Berkata Baik atau Diam

  • Sumo

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka haruslah ia berkata yang baik, atau diam..” (penggalan hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim). Hadits ini merupakan salah satu hadits yang pualing berat sekali pengamalannya! Berbicara atau berkata-kata hanya saat yakin bahwa, pembicaraan atau perkataan yang diucapkan atau dituliskan memang benar-benar baik dari berbagai sisi? Sungguh-sungguh sangat tidak mudah.Karena kata baik disitu bisa mengandung banyak arti dan makna seperti misalnya: benar, berdasar, berargumen, bisa dipertanggungjawabkan, bermanfaat, minimal tidak madharat, tepat, mengena, cocok, sesuai, pantas, pas, klik, proporsional, relevan, positif, produktif, konstruktif, efektif, dan lain-lain yang semakna.

Sebagaimana kriteria baiknya sebuah perkataan yang diucapkan secara langsung atau ditulis lewat media apapun, idealnya, juga harus meliputi berbagai aspek terkait. Yakni disamping harus baik, benar dan tepat dari aspek isi atau konten atau materi, sebuah perkataan juga harus baik misalnya dari aspek pilihan tema, aspek bahasa atau cara penyampaian, aspek penguasaan, aspek proporsionalitas, aspek relevansi, aspek konteks, aspek positioning, aspek timing, aspek tempat, aspek sikon, aspek “lawan” bicara atau audiens, aspek forum atau media atau sarana, aspek efek atau dampak, dan aspek-aspek terkait lainnya.

Mungkin ada yang berkomentar: wah kok banyak dan berat sekali gitu syaratnya? Lalu siapa yang akan mampu memenuhi semua itu? Ya itu semua memang syarat ideal terideal. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita bisa memiliki komitmen dan kesungguhan upaya dalam rangka meminimalisir potensi-potensi kesalahan dan pelanggaran.

Selanjutnya, sekadar sebagai pengingat diri saja, berikut ini adalah sebagian contoh kondisi atau sikap orang yang paling berpotensi tercatat dalam daftar pelanggar terhadap hadits diatas:

  1. Secara umum orang yang banyak bicara (banyak omong) dengan level berlebihan.
  2. Secara umum orang yang ikut-ikutan berbicara tentang tema selain bidang keahliannya. Wabilkhusus jika itu dalam konteks membantah. Lebih-lebih lagi bila yang dibantah justru yang ahli dan spesialis di bidang tersebut.
  3. Secara umum orang yang takalluf (memaksakan diri) berbicara tanpa dasar ilmu sama sekali atau tanpa modal pengetahuan yang memadai terkait topik yang dibicarakan. Artinya, posisinya hanya ikut-ikutan belaka.
  4. Pembicara yang “ngajinya” belum sampai bab adab dan akhlak. Atau sudah sampai, tapi belum sempat khatam. Wabilkhusus saat ia terlibat dalam sebuah polemik atau berbicara di forum debat dan semacamnya.
  5. Orang fanatik buta yang berbicara dalam hal atau bidang yang difanatiki secara buta itu.
  6. Orang yang lemah dalam cara berfikir logis dan metodologis yang mewujud dalam sikap mengedepankan nalar, ilmu, pemahaman, pemikiran, pertimbangan-pertimbangan, dll.
  7. Orang yang berbicara secara reaktif hanya karena terpancing dan terprovokasi oleh pihak lain.
  8. Orang yang berbicara dan berkata-kata dalam kondisi diri tidak stabil atau sedang dipengaruhi nafsu tertentu. Seperti misalnya sedang benci, marah, dendam, sedih sekali, galau sekali, kecewa sekali, baper sekali, dll.
  9. Orang cuek, sembrono, tidak hati-hati dan tidak punya atau lemah dalam sikap selektif. Sehingga, gegara kondisi itu, jenis orang seperti ini biasanya sangat potensial untuk terpelesat di jalan licin penyebaran materi-materi hoax. Apalagi di jaman now penuh hoax seperti sekarang ini.
  10. Orang yang tidak mengenal pemilahan tema atau topik dari sisi umum dan khusus. Sehingga dengan sadar atau tidak, iapun sering mengangkat dan membawa tema-tema khusus atau bahkan super khusus ke dalam forum atau media umum.
  11. Orang yang tidak pernah masuk atau tidak tamat di “sekolah kejuruan” khusus fiqih berbicara dan berkata-kata.
  12. Orang lemah kendali terhadap diri sendiri. Wabilkhusus terhadap lesan dan perwakilannya seperti ujung jari misalnya.
  13. Pendakwah, muballigh dan muballighah “tiban”.
  14. Dan lain-lain. (amj)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.