikmat Allah Ta’ala yang Dia berikan kepada siapa saja di antara hamba-hamba-Nya Dia kehendaki. Yaitu orang-orang yang menyiapkan jiwa mereka hanya untuk Allah Ta’ala dan tidak ada selain Dia yang masuk ke hati mereka, baik itu berhala-berhala dunia, atau perhiasan, atau pesonanya. Niikmat pertama dati ketiga nikmat itu adalah sebagai berikut:
Seluruh Urusan Lancar
Allah Ta’ala memberinya ketentraman dan kedamaian, mengumpulkan semua idenya, meminimalkan sifat lupanya, mengharmoniskan keluarganya, menambah jalinan kasih sayang antara dirinya dengan istrinya, merukunkan anak-anaknya, mendekatkan mereka kepada-Nya, menyatukan sanak kerabatnya, menjauhkan konflik dari mereka, mengumpulkan hartanya, ia tidak pusing memkirkan bisnisnya yang mengalami kerugian, tidak bertindak seperti orang tolol, membuat hati manusia terarah kepadanya, setelah ia “diterima” di bumi, lalu siapa pun mencintainya, dan melancarkan urusan-urusannya yang lain.
Kaya Hati
Nikmat kedua yang dianugrahkan Allah Ta’ala kepadanya dan merupakan nikmat paling agung ialah kaya hati, sebab Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda di hadits Shahih,“Kekayaan hakiki bukan berarti harta melimpah. Tapi, kekayaan ialah kekayaan hati.” (Diriwayatkan Muslim).
Imam Al-Manawi berkata, “Maksudnya, kekayaan terpuji itu bukan banyak harta dan perabotan. Sebab, banyak sekali orang dibuat kaya oleh Allah namun kekayaannya yang banyak itu tidak bermanfaat baginya dan ia berambisi menambah kekayaannya, tanpa peduli dari mana sumbernya. Ia seperti orang miskin karena begitu kuat ambisinya. Orang ambisius itu miskin selama-lamanya. Tapi, kekayaan terpuji dan ideal menurut orang-orang sempurna adalah kekayaan hati. Diriwayat lain, kekayaan jiwa. Maksudnya, orang yang punya kekayaan jiwa merasa tidak membutuhkan jatah rizkinya menerimanya dengan lapang dada, dan ridha dengannya tanpa memburu dan memintanya dengan menekan. Barangsiapa dijaga jiwanya dari kerakusan, maka jiwanya tentram, agung, mendapatkan kebersihan, kemiliaan, dan pujian. Itu semua jauh lebih banyak ketimbang kekayaan yang diterima orang yang miskin hati. Kekayaan memebuat orang yang miskin hati terpuruk dalam hal-hal hina dan perbuatan-perbuatan murahan, karena kecilnya obsesi yang ia miliki. Akibatnya, ia menjadi orang kerdil dimata orang, hina dijiwa mereka, dan menjadi orang yang paling hina.”
Jika seseorang punya harta hingga berjuta-juta, atau milyaran, bahkan triliunan, namun ia tidak qana’ah dengan rezeki yang diberikan Allah Ta’ala kepadanya, maka ia hidup terengah-engah seperti binatang buas dan menjadikan hartanya sebagai tuhan baru. Sungguh, ia orang miskin sejati, karena orang miskin ilah orang yang selalu tidak punya harta dan senantiasa merasa membutuhkannya. Dikisahkan, seseorang berkata kepada orang Zuhud, Ibrahim bin Adham, lalu berkata, “Saya ingin Anda menerima jubah ini dariku.” Ibrahim bin Adham berkata, “Kalau Anda kaya saya mau menerima hadiah ini. Jika Anda miskin saya tidak mau menerimanya.” Orang itu berkata, “Saya orang kaya.” Ibrahim bin Adham, “Anda punya jubah berapa?” Orang itu menjawab, “Dua ribu jubah.” Ibrahim bin Adham berkata, “Apakah Anda ingin punya empat ribu jubah?” Orang itu menjawab, “Ya.” Ibrahim bin Adham berkata, “Kalau begitu Anda miskin (karena masih butuh jubah lebih banyak lagi). Saya tidak mau menerima jubah ini darimu.”
Dunia Datang Kepadanya
Ini nikmat ketiga yang diberikan Allah Ta’ala kepadanya. Ia lari dari dunia, namun justru dunia mengejarnya dalam keadaan tunduk. Ini persis seperti diktakan Ibnu Al-Jauzi, “Dunia itu bayangan. Jika Anda berpaling dari bayangan, maka bayangan itu membuntuti Anda. Jika Anda membunuh bayangan, maka bayangan menghindar dari Anda. Orang Zuhud tidak menoleh kepada bayangan dan malah diikuti bayangan. Sedang orang ambisius (rakus) tidak melihat bayangan setiap kali ia mnoleh kepadanya.”
Sedang orang yang dunia menjadi obsesinya, ia hanya memikirkan dunia, bekerja karenanya, peduli kepadanya, tidak bahagia kecuali karenanya, tidak berteman dan memusuhi orang kecuali karenanya. Akibatnya, ia dihukum Allah Ta’ala dengan tiga hukuman:
Urusannya Kacau
Allah Ta’ala mengacaukan semua urusannya. Anda lihat hatinya tidak tenang, pikirannya kacau, jiwanya goncang, dan kalut dalam segala hal kendati hal remeh. Allah Ta’ala mengacaukan hartanya, dengan tidak membimbingnya dalam proyek apap pun. Allah juga mengacaukan juga mengacaukan anak-anak dan istrinya. Ia lihat anak-anaknya durhaka kepadanya. Itu membuatnya semakin sedih dan berduka. Ia lihat istrinya membangkang terhadap perintahnya dan selalu mengeluh, hingga membuatnya ingin “pergi” saja dari dunia ini, karena beatnya kondisi yang ia alami. Allah Ta’ala juga membuat manusia antisipasi jepadanya. Tidak ada seorang pun yang mencintainya, seab Allah menentukanya dibenci orang di bumi.
Selalu Miskin
Ini hukuman kedua baginya. Hukuman ini membuatnya selalu tidak puas, padahal memiliki harta banyak. Ia senantiasa merasa miskin. Dan, itu menjadikannya berlari hingga terenagh-engah di belakang harta. Emakin ia merasa miskin, maka kelelahan, kesedihan, dan kekalutannya menjadi-jadi.
Dunia Lari darinya
Dunia selalu lari darinya. Ia memburu dunia, tapi dunia malah menjauh darinya dan ia berlari di belakangnya persis seperti orang yang mengira fatamorgana itu air. Ketika ia tiba di fatamorgana, ia tidak mendapatkan apa-apa. Ia mengejar jabatan, status sosial, pujian, popularitas, dan hal-hal sensasional. Ia mencelakakan diri demi mendapatkan itu semua. tragisnya, itu semua malah menjauh darinya, segabai hukuman baginya dari Allah Ta’ala.
Inilah yang membuat Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu berkata, “Obesesi dunia itu kegelapan di hati, sedang obsesi kepada akhirat itu cahaya di hati.”